Jumat, 11 September 2015

Pendidikan Olahraga

Pendidikan Olahraga

Mohammad Abduhzen  ;  Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
                                                     KOMPAS, 09 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Juli 2013, di Gelora Bung Karno, tim Indonesia All-Star kalah telak 1-8 dari Chelsea dalam laga uji coba. Media Inggris berkomentar tak enak. The Mirror menulis, ”Para pemain Chelsea lebih kesulitan menghadapi nyamuk ketimbang pemain Indonesia All-Star.” Media lain, Daily Mail, menyindir lewat judul ”Chelsea 8 Indonesia All-Star 1: Or should that be NO-Stars?” (Atau sebenarnya tidak ada bintang?).

Apa hendak dikata, seperti banyak hal di negeri ini, sepak bola memang belum membanggakan. Meski penduduk kita banyak dan berpotensi besar, bangsa ini baru mampu bermimpi, belum punya visi dan strategi keolahragaan yang memajukan persepakbolaan secara sistemik.

Nasib persepakbolaan makin tak keruan setelah Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi membekukan PSSI dan membentuk Tim Transisi PSSI beranggotakan 17 orang. Sebelumnya, Menpora juga membentuk Tim Sembilan dengan tujuan sama: membenahi dan memajukan persepakbolaan kita.

Meskipun penyelesaian kemelut PSSI adalah utama dan urgen, seyogianya ”Tim 17” yang anggotanya berasal dari berbagai latar belakang profesi tak hanya berkutat pada kegaduhan PSSI, tetapi juga merumuskan strategi keolahragaan nasional dengan mengelaborasi arah dan strategi keolahragaan dalam RPJMN 2015-2019.

Arah kebijakan dan strategi keolahragaan dalam RPJMN 2015-2019, ”Menumbuhkan budaya olahraga dan prestasi”. Di antaranya melalui kebijakan dan pengembangan olahraga secara terpadu dan berkelanjutan, peningkatan akses dan partisipasi masyarakat, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan upaya pembibitan dan pengembangan prestasi.

Membangun budaya, termasuk olahraga, tentunya terkait dengan peran pendidikan sebagai jalan utama kebudayaan. Melalui pendidikan, suatu komunitas mentransmisikan dan mentransformasi kebudayaan yang diinginkan.

Disebut ”yang diinginkan” karena kebudayaan bukan sekadar koleksi artefak dan atau mengulang tradisi agar lestari. Kebudayaan—dalam perspektif dinamis—adalah sesuatu yang ”akan” dan ”dapat” dibentuk karena tidak sepenuhnya deterministik. Maka, diskusi kebudayaan adalah berwacana tentang rencana, kata Van Peursen (Strategi Kebudayaan, 1988).

Pembudayaan olahraga dan prestasi merupakan pembasisan yang penting, bukan hanya bagi kemajuan keolahragaan, melainkan juga bagi pembangunan mentalitas bangsa, sejalan dengan ide revolusi mental yang sepertinya kini makin pudar.

Jaringan sekolah

Tulisan Arifin Panigoro (Kompas, 1/7/2015) sejalan dengan pemikiran strategi pembudayaan olahraga dan prestasi di atas. Arifin menekankan pentingnya sekolah sebagai unsur utama pendukung strategi menuju puncak prestasi olahraga. Ia mengharapkan Kemdikbud mendirikan direktorat khusus olahraga, meningkatkan jam olahraga di sekolah, memberikan pelatihan guru olahraga, dan menambah fasilitas olahraga di sekolah. Ini mengingat masa pembinaan atlet-atlet nasional kita bersamaan saat mereka bersekolah.

Di banyak negara maju, pengembangan olahraga senantiasa berbasis pada sekolah atau kampus. Para pemain profesional sepak bola dan basket diAmerika Serikat, misalnya, berasal dari klub-klub olahraga di perguruan tinggi. Perguruan tinggi (PT) merekrut para pemain dari sekolah.

Pelatih dan tim olahraga PT sering blusukan mencari bibit pemain ke sekolah-sekolah. Pemain muda potensial ditawari masuk ke PT-nya dengan beasiswa dan sejumlah fasilitas, seperti asrama. Disediakan jugajalur seleksi khusus masuk PT bagipemain berbakat. Para pemain yang direkrut dilatih dan dibina layaknya pemain profesional.

Kurikulum olahraga di kebanyakan sekolah Amerika Serikat tidak sebagaipengembangan bakat dan minat, tetapi lebih untuk kebugaran fisik murid. Pengembangan bakat dan minat olahraga difasilitasi dalamkegiatan ekstrakurikuler (wajib) dengan berbagai klub di bawah naungan sekolah/PT.

Penggunaan persekolahan sebagai basis pembibitan, perekrutan, dan pengembangan olahraga dapat memperluas akses dan kesempatan partisipasi anak-anak muda dari berbagai daerah dan lapisan. Di Indonesia, penggunaan jaringan pendidikan hingga sekarang belum tertata. Olahraga di lembaga pendidikan kita terbatas sebagai mata pelajaran yang harus diikuti murid agar naik kelas. Akibatnya, banyak anak berbakat di negeri ini yang tidak terjaring dan terbina.

Kurikulum olahraga

Di Indonesia, pelajaran olahraga, gerak badan, atau pendidikan jasmani ada dalam kurikulum pendidikan nasional sejak 1947. Namun, tujuannya tidak begitu jelas, apakah untuk kebugaran dan hidup sehat, menguasai teori berbagai cabang agar jadi pengamat, atau untuk menjadi atlet.

Dalam Kurikulum 2013 (K-13), pelajaran olahraga untuk SD 4 jam, SMP dan SMA 3 jam pelajaran seminggu dengan nama Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Dalam empat kompetensi inti dan kompetensi dasar yang banyak jumlahnya pada K-13, sukar ditarik kesimpulan tentang untuk apamata pelajaran olahraga. Namun, dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan untuk berkembangnya potensi peserta didik dan menjadi manusia yang sehat.

Pada praktiknya, pelajaran olahraga di sekolah bersifat klasikal dan cenderung teoretis. Sesekali murid menghabiskan jam pelajaran dengan berolahraga seadanya di luar kelas dengan permainan yang sama. Ketiadaan fasilitas dan keterbatasan kreativitas guru menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar menjadikan pembelajaran lebih banyak ceramah, mencatat, dan menghafal definisi, seperti arti jalan berjinjit, gaya berenang, ukuran lapangan sepak bola tanpa mempraktikkannya. Pengetahuan yang dihafal itu diujikan tertulis plus ujian praktik untuk nilai rapor.

Dengan model pendidikan olahraga seperti sekarang, tak mungkinlembaga pendidikan kita dapat diandalkan sebagai basis pendukung perekrutan, pelatihan, dan pengembangan olahraga. Maka, penyelenggaraan pendidikan olahraga di lembaga pendidikan perlu ditata ulang.

Pertama, pelajaran olahraga—sebenarnya juga kesenian dan keterampilan/prakarya—dikeluarkan dari kurikulum dan ditempatkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib. Murid diwajibkan memilih dan mengikuti minimal satu cabang olahraga sesuai bakat dan minatnya. Dengan demikian, pembelajaran seragam secara klasikal dapat dihindari sehingga mata pelajaran ini tidak perlu diujikan sebagai syarat kenaikan kelas atau kelulusan.

Kedua, orientasi pelajaran/kegiatan olahraga di sekolah difungsikan memfasilitasi murid agar bugar melalui kegiatan harian, seperti senam. Selebihnya sekolah memfasilitasi kegiatan dan program olahraga sebagai upaya pengembangan bakat dan minat menuju prestasi sesuai denganstrategi keolahragaan nasional yang melibatkan unsur kemenpora, kemdikbud, pemerintah daerah, serta otoritas olahraga lainnya.

Ketiga, guru olahraga berfungsi lebih sebagai koordinator danfasilitator—dapat juga sebagai pelatih jika menguasai cabang tertentu—baik bagi kegiatan olahraga harian di sekolah untuk kebugaran maupun kegiatan pembinaan prestasi yang fasilitasnya mungkin berada di luar lingkungan sekolah dan mungkin melibatkan pelatih ”profesional.” Guru olahraga juga membentuk, mengelola, dan menghidupkan klub-klub olahraga di sekolah dan bersama otoritas keolahragaan lain mengelola kompetisi berkala.

Keempat, pemerintah melalui kementerian terkait dan pemerintah daerah membangunberbagai prasarana dan sarana olahraga terstandar secaramerata dan khusus—dengan mempertimbangkan situasi, potensi, dan kunggulan lokal—di setiap gugus sekolah tertentu yang dapat digunakan bersama. Pemerintah juga harus mendirikan sentra-sentra pelatihan atau sekolah pelatih yang tersertifikasi.

Begitu lama pendidikan olahraga di persekolahan terbengkalai, tak termanfaatkan sebagai dasar pembangunan keolahragaan, sehingga ribuan benih di seantero negeri tak sempat bertunas. Mari jadikan Hari Olahraga Nasional 9 September ini untuk membenahinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar