Sabtu, 05 September 2015

Quo Vadis Paket Kebijakan Besar?

Quo Vadis Paket Kebijakan Besar?

Effnu Subiyanto  ;  Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur Koridor;
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair, Surabaya
                                                    JAWA POS, 03 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MERESPONS pelemahan nilai tukar mata uang rupiah, menurunnya ekspor karena pukulan devaluasi yuan Tiongkok, merosotnya investasi, persoalan dwelling time, dan akumulasi pertumbuhan ekonomi 4,7 persen pada semester pertama tahun ini, pemerintah merancang sebuah peraturan pemungkas yang disebut dengan paket kebijakan besar (PKB).

Beberapa waktu lalu pemerintah juga sudah memberikan insentif fiskal dalam PMK 159/2015 terhadap investasi yang termasuk kategori industri pionir. Besarnya cukup signifikan karena dapat pengurangan PPh badan seluruhnya dan paling sedikit 10 persen untuk kurun waktu paling lama 15 tahun.

Sebelumnya, pemerintah juga meluncurkan PP 18/2015 yang merupakan revisi PP 52/2011 juncto PP 62/2008 juncto PP 1/2007 tentang fasilitas tax holiday.

Rezim Insentif

Rezim sweetener atau insentif untuk menarik sektor riil berinvestasi dan berproduksi di Indonesia sebetulnya tidak baru. Pada 2008, rezim itu kali pertama dikenal dalam APBN dengan nama bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) yang dihasilkan dari PP 1/2007. Kejadian paling ironis dirasakan pada 2012, ketika anggaran pajak rakyat yang dicadangkan Rp 600 miliar dan pada akhir tahun kembali ke kas negara sebesar Rp 172 miliar. Pemerintah berkelit bahwa para investor terlambat untuk memenuhi persyaratan mendapatkan insentif investasi tersebut, sementara investor menyalahkan pemerintah soal beratnya persyaratan administratif yang harus dipenuhi.

Subsidi untuk insentif investasi itu mengikuti tren dan selalu tidak bisa dimanfaatkan setiap tahun. Karena itu, pagu anggarannya rutin diturunkan. Pada 2010 besarnya anggaran BMDTP Rp 1,5 triliun; kemudian menurun Rp 1,14 triliun pada 2011 dan Rp 600 miliar pada 2012.

Belajar dari persoalan itu, besarnya pagu anggaran insentif 2015 tidak jelas betul. Sepanjang rezim itu dibuka pada 2008, penyerapannya tidak menggembirakan.

Kinerja penyerapan terburuk terjadi pada 2008, yakni hanya 8 persen atau Rp 161 miliar. Pada 2011 realisasi penyerapannya bahkan hanya 3 persen atau Rp 36,4 miliar dari total pagu.

Persoalannya terletak pada tataran teknis di lapangan. Investor tidak tahu bagaimana mengurusnya, sementara petugas pemerintah di lapangan, yakni lintas kementerian, masih terpaku dengan pola bisnis as usual. Para investor yang berpacu dengan keterbatasan waktu dan anggaran itu dilayani oleh pejabat pemerintah dengan model administratif biasa.

Misalnya, investor menunggu kedatangan mesin impor karena sudah memasuki jadwal instalasi, tapi beberapa dokumen untuk bea cukai belum selesai dari pejabat Kementerian Keuangan. Pejabat Kementerian Keuangan mempunyai SOP penyelesaian dokumen maksimal lima hari kerja. Artinya, hari libur tidak dihitung.

Akhirnya, yang terjadi, dokumen lebih lama didapatkan, sementara barang impor itu sudah berpindah ke lokasi lain dan membutuhkan dokumen baru lagi. Investor memang mendapatkan tax holiday, tapi tidak bisa lepas dari biaya penggudangan, detention fee, dan biaya handling yang seharusnya tidak perlu.
Praktik itu memunculkan pemeo bahwa tidak ada yang gratis di Indonesia. 
Investor boleh mendapatkan insentif secara administratif, tapi akan menghadapi tantangan berat dari sisi teknis riil.

Itulah aroma kongkalikong dan transaksional yang patut diwaspadai pemerintah meskipun baju insentif diubah dengan nama paket kebijakan besar (PKB). Secara teknis, kongkalikong itu adalah proses yang penuh intrik untuk mendapatkannya dan harus menggunakan konsultan tertentu dengan tarif tertentu.

Pertimbangan Investasi

Ada empat pertimbangan klasik investordalampandangan Keynesian untuk menanamkan modal. Yaitu, ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, teknologi, dan manajemen. Investor sebetulnya sama sekali tidak akan mempertimbangkan besarnya insentif atau fasilitas investasi jika dibandingkan dengan transparansi, kepastian hukum, tidak berbelitnya birokrasi, keamanan, dan kestabilan sosial-politik.

Posisi Indonesia sebetulnya bukan surga investasi jika melihat besarnya realisasi investasi. Dengan negara jiran Malaysia pun, Indonesia kalah telak dari sisi nilai total penanaman modal.

Pada 2013 Malaysian Investment Development Authority (MIDA atau BKPM Malaysia) membukukan rekor realisasi investasi RM 219,4 miliar (Rp 742,01 triliun), kemudian naik 7,52 persen tahun berikutnya (2014) sehingga menjadi RM 235,9 miliar (Rp 797,81 triliun). Pada saat yang sama Indonesia –yang luasnya 23,94 kali luas Malaysia– hanya membukukan nilai total investasi Rp 398,6 triliun dan Rp 463,1 triliun.

Tahun ini lagi-lagi kerja keras seluruh pemerintah dan birokrasi Malaysia mengalahkan realisasi investasi Indonesia. Pada semester pertama tahun ini BKPM melaporkan bahwa realisasi investasi Rp 124,6 triliun atau kenaikan 14 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Namun, lihatlah Malaysia. Hanya pada kuartal pertama, mereka sudah membukukan total investasi RM 57,4 miliar (Rp 191,03 triliun) atau kenaikan 18,8 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelumnya. Intinya, dalam kondisi chaos dan konflik politik seperti saat ini, ketertarikan investor ke Malaysia belum goyah.

Anggapan bahwa semakin besarnya jumlah insentif akan mendorong jumlah investasi, tampaknya, lemah. Pemberian insentif justru mengurangi potensi pajak, sementara di sisi lain membuat produk-produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif.

Akhiri Rezim Insentif

Rezim insentif pemerintah sebenarnya adalah lipstik agar APBN tampak bersahabat dengan rakyat. Namun, dalam praktiknya, cara mendapatkannya sungguh sangat luar biasa sulit. Kendati bertujuan baik, yakni membantu mendorong kegiatan manufaktur dengan berinvestasi barang modal, perizinannya bahkan menyedot anggaran yang tidak murah.

Para investor sebenarnya sangat mengharapkan insentif lain dalam berinvestasi di Indonesia, yakni keamanan, kepastian hukum, politik yang kondusif, infrastruktur yang memadai, birokrasi yang kooperatif, dan buruh yang tenang.
Nilai enam insentif nonfiskal itu bahkan melebihi nilai insentif apa pun yang ditawarkan pemerintah. PKB adalah hal yang sia-sia jika tidak diiringi dengan revolusi mental seluruh komponen bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar