Kecerdasan Kewargaan
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
06 Oktober 2015
Asap tebal yang mengepung langit barat Indonesia adalah tamsil
kegelapan langit jiwa bangsa kita. Ada banyak gerak-gerik, kegaduhan, dan keluhan
di ruang publik, tetapi semua tingkah polah seperti meraba dalam gelap. Tiada
bintang pimpinan (leit star) ke
mana langkah harus menuju.
Hari Kesaktian Pancasila masih diperingati sebagai upacara,
tetapi keampuhan nilai-nilainya sebagai pedoman kehidupan bangsa dan negara
makin pudar. Khotbah sosialisasi Pancasila berhenti sebagai goyang lidah
dengan kedalaman cuma sampai tenggorokan. Seruan revolusi mental sebagai
ikhtiar menggelorakan jiwa Pancasila sayup terdengar, seakan hanyut dilamun
ombak.
Dalam gelap, kendala utama adalah penglihatan. Banyak orang
menawarkan jalan keluar dengan visi yang kabur. Krisis multidimensional yang
melanda bangsa dicoba dicari akarnya pada persoalan jati diri. Namun,
konseptualisasi jati diri itu sendiri tidak didefinisikan secara jelas.
Akibatnya, obat yang diberikan tidak berdasarkan diagnosis penyakit yang
cermat.
Setelah ukuran kecerdasan diri berbasis intelligence quotient (IQ) dianggap tak memadai menjawab krisis
kedirian, program pendidikan dan pelatihan kepribadian berpaling pada
pengembangan jenis kecerdasan lain, terutama yang berbasis emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ).
Usaha menyelesaikan persoalan jati diri dengan ukuran-ukuran itu
memang patut diapresiasi. Persoalannya, apakah faktor IQ, EQ, dan SQ itu
sudah tepat menyasar sisi terlemah dari kedirian bangsa ini?
Untuk memberikan kerangka penilaian, kita harus ingat bahwa diri
manusia terdiri atas dua bagian: kedirian privat (private self) yang bersifat personal dan khas serta kedirian publik
(public self) yang melibatkan
relasi sosial. Keduanya bisa dibedakan, tetapi tak bisa dipisahkan.
Dengan kerangka itu, kita bisa melihat bahwa problem kedirian
manusia Indonesia pada dasarnya tidaklah bersumber dari kecerdasan diri
privat. Secara IQ, manusia Indonesia bukanlah kelompok manusia dengan defisit
kepintaran. Tandanya bisa dilihat dari berbagai olimpiade internasional di
bidang matematika, fisika, dan kimia. Anak Indonesia tidak saja bisa bersaing
dengan utusan negara terpandang, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan
Tiongkok, bahkan berulang kali berhasil merebut predikat juara umum.
Manusia Indonesia juga relatif memiliki kematangan emosional.
Berbagai tradisi budaya Indonesia sudah teruji menanamkan ketahanan
emosional, seperti kemampuan pengendalian diri untuk tidak berlebihan (ngono yo ngono ning ojo ngono);
menjunjung tinggi yang positif, memendam yang negatif (mikul dhuwur, mendhem jero); serta ketahanan menghadapi
kesulitan.
Kecerdasan spiritual juga relatif kuat. Manusia Indonesia pada
umumnya bersifat ”religius”. Dalam ukuran paling kasatmata, kita bisa melihat
bagaimana rumah ibadah dan partisipasi ibadah meningkat; pertumbuhan jemaah
calon haji dan umrah melambung; serta majelis zikir, penghayat tarekat, yoga,
dan ajaran spiritualitas lain menjamur.
Sisi terlemah manusia Indonesia justru mencolok pada aspek
kedirian bersifat publik. Hal ini mudah dilihat dari bagaimana orang berlatar
pribadi baik dengan mudah hanyut dalam arus keburukan begitu terjun ke
politik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal bersifat kolektif
mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit,
birokrasi sakit, aparatur penegak hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan
organisasi keagamaan berskala besar pun mulai menunjukkan gejala sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan
kelalaian dunia pendidikan dan pembudayaan mengembangkan ”kecerdasan
kewargaan” (civic quotient). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan
personal dengan mengabaikan usaha menautkan keragaman kecerdasan personal ke
dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret
”huruf” alfabet tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka
Tunggal Ika) ke dalam ”kata” dan ”kalimat” bersama. Akibatnya, banyak manusia
baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik
dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya).
Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan
pecahan yang banyak jumlahnya, tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi
kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut yang sama (common denominator) sebagai ekspresi
identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan kecerdasan
kewargaan berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang paling
dibutuhkan.
Pengembangan kecerdasan kewargaan lebih fundamental bagi suatu
bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme yang
mendorong kapitalisme dan kolonialisme. Postulat dasar individualisme
meyakini bahwa relasi sosial bukan pembentuk perseorangan dalam pengalamannya
yang paling fundamental. Relasi sosial memang sesuatu yang terjadi pada
individu, tetapi tidak dipandang sebagai sesuatu yang mendefinisikan
identitas dan mengoordinasikan eksistensi individu. Ungkapan yang sangat
terkenal dari individualisme menyatakan, ”Kamu datang ke dunia seorang diri
dan meninggalkan dunia seorang diri”. Meski demikian, kenyataannya tidak ada
seorang pun lahir ke dunia secara sendirian. Selalu ada ibu dan budaya
komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya hingga ke ”tempat
peristirahatan yang terakhir”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar