Jalan Panjang Islam dan Demokrasi
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Koordinator Program S-3 Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga
|
KOMPAS,
09 September 2015
Hasil kajian yang
menyatakan Islam kompatibel dengan demokrasi semakin banyak pada pengujung
abad ke-20 dan mencapai puncaknya dari tahun 2010 hingga awal 2013. Pengakuan
terhadap demokrasi di kalangan kelompok-kelompok politik Islam juga semakin
luas.
Keterlibatan Ikhwanul
Muslimin (IM) di Mesir dalam pemilu secara terbatas melalui wakil-wakil
personalnya, sejak tahun 1980/1990-an, semakin meningkatkan persepsi positif
kelompok Islam terhadap demokrasi, setidaknya terhadap ”pemilu”. Setelah
tumbangnya Hosni Mubarak yang menempatkan kelompok itu menjadi kelompok
paling potensial untuk berkuasa, penegasan terhadap kompatibilitas Islam dan
demokrasi jadi begitu kuat.
Para tokoh Ikhwan
ataupun partai bentukannya, hizb al-hurriyah wal ’Adalah, menggelorakan
kompatibilitas Islam dan demokrasi ini, termasuk ulama panutannya, Yusuf
Qardhawi. Dan, keberhasilan mereka memegang kekuasaan eksekutif dan
legislatif Mesir melalui Pemilu 2012 membuat mereka merayakan capaian
tersebut bak pesta perkawinan di antara dua makhluk berbeda, Islam dan
demokrasi.
Eksperimen demokrasi?
Jaringan Ikhwani di
seluruh dunia, mulai Tunisia, Maroko, Jordania, hingga ”Indonesia” bersorak
menyambut era baru ini. Era yang ditandai naiknya sebagian mereka ke puncak
kekuasaan melalui jalan demokrasi. Demokrasi pun dielu-elukan di kalangan
kelompok ini.
Kuatnya dukungan
terhadap demokrasi ternyata tidak hanya di kalangan Ikhwani. Sebagian
kelompok atau jaringan Salafi yang selama ini dikenal sangat antipemilu,
partai, dan organ-organ demokrasi lain tiba-tiba juga ”mengikuti” jalan
Ikhwan. Mereka mendirikan partai politik di Mesir. Salah satu partai
terbesarnya adalah An-Nur, yang menjadi pemenang kedua dalam pemilu
demokratis pertama di Mesir.
Hingga pada titik itu,
sepertinya akan ada gerak yang begitu kuat dan luas dari umat Islam ke jalan
demokrasi. Sebab, jaringan Ikhwani dan Salafi adalah kelompok Islam yang
memiliki pengikut sangat besar dan berpengaruh di dunia Islam. Di antara
kelompok-kelompok Muslim yang memiliki jaringan luas di dunia Islam dan tidak
mengambil jalan kekerasan, mungkin hanya Hizbut Tahrir yang kukuh menolak
demokrasi hingga saat itu (2013).
Namun, perkembangan
yang terjadi kemudian ternyata tak sesuai harapan. Eksperimen demokrasi
sejumlah negara Arab Spring, seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Yaman, bisa
dikatakan justru berbalik arah. Di Mesir, pemerintahan hasil proses yang
demokratis akhirnya ditumbangkan kekuatan semimiliter.
Di tempat lain,
gerakan protes untuk demokratisasi justru berujung pada kekacauan. Bahkan,
gerakan demokratisasi bisa menjadi tertuduh terhadap kekacauan yang membawa
korban kemanusiaan dan destruksi begitu besar sekarang ini.
Jauh sebelumnya, hasil
proses demokrasi yang dinilai sangat demokratis dan dengan tingkat
partisipasi tinggi juga dianulir di Palestina dan Aljazair. Kemenangan Hamas
dan FIS dimentahkan dengan cara yang berbeda. Turki juga mengalami hal yang
kurang lebih sama sebelumnya dalam beberapa periode. Hasil pemilu demokratis
pertama di Mesir, kendati dengan tingkat partisipasi rendah, juga dianulir. Bahkan,
sang presiden terpilih saat ini berada di penjara, dan dijatuhi hukuman yang
sangat berat. Partai pemenang pemilu juga dijadikan sebagai partai terlarang,
bahkan induknya (baca: IM) dinyatakan sebagai organisasi teroris.
Pengalaman-pengalaman
yang dialami kelompok-kelompok Islam di Aljazair, Palestina, Mesir, dan Turki
di atas adalah mimpi buruk dunia Islam terhadap demokrasi. Itu tentu tak akan
dilupakan oleh kelompok-kelompok Islam, bahkan oleh umat Islam secara luas.
Ingatan terhadap
peristiwa itu, bagaimanapun, semakin menjauhkan umat Islam dari jalan
demokrasi. Demokrasi ternyata tidak hanya mengecewakan mereka, tetapi juga
membuat sebagian mereka mengalami trauma mendalam.
Indonesia sebagai model?
Kelompok-kelompok yang
dikecewakan itu cenderung melahirkan kelompok sempalan yang kemudian memilih
jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Inilah yang terjadi, baik di Mesir,
Palestina, Tunisia, maupun di Aljazair. Hubungan Islam dan demokrasi
mengalami dinamika yang cukup tajam, dari perkawinan yang begitu mesra—meski
hanya sesaat—hingga perceraian yang mengenaskan.
Sekali lagi, gagasan
Islam itu kompatibel dengan demokrasi, tetapi di dalam praktik ternyata tak
mudah dibuktikan. Faktanya, dari 60-an negara berpenduduk mayoritas Muslim,
hanya beberapa yang demokratisasinya mengalami landing ”selamat” tanpa
melalui proses yang berdarah-darah.
Khusus di Timur Tengah
yang dihuni sekitar 25 negara berpenduduk mayoritas Muslim, hanya ada tiga
negara yang cukup pantas disebut dalam konteks ini. Turki dan Iran termasuk
di antaranya, dan yang terbaru adalah Tunisia.
Itu pun masih dengan
banyak catatan. Demokrasi Iran secara substantif sering dipertanyakan
keabsahannya sebagai demokrasi. Konsep velayat al-Fakih meletakkan suara
al-Faqih (tokoh) agama di atas suara rakyat yang ”dituhankan” oleh demokrasi.
Demokrasi Turki dipandang terlalu liberal setidaknya secara konsep. Dan,
demokrasi Tunisia ibaratnya masih pada tahapan masa kanak-kanak yang belum
teruji oleh waktu.
Pada titik itu,
demokrasi ”Indonesia” yang mulai tahan guncangan mungkin menjadi salah satu
pilihan menarik untuk menjadi model. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar