Senin, 08 Desember 2014

Penenggelaman Kapal Asing

                                     Penenggelaman Kapal Asing

Sudjito  ;   Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, 04 Desember 2014

                                                                                                                       


Pejabat publik di negeri ini pintar menggagas ide-ide terkait dengan kepentingan bangsa. Contoh, untuk menyelamatkan kekayaan laut, kapal asing yang tertangkap mencuri ikan secara ilegal di wilayah perairan Indonesia, akan ditenggelamkan. Ini ide bagus, cemerlang.

Diyakini, tindakan tegas berupa penenggelaman dapat memberikan efek jera. Sepantasnya, terhadap ide bagus itu mengalir dukungan berbagai pihak, mulai presiden, menteri, DPR, sampai rakyat. Persoalannya, kapan direalisasikan? Ataukah berhenti sebagai sindrom wacana penegakan hukum?

Ditilik secara mendasar, pencurian kekayaan laut oleh kapal asing selama ini terus berlangsung, terkait dengan mata rantai antara faktor kerakusan manusia, munculnya paham liberalisme, dan bercokolnya sistem ekonomi kapitalis. Globalisasi sebagai proses kapitalisasi ekonomi liberal, tidak lain berakar pada perilaku manusia individu ataupun bangsa, mengumbar nafsu keserakahan atas kekayaan alam, dan tidak segan- segan mengorbankan kepentingan bangsa lain.

Globalisasi telah memunculkan pembagian kekuasaan tidak merata dan tidak seimbang. Dominasi kekuasaan atas kekayaan alam, berikut teknologi, regulasi maupun penegakan hukumnya, berada di tangan aktor global, sedangkan pelaku ekonomi di negara-negara berkembang terpinggirkan.

Kondisi demikian semakin membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis menjadi faktor pendorong terjadinya kejahatan internasional terorganisasi, berlanjut pada perlapisan sosial dalam skala global. Penumpukan kekuasaan di tangan aktor global, berkonsekuensi secara linier dengan penguasaan kekayaan alam, baik secara legal maupun ilegal.

Berhadapan dengan semakin marak dan intensifnya pencurian kekayaan laut, hukum pun sulit secara apriori mengaktualisasikan diri, kecuali terbirit-birit membuntutinya, dan gagal mengatasinya. Cengkeraman hukum di tangan aktor global, merupakan kunci bagi penjelasan, mengapa substansi hukum nasional maupun internasional diskriminatif, dan penegakan hukum terhadap kejahatan internasional lemah.

Dilihat dari aspek ekonomi, globalisasi merupakan suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sistem ekonomi global.

Semua mekanisme perekonomian dikendalikan oleh aktoraktor global, yakni transnational corporations (TNCs), international financial institutions (IFIs), seperti: World Bank maupun International Monetery Fund (IMF), melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO), sesungguhnya didasarkan pada paham neoliberalisme.

Paham neoliberalisme secara prinsipiil tidak berbeda dengan paham liberalisme lama, hanya karena waktu, konteks pemunculannya kembali, serta skala dan strateginya yang berbeda. Dengan kata lain, neoliberalisme pada dasarnya merupakan kembalinya paham liberalisme Adam Smith (1776) di era globalisasi. Perlu diingat bahwa paham liberalisme pernah tenggelam pada saat terjadi krisis berkepanjangan yang menimpa kapitalisme awal abad XIX.

Dalam perjalanan selanjutnya di akhir abad XX, pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital dari golongan kapitalis menjadi lambat. Beberapa hambatannya adalah proteksi, paham keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat dan berbagai tradisi adat pengelolaan sumber daya alam yang berbasis kerakyatan. Untuk mendongkrak kebangkitan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital diperlukan strategi baru, yakni menyingkirkan segala rintangan bagi investasi dan pasar bebas.

Berbagai kebijakan yang diperkirakan dapat mendukung strategi itu antara lain penghapusan subsidi, deregulasi perpajakan, penguatan civil society, program antikorupsi. Untuk itu semua diperlukan pembaruan tatanan perdagangan global. Entah kesengajaan atau keterpaksaan, pejabat publik kita tampaknya sudah larut ke dalam fase perjalanan kapitalisme, sertamerta menyokong kebangkitan kembali paham liberalisme, yang dikenal dengan neoliberalisme.

Kembali pada persoalan ide penenggelaman kapal asing pencuri ikan, agar tidak berhenti sebagai sindrom wacana penegakan hukum, maka perlu ditarik ke dalam konteks menyelinapnya neoliberalisme di Indonesia. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak boleh berhenti sebagai ide, tetapi wajib merupakan tindakan tegas. Tidak boleh gentar terhadap kritik aktor-aktor global dan negara lain.

Penegakan hukum tidak boleh terjebak pada dogmatisme hukum, seolah urusan hukum sudah selesai ketika ide sudah dideklarasikan, seraya menunjuk dasar hukumnya, yakni UU No. 45/2009 tentang Perikanan, Pasal 69 ayat (1) berbunyi: “Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.”

Pada ayat (4) pasal yang sama diatur: “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Untuk diingat bahwa penegakan hukum, dalam khazanah spiritual, perlu ada “gereget”.

Tidak cukup berbekal undang-undang (blackletterlaw), tetapi lebih luas dari itu perlu kekuatan pendobrak (expansiekracht). Bahkan, agar penenggelaman kapal asing pencuri ikan betul-betul terealisasikan, perlu ada pejuang (vigilante) penegakan hukum. Pencurian kekayaan laut oleh kapal asing, sebaiknya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Dalam kategori ini, jiwa bangsa menjadi tergerak untuk mengatasinya dengan cara-cara luar biasa pula. Bangsa ini mendambakan armada angkatan laut kuat, dan bersemangat mengejar, menangkap, dan menenggelamkan kapal asing pencuri ikan, walaupun tindakantindakan itu di luar tugas rutin (beyond the call of duty) sebagai tentara laut.

Tidak lain dimaksud untuk melindungi kepentingan segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia, demi terwujudnya kesejahteraan umum. Pada dimensi ideologi-konstitusional, penenggelaman kapal asing pencuri ikan menjadi bukti terjalinnya interaksi dinamis antara hukum dan tujuan bernegara.

Keterjalinan dapat berlangsung ketika diupayakan melalui penegakan hukum kolektif, keterpaduan semua kementerian, didukung rakyat, dengan mengerahkan seluruh potensi jiwa dan raganya demi cintanya kepada bangsa. WallahuWallahualam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar