Jongkok Bersama Tiongkok
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Global Financeroll
Indonesia
|
JAWA
POS, 02 September 2015
MIMPI Tiongkok
tampaknya mulai terwujud. Bertahun-tahun petinggi Negeri Panda itu berhasrat
perekonomiannya dianggap dan punya pengaruh besar terhadap dinamika
perekonomian global. Pada pengujung Juli lalu, seluruh mata dunia akhirnya
tertuju kepada Tiongkok dan hasilnya ”done
though out of desirable performance”. Negara itu mampu membuat
negara-negara yang berkapitalisasi raksasa menjadi berdebar-debar dan membuat
pasar emerging markets kalang kabut.
Sejatinya
mimpi tersebut tidak muncul dalam penampakan yang ideal, tidak seperti yang
diharapkan petinggi-petinggi Partai Komunis Tiongkok. Namun, kemunculan yang
kontradiktif itu justru mengukuhkan pengaruh Tiongkok terhadap kelangsungan
perekonomian global. The Fed dibuat grogi, Donald Trump mengumpat. Juga,
ekonom-ekonom Indonesia berdebat keras, apakah akan berbuah petaka seperti
Malaysia dan Rusia atau hanya terpaan ”tornado” sekali lewat.
Keresahan
global mulai menyeruak ke permukaan ketika data Caixin China Manufacturing
Index atau yang dikenal dengan sebutan Purchasing Managers Index (PMI)
Tiongkok memasuki jalur kontraksi. Secara fundamental, indeks itu adalah
representasi dari aktivitas manufaktur berkategori besar yang ternyata jatuh
ke level terendah dalam 77 bulan terakhir. Yakni, 47,1 untuk Agustus dari
47,8 pada Juli. Secara teknis, indeks itu bisa diinterpretasi dengan
sederhana. Jika berada di bawah angka 50, artinya kontraksi. Di atas 50,
artinya ekspansi.
Seturut dengan
itu, ekspor Tiongkok pada Juli merosot 8,3 persen secara year on year. Impor
juga menyusut 8,1 persen untuk bulan kesembilan secara berturut-turut. Untuk
produk domestik bruto, walaupun masih terhitung naik 7 persen secara year on
year pada kuartal kedua dan terbilang berada di atas ekspektasi, secara
historis angka tersebut masih jauh di bawah angka yang sudah biasa diraih
negara ini.
Pasar saham
Tiongkok langsung bereaksi negatif. Saat mengakhiri Juli, bursa Tiongkok
belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Tren bearish kian jelas. Shanghai
Composite Index merosot 14 persen. Itu bukan hanya penurunan bulanan terbesar
sejak Agustus 2009, tapi juga penurunan terparah di antara 93 indeks global
lain ketika itu. Indeks Shanghai terkoreksi sekitar 30 persen sejak
menorehkan rekor bombastis pada 8 Juni 2015.
Padahal, sejak
Juli 2014 hingga Juni 2015, bursa Tiongkok reli positif sampai 150 persen.
Meski banyak analis dan pelaku pasar yang menilai kenaikan itu tidak berdasar
fundamen yang bisa dipertanggungjawabkan secara teoretis. Sebab, berdasar da
ta dari Bloomberg, price to earning (PE) index bursa Tiongkok terkesan
bergerak abnormal.
Namun,
sebagian analis lain percaya bahwa yang berlangsung di lantai bursa Tiongkok
belum bisa dijadikan patokan atas kondisi ekonomi riil negeri tersebut.
Secara matematis, indeks saham sebenarnya masih dinilai positif jika
dibandingkan dengan kenaik an yang diraih sejak Juni tahun lalu.
Secara teknis,
pelaku pasar saham di Tiongkok terus melambung karena ditopang oleh
pelaku-pelaku individu yang cukup masif. Banyak orang yang mencoba
peruntungan di lantai bursa, baik karena performa indeks saham yang kinclong
maupun berlimpahnya pembiayaan yang datang dari sumber formal dan informal (shadow banking). Karena itu, secara
matematis, 80 persen investor yang melantai di bursa Tiongkok tercatat
sebagai investor individu dan lebih dari 90 juta rekening transaksi berasal
dari Partai Komunis Tiongkok.
Tiongkok yang
telah lima kali memangkas suku bunga sejak Juni tahun lalu kemudian merespons
dengan menghujani sistem perbankan dengan likuiditas berlimpah;
memperbolehkan 30 persen dari aset dana pensiun yang sahamnya dipegang
pemerintah ikut berpartisipasi di lantai bursa; dan terakhir mendevaluasi
mata uang yuan 1,9 persen pada 11–12 Agustus lalu; membuat dunia ”ternganga”.
Tiongkok dianggap sedang panik. Dunia pun ikut jongkok dan terbawa panik.
Bahkan,
Presiden Federal Reserve untuk Wilayah Atalanta Dennis Lockhart berbalik
melawan ekspektasi yang ditebarnya bulan lalu. Lockhart akhirnya mengakui
bahwa runtuhnya pasar saham Tiongkok membuat harga komoditas terseok-seok dan
sangat mungkin memicu perang mata uang secara intensif. Pahitnya untuk
Amerika, komplikasi yang dipicu kebijakan devaluasi yuan membuat landasan
untuk kebijakan kenaikan suku bunga The Fed pada September semakin rumit.
Kekhawatiran
Lockhart sangat beralasan. Sebab, devaluasi yuan sejatinya bukanlah berita
baik bagi perekonomian AS. Lihat saja laporan penelitian ekonom Goldman Sach,
Sven Jari Stehn, pada 25 Agustus lalu. Stehn menilai, kondisi pasar setelah
devaluasi yuan bisa mencuri 0,5 persen tingkat pertumbuhan ekonomi AS.
Bahkan, jika kondisi semakin tak menentu sampai akhir tahun, tingkat
pertumbuhan Amerika bisa tertekan sampai 0,8 persen.
Proyeksi tersebut akan
merusak prospek perekonomian Negeri Paman Sam dan menghadang fase
”normalisasi” yang telah lama ditunggu-tunggu The Fed.
Bukan hanya
Amerika, banyak negara top lain yang akan guncang. Tiongkok tidak hanya
berperan sebagai pemegang terbesar atas produk Treasury Securities AS, tapi
juga mitra dagang utama bagi Eropa, Amerika Latin, dan Australia. Tiongkok
juga menjadi fasilitator kunci untuk jalur perdagangan intra-Asia, terutama
perdagangan industri pengolahan.
Menurut
penelitian Dana Moneter Internasional (IMF), setiap penurunan 1 persen dari
pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan menekan pertumbuhan agregat ekonomi Asia
lainnya sebesar 0,3 persen untuk tahun berikutnya dan mencuri 0,15 persen
pertumbuhan ekonomi di luar kawasan Asia.
Jadi, terlepas dengan sebutan
apakah para analis dan ekonom akan melabeli fenomena Tiongkok itu, apakah
pra-Yunani, apakah pertanda awal krisis, atau ”hard landing”, dalam kacamata
yang lain sebenarnya Tiongkok telah membuktikan mimpi petinggi-petingginya
bahwa perekonomian mereka memang penting bagi dunia. Semua akan terbawa
jongkok ketika Tiongkok mulai melambat dan batuk-batuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar