Panasnya Eropa
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 02 September 2015
Ketika berkunjung ke Spanyol dan Italia akhir Juli kemarin, saya
merasakan betul panasnya suasana di sana. Maaf, yang saya maksud bukan
“panas” karena jengkelnya masyarakat Eropa terhadap ulah Yunani.
(Ulah masyarakat negeri para dewa itu memang kebangetan. Sudah
tahu utangnya banyak, tapi mereka tak mau hidup sederhana. Maunya tetap hidup
enak. Kerja delapan jam per hari. Kalau siang ada jatah tidur siang. Lalu,
tetap ada waktu libur. Sementara, kita yang di Asia, kerja lebih dari 12 jam
per hari sudah biasa. Tidur siang? Mana ada! Libur pun seperlunya.)
Panas di Eropa yang saya maksud betul-betul karena suhunya.
Siang hari bisa mencapai 40 derajat Celcius. Padahal buat kita di Indonesia,
panas 33-34 derajat Celcius saja rasanya sudah minta ampun. Ini 40 derajat
Celcius! Maka, saya bisa membayangkan betapa tersiksanya masyarakat yang
tinggal di kawasan sub tropik tersebut.
Dalam ajang tenis Wimbledon 2015 di London yang baru lalu,
seorang bocah pemungut bola pingsan saat turnamen karena tidak tahan dengan
suhu panas. Yang menjalankan ibadah puasa di Spanyol dan Italia saat itu
benar-bebar berat. Matahari baru beranjak pukul 21.00
Hewan-hewan di kebun binatang Eropa betu-betul merana. Pengelola
kebun binatang pun memberikan balok-balok es untuk para babon, mandi air
dingin untuk gajah, sampai es krim, buah dan sayuran dingin untuk
binatang-binatang kecil.
Di Bandara Heathrow, London dengan suhu 36,7 derajat Celcius
kemarin, adalah yang tertinggi sepanjang sejarah. Di sebelah barat daya
Prancis, suhunya mencapai 42 derajat Celcius. Di Cordoba (Spanyol), 44
derajat Celcius. Di Madrid juga tertinggi dalam 95 tahun terakhir, 40 derajat
Celcius.
Dari eropa, gelombang panas merambat ke Asia, bahkan mengambil
korban jiwa. Di Provinsi Sindh, selatan Pakistan, ia mengakibatkan 700 orang
meninggal. Di sana suhu bisa mencapai 43 derajat Celcius. Padahal di
Gujarat,India, banjir sudah datang dan juga merenggut korban jiwa.
Pengalaman 2003
Panas serupa juga pernah melanda Chicago (1995) dan Eropa pada
tahun 2003. Kala itu, gelombang panas yang diiringi dengan kekeringan memicu
terjadinya krisis kesehatan. Beberapa referensi yang saya baca menyebutkan
bahwa korban jiwa akibat gelombang panas 2003 mencapai 70.000 jiwa.
Prancis adalah salah satu negara yang mengalami dampak paling
parah akibat gelombang panas tersebut. Menurut laporan Institu Kesehatan
Nasional Prancis, hampir 15.000 warga meninggal dunia, terutama para orang
tua. Ketika itu selama Juli sampai Agustus 2003, suhu rata-rata di Prancis
mencapai lebih dari 40 derajat Celcius.
Mengapa korbannya begitu banyak? Jawabnya karena manusia tidak
biasa. Mereka umumnya menganggap suhu selama musim panas sedang-sedang saja.
Lebih pas disebut hangat. Orang tak terbiasa dengan AC, yang ada adalah
jendela yang diberi seal karet. Kenyataannya tidak demikian.
Kondisi itu diperparah dengan banyaknya petugas pemerintah,
termasuk para dokter, yang berlibur. Jadi warga Prancis betul-betul tidak
siap menghadapinya.
Di Portugal, tingginya suhu memicu terjadinya kebakaran hutan di
sejumlah lokasi. Sekitar 2.000 orang meninggal. Di Belanda, 1.500-an orang.
Di Spanyol, 141 orang. Suhu tertinggi mencapai 41 derajat Celcius terjadi di
Jerez dan bagian utara Spanyol. Di Barcelona, tempat klub sepakbola favorit
saya berdomisili, suhu dilaporkan mencapai 36 derajat Celcius.
Anda tahu salah satu negara terdingin di Eropa? Swiss. Di sana
naiknya suhu menyebabkan gletser di Pegunungan Alpen meleleh serta memicu
terjadinya longsor dan banjir. Suhu di Swiss menurut sejumlah laporan
mencapai lebih dari 40 derajat Celcius.
Solidaritas Global
Fenomena perubahan cuaca global sudah menjadi pengetahuan
bersama. Masalahnya aksi yang kita lakukan masih sangat terbatas. Sekjen PBB
Ban Ki-moon mengatakan, “Climate change
does not respect border; it does not respect who you are—rich and poor, small
and big. Therefore, this is what we call 'global challenges,' which require
global solidarity.”
Saya senang dengan kisah dari Kabupaten Mamuju di Sulawesi
Selatan. Di sana, setiap calon pengantin, wajib menanam sedikitnya lima
batang pohon. Hal serupa juga dilakukan di Balikpapan.
Seorang rekan dari Sumatra Barat selalu bangga menunjukkan
sepasang pohon kelapa yang ditanam di belakang rumahnya, hadiah dari mertua
saat menikah katanya. Di Rumah Perubahan, saya memilih untuk merubah gambar
bangunan ketimbang harus memotong akar pohon. Di Hegarmanah, Cibadak dekat
Sukabumi, kami membeli kebun manggis puluhan hektar begitu mendengar pohonnya
mau dimatikan.
Inisiatif-inisiatif ini perlu terus didorong. Solidaritasnya
global, tapi aksinya lokal. Begitulah cara kita menjadi warga global.
Ayo kita tanam pohon! Jangan nyalakan lampu kalau tidak perlu.
Jangan nyalakan AC kalau udaranya sudah sejuk. Dan, saya yakin Anda masih
punya banyak inisiatif lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar