Petral
: Riwayatmu Dulu
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 04 Desember 2014
Saya
senang ketika kolega saya, Faisal Basri, dipercaya untuk memimpin tim
Reformasi Tata Kelola Migas oleh Kementerian ESDM. Kita tentu paham
integritasnya.
Di
samping Faisal juga ada Dr Rofikoh Rokhim, lulusan Prancis yang tajam membaca
dan tidak bias. Sejak dulu keduanya sangat gemas dengan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) dan rent
seeking yang merusak moral dan daya saing bangsa. Belakangan praktik ini
kental diduga publik terjadi di anak perusahaan Pertamina, Petral.
Saya
berharap tim ini mampu menemukan evidence
yang dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki keadaan. Jika terbukti praktik
mafia migas di Petral sulit dikontrol dan dibasmi dari sini, Petral memang
sudah selayaknya dibubarkan. Sebaliknya, jika tidak, harusnya Petral malah bisa
ditingkatkan peranannya sebagai trading
company yang unggul, yang perannya bukan hanya sebagai pembeli BBM untuk
keperluan induknya.
Petral
bisa memperbaiki business model-nya
dengan melakukan benchmarking pada global trading companies lain yang lincah
mengambil posisi dan memilih komoditas yang menguntungkan. Bukan cuma migas,
juga bukan semata-mata impor untuk Indonesia. Petral bisa hidup dalam bisnis
rempah-rempah, karet, aneka mineral, dan segala jenis hasil olahan untuk
energi terbarukan. Pembelinya bisa dari Korea, India, Mesir, Chili, atau
China. Sedangkan sumber pasokannya ada di mancanegara.
Mafia vs Mafia
Sejatinya
kita sudah sejak lama mendengar isu mengenai mafia dan praktik KKN di bisnis
migas. Tetapi, pada era Ari Soemarno mafia-mafia itu mati kutu karena Ari
konsisten memimpin transformasi. Begitu menyentuh pelaku-pelaku yang lebih
besar dengan menerapkan konsep supply
chain, ia pun digusur.
Padahal
di tangannya tahap awal proses transformasi yang amat berisiko itu dimulai
dan menunjukkan banyak harapan. Setelah itu kita tak tahu persis apa yang
terjadi. Beberapa pengamat ekonomi dan pakar migas menyarankan agar Petral
dibubarkan saja. Tetapi, jangan lupa, pada era Ari Soemarno Petral telah
dipagari dengan sistem yang bagus.
Sementara evidence yang bisa
diungkapkan pada era selanjutnya tidak jelas betul. Apalagi komentar juga
banyak diberikan politisi yang kabarnya juga bolak-balik datang ke Petral
meminta fasilitas bisnis. Bukan apa-apa, sudah menjadi rahasia umum, mereka
yang paling keras mem-bully
Pertamina atau mem-bully pemimpinnya justru dikenal sebagai calon pemasok
yang sulit masuk karena tidak lolos kualifikasi. Jadi ini mafia melawan mafia
juga. Benar-benar ruwet dan kusut.
Begitulah
sampai sekarang yang tinggal adalah kecurigaan plus kecenderungan impor.
Volume diperbesar, selundupan jalan terus, tak ada yang berani memindahkan
subsidi, sampai muncul pemimpin baru karena kenaikan harga berarti volume
impor turun dan ”rente ”-nya ikut turun. Politik menjadi kumuh, daya saing
bangsa tak optimal. Secara teoritis semua itu bisa dirasakan, tapi tak ada
yang serius mengumpulkan evidence-nya.
Entah memang itu hanya pikiran buruk kita atau sebuah permainan yang rapi.
KIPCO dan PTT
Minggu lalu
saya sudah memaparkan lika-liku perdagangan minyak dunia. Sebenarnya, selain
Petral, Pertamina juga punya saham di KIPCO dan PTT. KIPCO atau Korean Indonesia Petroleum Company
adalah trading arm migas untuk
melayani pasar Korea Selatan.
Perusahaan
ini berkantor di Seoul, tetapi setahu saya juga memiliki perwakilan di
Jakarta. Sementara PTT atau Pacific Petroleum Trading berperan melayani pasar
Jepang. Dulu bernama Far East Oil Trading Company dan sudah ada sejak 1965.
Sebanyak 59% sahamnya dimiliki Pertamina dan sisanya dipegang konsorsium
beberapa perusahaan Jepang seperti Toyota Motor Corp., JX Nippon Oil &
Energy Corporation, Kashima Oil Co Ltd, Nippon Steel Engineering, dan
sebagainya.
Selain di
Jepang, PTT juga memiliki kantor perwakilan di Jakarta. Petral awalnya bukan
ada di Singapura, melainkan di Hong Kong. Ia dibentuk sebagai joint venture dengan sejumlah investor
swasta dari California, AS pada 1965. Mengapa Hong Kong? Jawabnya, karena
waktu itu hanya Hong Kong yang menjadi pusat perdagangan minyak kawasan Asia.
Perta Group
berperan sebagai perusahaan yang memasarkan minyak mentah dan minyak olahan
asal Indonesia ke kawasan Pantai Barat Amerika Serikat. Bisnis seperti ini
memerlukan dukungan keuangan yang canggih serta supply chain yang advance.
Karena itulah, bisnis trading Perta Group baru mulai bergulir pada 1972. Saya
dengar persiapannya memang rumit. Ia butuh persiapan selama tiga tahun.
Baru pada
1979, Perta Group bisa mendirikan anak usaha yang menangani investasi dan
nonmigas, Zambesi Investment Limited (ZIL). Tapi, pada 1981 investor asal AS
memutuskan untuk melepas seluruh sahamnya di Perta Group. Sejak itu 100%
sahamnya dimiliki Pertamina. Pesatnya bisnis Perta Group ini membuat Keluarga
Cendana tertarik untuk ikut memiliki. Kala itu tak ada yang berani
menentangnya dan sejak itulah praktik KKN melekat di Perta Group.
Seiring waktu
reputasi Hong Kong sebagai pusat perdagangan minyak di kawasan Asia pun
meredup. Sementara Singapura justru berhasil menjadikan negaranya pusat
perdagangan minyak mentah dan hasil olahannya di Asia. Selain membangun
kilang besar-besaran, Singapura juga menjadikan dirinya pusat keuangan dan
perdagangan yang menjadi daya dukung penting bisnis padat modal ini.
Pelabuhan
laut dalam, storage besar, badan riset yang mampu menentukan harga, serta
governance structure yang kuat membuat semua pialang bertemu dan tinggal di
sana. Sementara di Indonesia, jangankan kilang dan storage , pada era 1980-an
hingga awal 2000-an pelabuhan yang bisa didatangi VLCC saja tak dikembangkan.
Lalu pusat keuangannya tidak dikembangkan dengan governance structure yang
solid. Kita hanya sibuk bertengkar dan berwacana.
Semua
eksekutif kita curigai. Alih-alih menangkap, mafianya malah bebas berteman
dengan para pengambil kebijakan dan masuk ke dunia politik. Rezim Orde Baru
tumbang pada 1998, bisnis-bisnis Keluarga Cendana pun ikut surut. Begitu pula
dengan kepemilikan saham Tommy Soeharto dan Bob Hasan diambil alih oleh Pertamina.
Selain memasarkan minyak Indonesia, Pertamina juga menugaskan Petral impor
BBM untuk Indonesia walau jumlahnya saat itu masih sedikit.
Ini karena
produksi minyak mentah kita sampai 1999 masih mencukupi kebutuhan kilang
domestik. Pada Maret 2001 namanya berubah menjadi Pertamina Energy Trading
Ltd (Petral). Perusahaan ditugaskan menangani penjualan dan pembelian minyak
dan produk minyak di kawasan Asia, AS, dan sejumlah negara di Eropa, Timur
Tengah, Afrika, dan kawasan lainnya.
Sampai 2011
Petral tercatat menangani volume perdagangan sebesar 266,42 juta barel, baik
untuk minyak mentah maupun produk BBM. Lewat bisnis itu, Petral membukukan
pendapatan USD31,4 miliar, profit margin -nya relatif lumayan, USD47,5 juta.
Pasar Spot
Untuk
memahami seluk-beluk kecurigaan ada mafia, saya ingin mengajak Anda mengenali
dua cara impor minyak yakni sistem kontrak jangka panjang dan pembelian
melalui pasar spot .
Beberapa
waktu lalu sekitar 75% pengadaan minyak Pertamina dilakukan melalui sistem
kontrak yang pengadaannya ditangani tiga anak usaha tadi. Nah , sisanya yang
25% diperoleh Pertamina melalui pasar spot untuk pembelian satu atau beberapa
kargo yang tentu saja kalau dilakukan secara reaktif harganya lebih tinggi,
perantaranya bisa masuk, dan butuh pendanaan dari lembaga keuangan yang
bunganya bisa dimainkan pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum bank
asing.
Pengadaan
minyak dengan pola 75/25 (75% kontrak jangka panjang dan 25% pasar spot )
sesungguhnya biasa dilakukan negara-negara Asia. Jepang dan Korea Selatan
misalnya biasanya menerapkan pola 67/33. Belakangan pola ini mereka ubah guna
mengurangi ketergantungan terhadap pasar spot . Sebenarnya, kalau kita
cerdik, ada dua potensi keuntungan dengan membeli via pasar spot.
Pertama, tak
perlu ada komitmen jangka panjang yang mengikat. Kedua , kalau lagi resesi
seperti sekarang, kita bisa saja mendapatkan minyak dengan harga yang lebih
rendah ketimbang harga pasar. Lain ceritanya kalau kita sudah terikat
kontrak. Tetapi, sebaliknya juga bisa terjadi. Jadi, transaksi di pasar spot
seharusnya bersifat sesekali dan harganya harus transparan.
Bagaimana
kalau yang sebaliknya terjadi? Di situlah letak permasalahannya. Sekali mafia
masuk, sahabat-sahabatnya ikut bermain di ladang yang sama. Mereka bukan cuma
main volume impornya, melainkan juga produk dan jasa-jasa turunan lain dan
ini bisa membuat negeri bangkrut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar