Jumat, 11 September 2015

Sains dan Masa Depan Indonesia

Sains dan Masa Depan Indonesia

Beben Benyamin  ;  Peneliti Indonesia di Universitas Queensland, Brisbane, Australia
                                                     KOMPAS, 10 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah meriahnya perayaan 70 tahun kemerdekaan RI dan gaduhnya berita pelemahan rupiah, ilmuwan muda Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia meluncurkan buku Sains45: Agenda Ilmu Pengetahuan Indonesia Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan.

Momentum penting bagi perkembangan sains di Indonesia ini seolah hilang ditelan bumi. Saya sendiri mengetahui tentang peluncuran buku ini dari artikel pengantar yang ditulis ketua tim penulis, Prof Jamaluddin Jompa, di laman The Conversation. Sebagai seorang ilmuwan Indonesia yang berkarya di luar negeri, buku ini telah membuka mata saya tentang gigihnya semangat kolega muda Indonesia untuk berkontribusi dalam membangun negeri melalui sains.

Buku setebal 235 halaman ini ditulis 17 ilmuwan yang merumuskan 45 pertanyaan ilmiah yang fundamental. Ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami khalayak, buku ini tepat sasaran untuk konsumsi publik, termasuk pemegang kebijakan. Proses pencarian jawaban dari 45 pertanyaan tersebut diusulkan menjadi agenda pembangunan sains Indonesia untuk 30 tahun ke depan, dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang adil, makmur dan beradab, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Pertanyaan dimulai dengan pencarian asal usul dan jati diri sebagai manusia Indonesia. Siapa sebenarnya penghuni negara kepulauan ini? Dari mana asalnya? Sudah berapa lama mereka tinggal di ribuan pulau yang membentang bak zamrud di Khatulistiwa ini? Bagaimana keragaman biologis, budaya, suku, dan kepercayaan membentuk Indonesia?

Pencarian asal usul danjati diri merupakan agenda sains sangat penting. Selain manifestasi dari rasa keingintahuan, pertanyaan ini juga penting secara praktis. Sebagai contoh, keragaman genetik manusia Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke punya implikasi terhadap perbedaan efektivitas pengobatan.

Ke-45 pertanyaan yang dirangkum rapi dalam delapan bab tersebut mencakup semua bidang keilmuan. Dari budaya sampai bencana. Dari kesehatan sampai kelautan. Dari ekonomi sampai energi. Agenda ini penting untuk memetakan pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang diharapkan menjadi prioritas pengembangan sains untuk menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Minimnya dukungan pemerintah dan rendahnya budaya ilmiah saat ini ternyata tidak mengendurkan semangat kolega muda untuk menelurkan agenda besar sains Indonesia ini. Akan tetapi, agenda ini hanya akan terhenti di tataran ide jika tidak dibarengi kesungguhan pemerintah untuk membuat kebijakan yang bisa menciptakan kondisi ideal tempat ilmuwan mewujudkan agendanya.

Sederhananya, kondisi ideal yang diharapkan ilmuwan adalah kondisi agar mereka bisa fokus melakukan penelitian dengan jaminan kebebasan akademik dalam lingkungan ilmiah yang kondusif, didukung sarana dan prasarana, serta tingkat kesejahteraan yang memadai. Kondisi yang (mendekati) ideal seperti itulah yang sekarang didapatkan ilmuwan negara-negara maju sehingga dapat menghasilkan karya sains yang inovatif.

Rendahnya dukungan pemerintah terhadap sains sudah banyak dikeluhkan. Alokasi dana untuk sains di Indonesia termasuk terendah di Asia Tenggara, yaitu 0,09 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Jika dibandingkan Malaysia (1 persen) dan Singapura (2,5 persen), kita sangat jauh ketinggalan. Dengan jumlah penduduk, wilayah, dan PDB paling besar, seharusnya Indonesia bisa jadi pemimpin di bidang sains di Asia Tenggara. Namun, karena komitmen pemerintah yang sangat rendah, output sains pun menjadi korban.

Indikator keberhasilan sains, seperti jumlah dan kualitas publikasi ilmiah di basis data tepercaya, seperti Scopus yang dirangkum The SCImage Journal and Country Rank, menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dari Thailand, Malaysia, dan Singapura. Ini menunjukkan ada ketaksepadanan antara kekayaan sumber daya dan keberhasilan sains di Indonesia.

Belajar dari negara lain

Untuk mempercepat pembangunan, tiap negara belajar satu sama lain. Tak terkecuali di bidang sains. Tentu saja tidak dengan menjiplak secara utuh, tetapi formula-formula sukses mereka yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik Indonesia bisa dijadikan acuan. Negara yang maju secara sains setidaknya memiliki ciri-ciri berikut.

Pertama, mereka memiliki akademi ilmu pengetahuan nasional yang terdiri atas ilmuwan-ilmuwan terbaik yang mampu menyediakan informasi sains terkini, mempromosikan kemajuan ilmu pengetahuan ke masyarakat, serta memberikan masukan independen ke pemerintah.

Indonesia sudah mempunyai AIPI, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sudah banyak yang dilakukan AIPI untuk mempromosikan sains, termasuk publikasi buku Sains45. Sejauh mana pemerintah mendengar masukan AIPI perlu dikaji lebih lanjut. Namun, tidak hadirnya Presiden ke acara ulang tahun ke-25 AIPI (Kompas, 24/05/2015) mengindikasikan bahwa pemerintah tidak menempatkan sains sebagai prioritas.

Kedua, mereka punya penasihat sains yang bisa memberi masukan sains langsung kepada presiden (di tingkat negara) atau kepada gubernur (di tingkat provinsi). Dengan adanya penasihat sains, kasus yang memalukan seorang presiden, seperti kasus blue energy (air sebagai sumber bahan bakar), tak akan terjadi. Tak adanya ilmuwan di Dewan Pertimbangan Presiden saat ini lagi-lagi menunjukkan rendahnya kepedulian pemerintah terhadap sains.

Ketiga, mereka memiliki lembaga riset nasional dengan anggaran besar yang mengatur pembagian dana riset ke seluruh ilmuwan di seluruh lembaga riset dan universitas. Pembagian terpusat ini disesuaikan dengan prioritas nasional dan dibagikan secara kompetitif, yang penilaiannya dilakukan oleh sesama ilmuwan. Hanya aplikasi penelitian yang mengusung ide baru dengan kualitas sains yang unggul serta diajukan oleh ilmuwan yang punya potensi dan rekam jejak hebatlah yang dibiayai. Jumlah dananya cukup besar (sekitar Rp 5 miliar per aplikasi) dan berjangka waktu 3-5 tahun. Di Indonesia, terbatasnya dana dan sempitnya jangka waktu penelitian menjadi salah satu alasan rendahnya kualitas hasil penelitian.

Keempat, mereka memiliki banyak universitas dengan fokus pada riset yang bukan sekadar jargon. Riset dapat porsi besar di dalam kampus. Staf akademik bisa memilih untuk fokus pada perkuliahan, riset, atau gabungan keduanya. Di Indonesia, beratnya tugas perkuliahan yang harus ditanggung seorang dosen banyak dikeluhkan sebagai salah satu alasan minimnya output sains.

Kelima, universitas memberikan kepastian karier dan insentif kepada ilmuwan untuk tetap fokus dan berkarya supaya menghasilkan sains yang berkualitas. Sistem kenaikan pangkat yang menekankan pada produktivitas dan kualitas karya ilmiahnya berdasarkan penilaian sesama ilmuwan (bukan birokrat atau petugas administrasi) juga memastikan ilmuwan untuk fokus pada penelitian. Karena maju mundurnya karier seorang ilmuan bergantung pada output sainsnya. Universitas juga tak memberikan insentif berlebihan bagi jabatan struktural kampus sehingga jabatan struktural bukan menjadi tujuan utama karier seorang ilmuwan.

Keenam, mereka memiliki mahasiswa-mahasiswa PhD (S-3) dengan usia muda (25-30 tahun). Usia yang sering disebut ideal untuk menghasilkan penemuan baru. Gelar PhD dianggap sebagai modal awal karier seorang dosen atau peneliti, bukan akhir karier seorang dosen. Di Indonesia banyak yang memulai PhD-nya ketika usia sudah menginjak 30 tahun sehingga masa produktif pasca PhD pun menjadi pendek.

Tentu saja keenam hal di atas hanya sebagian dari karakteristik negara yang maju sainsnya. Pendidikan dasar dan menengah yang merangsang siswa tertarik pada sains, literasi sains masyarakat yang tinggi sehingga bisa membedakan antara sains dan pseudo-sains, dukungan media dengan pemberitaan sainsnya, dukungan swasta dalam adopsi teknologi serta peran filantropi dalam pendanaan merupakan bagian yang integral dari karakteristik negara dengan sains yang maju.

Apa yang bisa dilakukan?

Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk membangun sains Indonesia seperti yang dicita-citakan. Ini bukan usulan baru, melainkan harus terus dikampanyekan sampai terjadi perbaikan.

Pertama, pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan investasinya di bidang sains. Peningkatan investasi yang cukup besar sehingga dalam jangka panjang bisa mendekati rata-rata dunia (sekitar 2 persen). Peningkatan anggaran ini bisa ditujukan untuk, tetapi tidak terbatas pada, peningkatan dana proyek penelitian yang diiringi pembenahan sistem alokasi supaya penelitian yang dilakukan berkualitas, penguatan lembaga yang sudah ada dan pembentukan lembaga penelitian atau universitas baru yang berbasis riset dengan segala fasilitasnya, dan peningkatan jumlah peneliti dibarengi dengan peningkatan kesejahteraannya.

Kerja sama antara AIPI dan Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP Kementerian Keuangan) untuk membentuk Indonesian Science Fund (ISF) bagi pendanaan riset dasar merupakan langkah awal maju yang perlu diapresiasi. Namun, langkah ini perlu dilanjutkan dengan dukungan pemerintah yang lebih besar lewat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pedidikan Tinggi dengan memperbaiki atau membuat sistem pendanaan riset yang kondusif bagi pengembangan sains.

Kedua, komunitas sains harus berupaya terus meningkatkan budaya ilmiah serta output sains yang berkualitas. Langkah ini sama pentingnya dengan peningkatan investasi sains. Banyak pihak yang mengeluhkan tentang rendahnya budaya ilmiah ini. Tanpa budaya ilmiah yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, anggaran besar hanya akan menghasilkan tumpukan laporan yang tidak ada nilainya secara sains. Tujuan mulia tercapainya kemajuan sains pun hanya tinggal mimpi.

Salah satu cara peningkatan budaya ilmiah dan kualitas sains bisa dilakukan secara sistematik dengan cara mengkaji ulang sistem insentif, penggajian, dan kenaikan pangkat seorang peneliti atau dosen. Peneliti yang produktif dan menghasilkan karya-karya sains yang berkualitaslah yang dapat maju dalam karier ilmiahnya. Dengan demikian, kegiatan sains jadi fokus pekerjaan. Penilaiannya pun harus dilakukan oleh ilmuwan, bukan oleh birokrat. Sebab, ilmuwanlah yang tahu secara obyektif kualitas ilmuwan lain.

Akhirnya, sudah tidak perlu lagi dibahas bagaimana kemajuan sains menentukan kemajuan sebuah bangsa. Hubungan kemajuan sains dan kemajuan bangsa bukan lagi sebuah korelasi, melainkan hubungan sebab akibat. Ahli ekonomi sudah menghitung bahwa kemajuan sainslah yang menjadi faktor terbesar pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, mengapa sampai ulang tahun yang ke-70, pemerintah masih belum memprioritaskan sains?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar