Jumat, 02 Oktober 2015

Berkibarnya Bendera Palestina di PBB Momentum Pengharapan?

Berkibarnya Bendera Palestina di PBB

Momentum Pengharapan?

Smith Alhadar ;   Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
                                             MEDIA INDONESIA, 02 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA 1 Oktober 2015 untuk pertama kali sepanjang sejarahnya bendera Palestina berkibar di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, itu tidak berarti Palestina telah atau segera merdeka. Jalan yang harus dilaluinya untuk memiliki negara sendiri yang berdaulat masih panjang, berliku, dan terjal. Dikibarkannya bendera Palestina itu merupakan konsekuensi dari diterimanya Palestina sebagai pengamat nonanggota PBB sejak 2012. Semuanya merupakan usaha diplomasi Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas.

Sehari sebelum itu Abbas berpidato di Sidang Umum PBB, yang bersikap keras terhadap Israel. Abbas menyatakan Otoritas Palestina tidak akan lagi meneruskan perundingan dengan Israel kecuali Israel mengimplementasikan hal-hal yang tercantum dalam Kesepakatan Oslo. Kesepakatan Oslo yang dicapai antara PLO dan pemerintahan Israel pimpinan PM Yitzhak Rabin 1993 menetapkan Palestina akan memperoleh kemerdekaan setelah lima tahun melalui jalan perundingan. Namun, hingga kini kemerdekaan dengan wilayah di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur tidak juga terwujud. Sementara itu, Israel terus membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem.

Apartheid baru

Pada 1947, Liga Bangsa-Bangsa membagi tanah Palestina menjadi dua: 53% untuk Israel dan 47% untuk Palestina. Kini wilayah Palestina tinggal 20%. Berbagai kebijakan Israel setelah merdeka 1948 terus diperlihatkan, mulai teror, pengusiran, perampasan tanah, hingga membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Kondisi tersebut membuat tanah untuk Palestina semakin kecil. Kenyataan lain yang membuat Palestina frustrasi ialah, pertama, Jerusalem Timur telah dibangun Israel sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi kawasan tempat bercokol Masjidil Aqsa itu dinegosiasikan.

Pada 1999, Teddy Kolek, mantan Wali Kota Jerusalem, mengungkapkan pemerintahnya punya target rahasia untuk membatasi populasi Palestina. Itulah inti kebijakan pemerintah kota dan pusat. Alasan mengapa target penting ialah agar tidak ada yang dapat menggugat kepemilikan Israel atas Jerusalem di masa datang. Kedua, Tepi Barat saat ini berubah menjadi serangkaian `kantong-kantong wilayah' yang membingungkan tanpa memiliki daerah teritorium yang menyatu. Kekhawatiran awal Palestina telah jadi kenyataan. Kebijakan memecah belah daerah itu membuat pembangunan sebuah negara Palestina menjadi hal yang mustahil. Hampir semua pengamat melihatnya sebagai sebuah bentuk baru apartheid.

Bagaimanapun, pidato Abbas yang disebutnya sebagai `momentum pengharapan' tak lepas dari fakta bahwa telah terjadi perpecahan di Palestina antara Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat. Hal lain, popularitas Abbas anjlok akibat korupsi luar biasa di tubuh Otoritas Palestina. Dalam jajak pendapat baru-baru ini lebih dari 50% rakyat Palestina menginginkan Abbas mengundurkan diri.

Jajak pendapat itu juga mengungkapkan 51% rakyat Palestina tidak lagi percaya pada solusi dua negara melalui perundingan sebagaimana yang diyakini dan dilakukan Abbas selama ini. Sementara itu, 65% menyatakan pengertian dua negara yang hidup berdampingan tidak praktis karena pembangunan per mukiman Yahudi di tanah Palestina tetap marak.

Kendati demikian, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bereaksi keras terhadap pidato Abbas di depan Sidang Umum PBB.Hal itu akan sangat berpengaruh pada ekonomi Palestina. Toh, Palestina sangat bergantung pada hasil pajak yang dipungut Israel dari barang impor Palestina. Kesulitan itu makin hebat apabila Presiden AS Barack Obama ikut menghentikan bantuan US$400 juta per tahun pada Otoritas Palestina. Namun, bisa jadi keberanian Abbas untuk tidak lagi menghormati Kesepakatan Oslo disebabkan adanya jaminan bantuan keuangan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) asalkan Abbas menyetujui pelucutan senjata Hamas dan Jihad Islami serta mengisolasinya. UEA dan Saudi serta Mesir memang menginginkan terputusnya hubungan Iran dengan dua organisasi militan itu melalui bantuan senjata dan keuangan. AS pun diduga tidak akan menghentikan bantuan kepada Otoritas Palestina mengingat Washington sangat bergantung kepada Arab dalam perangnya melawan Negara Islam di Irak dan Suriah (IS).

Naikkan isu

Pidato Abbas itu bisa jadi dapat mendongkrak popularitasnya lagi. Namun, bisa dipastikan kekisruhan yang sedang marak antara Israel dan Palestina di Tepi Barat akan semakin bergelora. Mungkin itu juga diinginkan Abbas mengingat isu Palestina tenggelam di bawah baying-bayang perang koalisi Arab di Yaman dan perang koalisi Liga Arab-NATO melawan IS. Perundingan serius antara Israel dan Palestina hanya bisa terjadi kalau Obama mampu menekan Israel untuk maju ke meja perundingan dengan tenggat.

Namun, dalam pidato di Majelis Umum PBB pada 29 September, Obama sama sekali tidak menyinggung Palestina. Itu menunjukkan Obama tidak lagi tertarik pada isu Palestina. Jadi, bendera Palestina boleh saja berkibar, tapi kemerdekaan? Nanti dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar