Jumat, 11 September 2015

Jebakan Pilkada Serentak

Jebakan Pilkada Serentak

Max Regus  ;  Kandidat Doktor di the Graduate School of Humanities,
Universitas Tilburg, Belanda
                                                     KOMPAS, 09 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Komisi Pemilihan Umum sudah sejak awal tahun ini menyatakan kesiapan untuk menyelenggarakan pilkada secara serentak. Sebanyak 269 daerah, termasuk provinsi, kabupaten, dan kota, akan terlibat dalam perhelatan politik ini.

Jika dikalkulasi, jumlah itu setara dengan 30-an persen dari semua daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, jumlah ini dapat saja bertambah jika pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak diundur pada 2016 (Channel News Asia, 30 Juli 2015).

Di awal, ada 810 pasangan yang mendaftar sebagai kandidat dalam pilkada. Beberapa hari lalu, KPU Daerah sudah mengumumkan pasangan calon tetap. Dan, terhitung mulai pekan kedua September ini, para petahana meletakkan jabatan mereka. Bayangkan, hampir sebagian wilayah Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas. Mereka hadir di panggung kekuasaan dengan batasan kewenangan.

Berhubungan dengan ini, tak bisa dimungkiri, kita masuk dalam jebakan serius. Hal ini cukup mencemaskan, senada dengan pemikiran Tofail Ahmen—profesor politik dari BRAC University, Daka—yang melakukan evaluasi kritis terhadap ”sesi transisional” dalam dinamika politik lokal (New Age, The Outspoken Daily, 2014). Dalam catatan Tofail Ahmen, politik lokal bisa saja mencapai dinding kebuntuan akibat kehadiran caretaker pemerintahan yang bersifat sementara.

Ruang kosong

Persoalan ini dapat muncul dalam dua sisi. Pertama, mesin birokrasi segera mengalami pergantian suasana politik. Sejak jabatan di ruang lingkup birokrasi sedikit banyaknya juga ditentukan oleh ”investasi ekonomi-politik” dalam pilkada, elite birokratik di daerah condong membangun koalisi kekuasaan.

Di sini, pembelahan birokrasi ke dalam blok-blok politik, memang tidak mengherankan, selalu jadi ”ulang tutur” dalam pilkada. Sepertinya, peringatan pemerintah pusat agar para birokrat lokal bersikap netral dalam pilkada hanya akan bertuah di atas kertas.
Kedua, kehadiran pelaksana tugas secara signifikan akan memengaruhi kondisi daerah. Selain para pejabat ini dituntut untuk mampu mengelola ketegangan-ketegangan birokrasi lokal, mereka juga mesti mampu mengawal pelaksanaan pilkada bermutu. Berhubung demokrasi tidak hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan, para pelaksana tugas ini mesti memiliki kecerdasan komprehensif dalam membaca anatomi sosial dan politik daerah.

Kelambanan membaca dua sisi jebakan di atas akan memperbesar volume ruang kosong keberdayaan politik (political efficacy) lokal. Soal ini dapat dibaca dengan sederhana dan ringkas. Terutama, banyak daerah langsung berhadapan dengan persoalan yang sedang menjadi sumber kerisauan (pemerintah pusat) sekarang ini. Efektivitas pembangunan menghadapi ujian serius ketika penyerapan anggaran belanja negara/belanja daerah tidak mencapai titik yang maksimal/optimal.

Para ”Leviatan”

Tentu saja, ada kepelikan lain yang cenderung muncul dari problematika pilkada serentak ini. Ini lebih daripada sekadar keguncangan politik. Pilkada berpeluang jadi arena cari untung dari kekuatan politik (nasional) yang sedang menghadapi keterjepitan di pusat. Salah satu cara untuk menghadapi kerumitan ini adalah kehadiran pemerintah pusat dalam mengawal pilkada (yang) pro-publik lokal. Pemerintah pusat seharusnya memiliki informasi yang akurat tentang peta politik lokal. Hingga pada muaranya, pusat mampu menunjukkan pendekatan politik berbeda sesuai dengan karakter berbeda setiap daerah.

Pusat, seperti KPK dan segenap lembaga ad hoc lainnya yang bertugas menjamin pemenuhan hak-hak sosial politik warga, harus merasa perlu untuk memperlihatkan kehadiran politik.Ini akan menjadi salah satu instrumen strategis untuk mengawal pilkada.

Sebab, ketiadaan peran kunci pusat akan menuntun politik lokal ke dalam cengkeraman mafia politik yang mengincar dan memanfaatkan pilkada sebagai batu loncatan untuk mengokohkan hegemoni politik jangka panjang. Di sini, awasan J Eric Oliver dalam buku Local Election and the Politics of Small-Scale Democracy (2013), bahwa politik lokal dapat menjadi ruang persembunyian para ”Leviatan” (di/dari) pusat, akan menjadi jebakan berikut dan paling mematikan bagi pilkada, demokrasi, dan masa depan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar