Kamis, 01 Oktober 2015

Gayus, Oknum Sipir, lalu Siapa Lagi?

Gayus, Oknum Sipir, lalu Siapa Lagi?

Reza Indragiri Amriel ;   Alumnus Psikologi Forensik
The University of Melbourne Australia
                                                    JAWA POS, 29 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

FASILITAS koreksi (correctional facility) atau lembaga pemasyarakatan alias penjara berkewajiban menjadikan narapidana sebagai warga negara yang taat hukum setelah berakhirnya masa pemenjaraan. Agar dapat memenuhi kewajiban itu, penjara menyelenggarakan berbagai program yang bertitik tolak dari sekian banyak filosofi penghukuman. Semakin program itu tepat sasaran, semakin besar pula kesempatan sekaligus kemampuan si narapidana untuk kelak dapat hidup normal.

Dengan prinsip sedemikian rupa, dapat dipahami bahwa keluyurannya Gayus Halomoan Tambunan ke rumah makan dalam perjalanannya dari pengadilan agama di Jakarta menuju Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin merupakan bukti ketidakbecusan otoritas penjara dalam mengadakan program perlakuan yang memang diperuntukkan koruptor pajak tersebut.

Di samping mencerminkan bobroknya integritas oknum-oknum petugas sipir, kongkalikong antara Gayus dan para oknum pengawalnya juga tidak akan berpengaruh positif bagi menurunnya ”bakat” kejahatan Gayus. Artinya, suatu saat nanti, setelah kembali ke tengah masyarakat, Gayus akan tetap berpotensi kuat menjadi individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat.

Potensinya untuk mengulangi kejahatan korupsi akan tetap tinggi. Juga, risiko berbahaya berlipat ganda gara-gara ulah Gayus itu –sekali lagi– tak terlepas dari nihilnya program perlakuan yang semestinya ditegakkan selama dirinya berada dalam penjara.

Para oknum pengawal itu sudah sepantasnya dijatuhi sanksi berat. Mereka abai terhadap status Gayus selaku pelaku kejahatan luar biasa. Mereka juga tidak peduli pada kenyataan bahwa bukan kali itu saja Gayus menghina dina wibawa otoritas hukum Indonesia. Melarikan diri ke luar negeri serta menonton tenis di Bali adalah kelakuan-kelakuan tak semenggah yang juga pernah Gayus tampilkan pada waktu-waktu sebelumnya.

Kendati demikian, sorotan dan penindakan terhadap aksi Gayus semestinya tidak hanya berkutat pada level petugas yang mengawal bekas karyawan pajak itu. Evaluasi hingga tataran paling mendasar akan tertumbuk pada dugaan kuat –untuk tidak mengatakan realitas– bahwa otoritas hukum, khususnya lembaga pemenjaraan di tanah air, tidak sungguh-sungguh teguh menganut –atau barangkali memang tidak paham– filosofi penghukuman. Dalam hal ini terkait dengan penjahat kasus korupsi.

Ada lima opsi filosofi penghukuman yang bisa dipilih sebagai landasan perlakuan bagi para makhluk pengerat pundi-pundi kesejahteraan orang banyak itu. Pertama, retribusi. Apabila filosofi itu yang dianut otoritas penjara, penjara harus menampilkan parasnya sekeji mungkin.

Perlakuan terhadap para narapidana kasus korupsi harus menyakitkan, setidaknya setara dengan kesakitan yang telah disebabkan koruptor terhadap masyarakat. Hanya penderitaan sepedih-pedihnya yang dipercaya dapat menghentikan bandit kerah putih tersebut dari perbuatan kotornya.

Kedua, rehabilitasi. Filosofi itu bertitik tolak dari anggapan bahwa tiap pelaku kejahatan memiliki kelainan psikis yang mendorongnya untuk bertindak kriminal. Untuk mengubah narapidana korupsi agar menjadi orang yang taat hukum, pemenjaraan dengan filosofi itu akan menyasar anasir psikologis yang berkelainan tersebut.

Karena setiap narapidana mempunyai kondisi psikis yang khas, langkah rehabilitasi terhadap mereka pun bisa berbeda satu sama lain. Misalnya, karena keberadaan uang di dalam kerangka berpikir si narapidana korupsi sudah sedemikian keliru, kebutuhan kriminogenik ( criminogenic need) yang menyimpang itu dicoba untuk diluruskan melalui serangkaian sesi penanganan psikologis. Melalui program rehabilitasi tersebut, diharapkan pola respons si koruptor terhadap segala sesuatu yang berasosiasi dengan uang berubah.

Ketiga, reintegrasi. Pelaku kriminal, dalam filosofi itu, dianggap sebagai individu yang gagal membangun harmoni bersama anggota masyarakat lainnya. Program reintegrasi, dengan demikian, didesain untuk mengedukasi narapidana agar memiliki keterampilan sosial yang lebih baik dalam rangka hidup berdampingan di tengah masyarakat.

Pendekatan reintegrasi seperti itu juga relevan bagi narapidana korupsi apabila diyakini bahwa anggota keluarganya turut berkontribusi bagi perilaku jahat si narapidana. Pasangan yang merongrong secara finansial –sehingga memaksa seseorang untuk mengambil uang negara dengan cara yang tidak halal untuk memuaskan si pasangan– tentu juga perlu ditangani secara tepat. Pendekatan itu dilakukan demi terciptanya lingkungan sosial berupa kehidupan rumah tangga yang bebas dari korupsi.

Keempat, penangkalan sekaligus penjeraan. Kalkulasi ekonomis narapidana tentang untung dan rugi dibenahi. Perampasan harta koruptor merupakan ide yang berangkat dari filosofi itu.

Deterrence effect terbentuk manakala narapidana akhirnya paham bahwa setiap sen yang dia gangsir akan berakibat pada kian dekatnya dirinya ke risiko jatuh miskin. Semakin banyak uang yang dicuri si koruptor, semakin terbenam pula dia dalam kepapaan.

Kelima, pengurungan. Filosofi itu memosisikan pelaku kejahatan ke dalam kelas sosial yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Filosofi pengurungan diwujudkan dengan memenjara pelaku kriminal di lokasi yang sejauh mungkin dari masyarakat.

Ibarat orang yang terjangkit penyakit menular lagi menjijikkan, berada di kawasan yang jauh dari peradaban diyakini mempersempit kemungkinan narapidana bersentuhan dan kembali memviktimisasi masyarakat.

Sekarang silakan jawab, filosofi penghukuman manakah yang layak diterapkan bagi koruptor seperti Gayus? Sekaligus silakan renungkan, selain oknum sipir, apa dan siapa lagi yang harus dipaksa bongkar mesin?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar