Sabtu, 05 September 2015

Jongkok Bersama Tiongkok

Jongkok Bersama Tiongkok

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Global Financeroll Indonesia
                                                    JAWA POS, 02 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MIMPI Tiongkok tampaknya mulai terwujud. Bertahun-tahun petinggi Negeri Panda itu berhasrat perekonomiannya dianggap dan punya pengaruh besar terhadap dinamika perekonomian global. Pada pengujung Juli lalu, seluruh mata dunia akhirnya tertuju kepada Tiongkok dan hasilnya ”done though out of desirable performance”. Negara itu mampu membuat negara-negara yang berkapitalisasi raksasa menjadi berdebar-debar dan membuat pasar emerging markets kalang kabut.

Sejatinya mimpi tersebut tidak muncul dalam penampakan yang ideal, tidak seperti yang diharapkan petinggi-petinggi Partai Komunis Tiongkok. Namun, kemunculan yang kontradiktif itu justru mengukuhkan pengaruh Tiongkok terhadap kelangsungan perekonomian global. The Fed dibuat grogi, Donald Trump mengumpat. Juga, ekonom-ekonom Indonesia berdebat keras, apakah akan berbuah petaka seperti Malaysia dan Rusia atau hanya terpaan ”tornado” sekali lewat.

Keresahan global mulai menyeruak ke permukaan ketika data Caixin China Manufacturing Index atau yang dikenal dengan sebutan Purchasing Managers Index (PMI) Tiongkok memasuki jalur kontraksi. Secara fundamental, indeks itu adalah representasi dari aktivitas manufaktur berkategori besar yang ternyata jatuh ke level terendah dalam 77 bulan terakhir. Yakni, 47,1 untuk Agustus dari 47,8 pada Juli. Secara teknis, indeks itu bisa diinterpretasi dengan sederhana. Jika berada di bawah angka 50, artinya kontraksi. Di atas 50, artinya ekspansi.

Seturut dengan itu, ekspor Tiongkok pada Juli merosot 8,3 persen secara year on year. Impor juga menyusut 8,1 persen untuk bulan kesembilan secara berturut-turut. Untuk produk domestik bruto, walaupun masih terhitung naik 7 persen secara year on year pada kuartal kedua dan terbilang berada di atas ekspektasi, secara historis angka tersebut masih jauh di bawah angka yang sudah biasa diraih negara ini.

Pasar saham Tiongkok langsung bereaksi negatif. Saat mengakhiri Juli, bursa Tiongkok belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Tren bearish kian jelas. Shanghai Composite Index merosot 14 persen. Itu bukan hanya penurunan bulanan terbesar sejak Agustus 2009, tapi juga penurunan terparah di antara 93 indeks global lain ketika itu. Indeks Shanghai terkoreksi sekitar 30 persen sejak menorehkan rekor bombastis pada 8 Juni 2015.

Padahal, sejak Juli 2014 hingga Juni 2015, bursa Tiongkok reli positif sampai 150 persen. Meski banyak analis dan pelaku pasar yang menilai kenaikan itu tidak berdasar fundamen yang bisa dipertanggungjawabkan secara teoretis. Sebab, berdasar da ta dari Bloomberg, price to earning (PE) index bursa Tiongkok terkesan bergerak abnormal.

Namun, sebagian analis lain percaya bahwa yang berlangsung di lantai bursa Tiongkok belum bisa dijadikan patokan atas kondisi ekonomi riil negeri tersebut. Secara matematis, indeks saham sebenarnya masih dinilai positif jika dibandingkan dengan kenaik an yang diraih sejak Juni tahun lalu.

Secara teknis, pelaku pasar saham di Tiongkok terus melambung karena ditopang oleh pelaku-pelaku individu yang cukup masif. Banyak orang yang mencoba peruntungan di lantai bursa, baik karena performa indeks saham yang kinclong maupun berlimpahnya pembiayaan yang datang dari sumber formal dan informal (shadow banking). Karena itu, secara matematis, 80 persen investor yang melantai di bursa Tiongkok tercatat sebagai investor individu dan lebih dari 90 juta rekening transaksi berasal dari Partai Komunis Tiongkok.

Tiongkok yang telah lima kali memangkas suku bunga sejak Juni tahun lalu kemudian merespons dengan menghujani sistem perbankan dengan likuiditas berlimpah; memperbolehkan 30 persen dari aset dana pensiun yang sahamnya dipegang pemerintah ikut berpartisipasi di lantai bursa; dan terakhir mendevaluasi mata uang yuan 1,9 persen pada 11–12 Agustus lalu; membuat dunia ”ternganga”. Tiongkok dianggap sedang panik. Dunia pun ikut jongkok dan terbawa panik.

Bahkan, Presiden Federal Reserve untuk Wilayah Atalanta Dennis Lockhart berbalik melawan ekspektasi yang ditebarnya bulan lalu. Lockhart akhirnya mengakui bahwa runtuhnya pasar saham Tiongkok membuat harga komoditas terseok-seok dan sangat mungkin memicu perang mata uang secara intensif. Pahitnya untuk Amerika, komplikasi yang dipicu kebijakan devaluasi yuan membuat landasan untuk kebijakan kenaikan suku bunga The Fed pada September semakin rumit.

Kekhawatiran Lockhart sangat beralasan. Sebab, devaluasi yuan sejatinya bukanlah berita baik bagi perekonomian AS. Lihat saja laporan penelitian ekonom Goldman Sach, Sven Jari Stehn, pada 25 Agustus lalu. Stehn menilai, kondisi pasar setelah devaluasi yuan bisa mencuri 0,5 persen tingkat pertumbuhan ekonomi AS. Bahkan, jika kondisi semakin tak menentu sampai akhir tahun, tingkat pertumbuhan Amerika bisa tertekan sampai 0,8 persen. 

Proyeksi tersebut akan merusak prospek perekonomian Negeri Paman Sam dan menghadang fase ”normalisasi” yang telah lama ditunggu-tunggu The Fed.
Bukan hanya Amerika, banyak negara top lain yang akan guncang. Tiongkok tidak hanya berperan sebagai pemegang terbesar atas produk Treasury Securities AS, tapi juga mitra dagang utama bagi Eropa, Amerika Latin, dan Australia. Tiongkok juga menjadi fasilitator kunci untuk jalur perdagangan intra-Asia, terutama perdagangan industri pengolahan.

Menurut penelitian Dana Moneter Internasional (IMF), setiap penurunan 1 persen dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan menekan pertumbuhan agregat ekonomi Asia lainnya sebesar 0,3 persen untuk tahun berikutnya dan mencuri 0,15 persen pertumbuhan ekonomi di luar kawasan Asia.

Jadi, terlepas dengan sebutan apakah para analis dan ekonom akan melabeli fenomena Tiongkok itu, apakah pra-Yunani, apakah pertanda awal krisis, atau ”hard landing”, dalam kacamata yang lain sebenarnya Tiongkok telah membuktikan mimpi petinggi-petingginya bahwa perekonomian mereka memang penting bagi dunia. Semua akan terbawa jongkok ketika Tiongkok mulai melambat dan batuk-batuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar