Jumat, 11 September 2015

Revolusi Mental dan Konsekuensinya

Revolusi Mental dan Konsekuensinya

Albert Hasibuan  ;  Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Periode 2012-2014
                                                     KOMPAS, 09 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ternyata, perhatian pengguna media sosial tentang revolusi mental—selama 10 bulan pemerintahan Jokowi-JK bekerja—cukup besar. Menurut survei harian ini (Kompas, 3/8) pada sembilan bulan terakhir, 66,2 persen positif dan 33,8 persen negatif.

Saya tidak akan memberikan penilaian terhadap hasil survei ini, tetapi ingin sekadar mendalami apa yang saya ketahui, tentang revolusi mental itu dan apa konsekuensinya. Saya ingat, ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam kampanye Pemilu 2014 berbicara tentang revolusi mental, yang dimaksud adalah suatu mental baru yang sudah mengalami perubahan drastis.

Mental baru itu adalah ”a new mindset” yang mampu menggerakkan orang untuk, secara maksimal, menyukseskan program pemerintahan Jokowi-JK yang dinamakan Nawacita. Sudah tentu, mental baru ini berbeda dengan mental biasa yang belum mengalami perubahan. Dengan penafsiran logis, tidak ada atau absennya mental baru itu, keberhasilan visi dan misi dalam program Nawacita pemerintahan Jokowi-JK kemungkinan akan mengalami hambatan besar.

Reformatif populistik

Pertanyaannya: apa yang menyebabkan Jokowi-JK mensyaratkan mental baru itu? Seberapa penting ”a new mindset” yang disebut revolusi mental? Untuk menjawab ini, ada dua faktor. Pertama, saya perkirakan Presiden Joko Widodo danWakil Presiden Jusuf Kalla telah memahami apa yang diterangkan Samuel Huntington, ahli politik dari Universitas Harvard, AS.

Pada akhir 1960-an, Huntington mengatakan bahwa penyebab fundamental dari instabilitas sosial dan politik di negara-negara berkembang adalah perubahan cepat dari masyarakat. Ekspektasi dan keinginan rakyat berkembang secara cepat, menyebabkan suatu pemerintahan mengalami kesulitan untuk memenuhinya.

Sebagai contoh adalah pengalaman Indonesia tahun 1998, di mana tidak bisa dipenuhinya keinginan dan harapan rakyat menyebabkan terjadi instabilitas sosial dan politik. Masyarakat Indonesia, waktu itu, menginginkan perubahan ke arah politik baru yang terbuka dan demokratis. Akan tetapi, karena pada waktu itu pemerintah tidak bisa memenuhinya, Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri dan kemudian lahir era reformasi.

Faktor kedua, berkaitan dengan gejala perubahan nilai dan mental dari rakyat di dunia. Hal ini adalah gejala perubahan sosiologis dari nilai dan mental rakyat. Suatu lembaga survei nilai-nilai dunia (World Values Survey) pernah mengatakan bahwa ada perubahan nilai dan mental dari rakyat di dunia yang disebabkan oleh konsensus global tentang pentingnya otonomi individu dan kesamaan jender, serta ketidaksetujuan atau intoleran terhadap otoritarianisme.

Fenomena ini juga terjadi di masyarakat Indonesia. Misalnya, kini banyak perhatian ditujukan pada nilai kemanusiaan dan keadaban moral, berkembangnya nilai etis sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM), perubahan nilai yang didasarkan pada norma keadilan, adanya semangat antikorupsi yang besar, dan sebagainya.

Dengan demikian, berdasarkan kedua faktor ini, menurut saya, Jokowi-JK bertekad menyukseskan program lima tahun Nawacita—dengan sembilan agenda prioritas pemerintahnya—dengan bekal mental yang baru. Masalahnya sekarang, sampai di mana mental baru itu sudah dipahamidan mulai dilaksanakan oleh masyarakat? Apakah masyarakat paham bahwa keberhasilan program Nawacita akan sangat bergantung pada mental yang baru tersebut?

Sehubungan ini, saya perhatikan, Jokowi-JK telah terlebih dulu melakukan penyesuaian terhadap bentuk kepemimpinannya. Bentuk kepemimpinannya itu saya sebut kepemimpinan reformatif yang populistik.

Contoh kepemimpinan dimaksud diwujudkan dengan mempergunakan metode blusukan yang populer di kalangan rakyat dan komunikasi serta ungkapan-ungkapan yang kritis dan aspiratif. Pertanyaannya: mengapa perlu penyesuaian dengan bentuk kepemimpinan ini? Saya rasa karena Jokowi-JK memerlukan mobilisasi rakyat berdasarkan kekuatan kepercayaan dalam perjuangan kolaboratif berdasarkan perubahan dan pembaruan mental untuk menyukseskan program Nawacita tersebut.

Tiga indikasi

Sayangnya, penyesuaian kepemimpinan ini tidak diikuti dengan perkembangan di masyarakat. Selama 10 bulan pemerintahannya,masyarakat—terutama di birokrat pemerintahan dan kaum politisi serta kalangan penegak hukum—masih terbatas pemahaman dan pelaksanaannya. Salah satu sebabnya adalah adanya tendensi untuk mempertahankan mental yang biasa dan belum berubah. Mental yang cenderung melawan (inertia) yang bersifat ”busines as usual”.

Indikasinya, di bidang birokrasi pemerintahan, masih tampak adanya praktik-praktik yang menimbulkan kekacauan manajemen pemerintahan. Juga kebijakan-kebijakan yang tidak sinkron dan tepat, tindakan koruptif dan pelanggaran hukum. Contohnya, kejadian akhir-akhir ini, yaitu korupsi birokrasi tentang waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan.

Meski demikian, di pihak lain, saya akui ada elemen-elemen masyarakat—dalam hal ini masyarakat sipil—yang telah mempraktikkan mental baru untuk meningkatkan suksesnya pemerintahan bersih dan efektif. Isu-isu HAM, antikorupsi, pemborosan, dan ketidaktepatan anggaran pemerintah, pemikiran tentang sistem pemilu, dan lain-lain telah diangkat oleh Kontras, Komnas HAM, Setara, ICW, Formappi, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya pun paham mengapa ada suara-suara yang menghendaki suatu perubahan atau ”reshuffle” di birokrasi pemerintahan. Masyarakat saat ini cenderung menghendaki pejabat birokrasi pemerintahan berdasarkan keahlian serta integritas, bukanpejabat yang berasal dari orang yang dekat kekuasaan.

Di bidang politik, saya perhatikan sebagian politisi (anggota DPR) masih terkait dengan kategori seperti yang dikemukakan seorang sosiolog Jerman, Max Weber. Dia mengatakan, para politisi itu lebih menginginkan kekuasaan, apakah sebagai cara untuk mencapai tujuan ideal atau yang berpusat pada dirinya, atau lebih menginginkan kekuasaan demi kekuasaan, demi menikmati suatu prestise yang diberikan kekuasaan itu.

Pernyataan ini, terutama kekuasaan demi kekuasaan untuk prestise, menyadarkan kita bahwa para politisi itu masih kurang pemahaman dan kesadaran terhadap mental yang baru itu. Karena itu, para politisi itu enggan melakukan hal-hal yang tepat dan rasional sesuai fungsinya seperti diharapkan konstituennya.Malahan, tugas primer anggota DPR untuk hadir di sidang pleno DPR sering tidak dipenuhi dan menjadi politisi yang mengejar uang dengan tindakan-tindakan koruptif dan sebagainya.

Demikian juga di kalangan penegakan hukum dengan maraknya praktik-praktik mafia pengadilan yang menjadikan hukum kehilangan wibawa di mata masyarakat. Hukum oleh masyarakat dianggap kurang memberikan rasa keadilan.

Berdasarkan tiga fakta ini, saya pikir, pemerintah—dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla—sudah saatnya lebih aktif mengembangkan pemahaman dan kesadaran tentang revolusi mental kepada masyarakat agar program Nawacita berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar