Gayus, Oknum Sipir, lalu Siapa Lagi?
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik
The University of Melbourne
Australia
|
JAWA
POS, 29 September 2015
FASILITAS koreksi (correctional facility) atau lembaga pemasyarakatan alias penjara berkewajiban
menjadikan narapidana sebagai warga negara yang taat hukum setelah
berakhirnya masa pemenjaraan. Agar dapat memenuhi kewajiban itu, penjara
menyelenggarakan berbagai program yang bertitik tolak dari sekian banyak
filosofi penghukuman. Semakin program itu tepat sasaran, semakin besar pula
kesempatan sekaligus kemampuan si narapidana untuk kelak dapat hidup normal.
Dengan prinsip sedemikian rupa, dapat dipahami
bahwa keluyurannya Gayus Halomoan Tambunan ke rumah makan dalam perjalanannya
dari pengadilan agama di Jakarta menuju Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin
merupakan bukti ketidakbecusan otoritas penjara dalam mengadakan program
perlakuan yang memang diperuntukkan koruptor pajak tersebut.
Di samping mencerminkan bobroknya integritas
oknum-oknum petugas sipir, kongkalikong antara Gayus dan para oknum
pengawalnya juga tidak akan berpengaruh positif bagi menurunnya ”bakat”
kejahatan Gayus. Artinya, suatu saat nanti, setelah kembali ke tengah
masyarakat, Gayus akan tetap berpotensi kuat menjadi individu yang sangat
berbahaya bagi masyarakat.
Potensinya untuk mengulangi kejahatan korupsi
akan tetap tinggi. Juga, risiko berbahaya berlipat ganda gara-gara ulah Gayus
itu –sekali lagi– tak terlepas dari nihilnya program perlakuan yang
semestinya ditegakkan selama dirinya berada dalam penjara.
Para oknum pengawal itu sudah sepantasnya
dijatuhi sanksi berat. Mereka abai terhadap status Gayus selaku pelaku
kejahatan luar biasa. Mereka juga tidak peduli pada kenyataan bahwa bukan
kali itu saja Gayus menghina dina wibawa otoritas hukum Indonesia. Melarikan
diri ke luar negeri serta menonton tenis di Bali adalah kelakuan-kelakuan tak
semenggah yang juga pernah Gayus tampilkan pada waktu-waktu sebelumnya.
Kendati demikian, sorotan dan penindakan
terhadap aksi Gayus semestinya tidak hanya berkutat pada level petugas yang
mengawal bekas karyawan pajak itu. Evaluasi hingga tataran paling mendasar
akan tertumbuk pada dugaan kuat –untuk tidak mengatakan realitas– bahwa
otoritas hukum, khususnya lembaga pemenjaraan di tanah air, tidak
sungguh-sungguh teguh menganut –atau barangkali memang tidak paham– filosofi
penghukuman. Dalam hal ini terkait dengan penjahat kasus korupsi.
Ada lima opsi filosofi penghukuman yang bisa
dipilih sebagai landasan perlakuan bagi para makhluk pengerat pundi-pundi
kesejahteraan orang banyak itu. Pertama, retribusi. Apabila filosofi itu yang
dianut otoritas penjara, penjara harus menampilkan parasnya sekeji mungkin.
Perlakuan terhadap para narapidana kasus
korupsi harus menyakitkan, setidaknya setara dengan kesakitan yang telah
disebabkan koruptor terhadap masyarakat. Hanya penderitaan sepedih-pedihnya
yang dipercaya dapat menghentikan bandit kerah putih tersebut dari perbuatan
kotornya.
Kedua, rehabilitasi. Filosofi itu bertitik
tolak dari anggapan bahwa tiap pelaku kejahatan memiliki kelainan psikis yang
mendorongnya untuk bertindak kriminal. Untuk mengubah narapidana korupsi agar
menjadi orang yang taat hukum, pemenjaraan dengan filosofi itu akan menyasar
anasir psikologis yang berkelainan tersebut.
Karena setiap narapidana mempunyai kondisi
psikis yang khas, langkah rehabilitasi terhadap mereka pun bisa berbeda satu
sama lain. Misalnya, karena keberadaan uang di dalam kerangka berpikir si
narapidana korupsi sudah sedemikian keliru, kebutuhan kriminogenik (
criminogenic need) yang menyimpang itu dicoba untuk diluruskan melalui
serangkaian sesi penanganan psikologis. Melalui program rehabilitasi
tersebut, diharapkan pola respons si koruptor terhadap segala sesuatu yang
berasosiasi dengan uang berubah.
Ketiga, reintegrasi. Pelaku kriminal, dalam
filosofi itu, dianggap sebagai individu yang gagal membangun harmoni bersama
anggota masyarakat lainnya. Program reintegrasi, dengan demikian, didesain
untuk mengedukasi narapidana agar memiliki keterampilan sosial yang lebih
baik dalam rangka hidup berdampingan di tengah masyarakat.
Pendekatan reintegrasi seperti itu juga
relevan bagi narapidana korupsi apabila diyakini bahwa anggota keluarganya
turut berkontribusi bagi perilaku jahat si narapidana. Pasangan yang
merongrong secara finansial –sehingga memaksa seseorang untuk mengambil uang
negara dengan cara yang tidak halal untuk memuaskan si pasangan– tentu juga
perlu ditangani secara tepat. Pendekatan itu dilakukan demi terciptanya
lingkungan sosial berupa kehidupan rumah tangga yang bebas dari korupsi.
Keempat, penangkalan sekaligus penjeraan.
Kalkulasi ekonomis narapidana tentang untung dan rugi dibenahi. Perampasan
harta koruptor merupakan ide yang berangkat dari filosofi itu.
Deterrence effect terbentuk manakala
narapidana akhirnya paham bahwa setiap sen yang dia gangsir akan berakibat
pada kian dekatnya dirinya ke risiko jatuh miskin. Semakin banyak uang yang
dicuri si koruptor, semakin terbenam pula dia dalam kepapaan.
Kelima, pengurungan. Filosofi itu memosisikan
pelaku kejahatan ke dalam kelas sosial yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Filosofi pengurungan diwujudkan dengan memenjara pelaku kriminal di
lokasi yang sejauh mungkin dari masyarakat.
Ibarat orang yang terjangkit penyakit menular
lagi menjijikkan, berada di kawasan yang jauh dari peradaban diyakini
mempersempit kemungkinan narapidana bersentuhan dan kembali memviktimisasi
masyarakat.
Sekarang silakan jawab, filosofi penghukuman
manakah yang layak diterapkan bagi koruptor seperti Gayus? Sekaligus silakan
renungkan, selain oknum sipir, apa dan siapa lagi yang harus dipaksa bongkar
mesin? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar