Keseriusan Upaya
Rehabilitasi Pencandu Narkoba
Kristian Siagian ; Kepala Tim Narcotic Investigation Centre (NIC)
Direktorat Narkoba Mabes Polri
|
KORAN
SINDO, 04 Desember 2014
Dalam
dua tahun belakangan ini, Badan Narkotika Nasional (BNN) gencar menyuarakan
paradigma rehabilitasi bagi pencandu narkoba sebagai ujung tombak upaya
penanganan narkoba di negeri kita.
Dalam
berbagai kesempatan, BNN menyatakan bahwa paradigma ini dibangun atas dasar
pemikiran adanya 2,2% penduduk Indonesia yang menjadi penyalah guna narkoba
yang segera direhabilitasi untuk menutup pasar yang terbuka. Latar belakang
lainnya dimulai dari kenyataan bahwa angka penyalahgunaan narkoba terus
bertumbuh meski upaya pemberantasan terus dilakukan, situasi lapas yang tidak
steril dan minus rehabilitasi pencandu hingga konsepsi pemidanaan yang tidak
memberikan efek jera bagi pencandu narkoba.
Paradigma
rehabilitasi ini kemudian disosialisasikan secara luas di masyarakat dengan
basis amanat Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti dengan PP No 25 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor yang
pada dasarnya ditujukan bagi para pencandu yang tidak (belum) tersandung
dengan masalah hukum.
Sedangkan
bagi mereka yang tersandung dengan permasalahan hukum, pada 2014 dikeluarkan
peraturan bersama tujuh kelembagaan untuk mengatur rehabilitasi bagi para
penyalah guna yang tersandung dengan permasalahan hukum (ditangkap).
Bila
kita amati sekilas, perubahan paradigma ini seperti memberi angin segar dan
membuka arah baru bagi upaya penanganan narkoba di Indonesia. Kecenderungan
penegak hukum untuk selalu memberikan pemidanaan dalam bentuk pidana penjara
pada akhirnya memang tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan hukum,
khususnya permasalahan narkoba yang memiliki dimensi kesehatan yang cukup
dominan.
Pada
kenyataannya, paradigma ini juga tidak seratus persen diterima oleh berbagai
kalangan dengan berbagai argumentasi. Tulisan ini tidak akan menyoroti
argumentasi antara perlu tidaknya penerapan rehabilitasi bagi pencandu
narkoba, baik bagi mereka yang sedang mengalami permasalahan hukum disebabkan
penggunaan narkoba secara ilegal (ditangkap) ataupun mereka yang secara
sukarela mengikuti program rehabilitasi.
Namun,
tulisan ini akan mencoba melihat sejauh mana kesungguhan pemerintah (BNN)
dalam menerapkan paradigma rehabilitasi ini terkait langkah-langkah yang
diambil. Ada dua pendekatan dalam memandang hal ini. Pertama, setelah dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor
pencandu narkotika.
Dan kedua, setelah ditandatanganinya Peraturan Bersama 7 (tujuh)
kementerian/lembaga tentang penanganan pencandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika kedalam lembaga rehabilitasi.
Dalam
pendekatan pertama, PP ini ditindaklanjuti dengan keluarnya penunjukan
institusi penerima wajib lapor (IPWL) oleh Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Sosial dengan anggapan bahwa tempat yang ditunjuk akan menjadi
lokasi penerimaan lapor diri, perawatan rehabilitasi medis dan sosial bagi
pencandu narkotika, dan rujukan bila IPWL yang bersangkutan tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan rehabilitasi.
Terkait
dengan penerapan PP ini, ada beberapa permasalahan yang patut dicermati.
Ketentuan dalamPPinipada dasarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru.
Selain mengatur mekanisme pencandu untuk mendapatkan perawatan, PP ini juga
memberikan penekanan mengenai dapatnya seorang pencandu narkoba
direhabilitasi manakala sedang tersangkut masalah hukum dengan kewenangan
penunjukan yang ada pada institusi di masingmasing tahap pemeriksaan.
Namun, hasil
penerimaan sosialisasi di masyarakat menjadikan PP ini seolah sebuah
privilese yang dimiliki oleh pencandu narkoba, khususnya bagi mereka yang
telah mengikuti program wajib lapor namun masih tetap mengonsumsi narkoba
secara ilegal. Pada titik ini, institusi Polri yang menjadi baris terdepan
penegakan hukum dan mayoritas berhubungan langsung dengan masyarakat
(pencandu atau keluarga pencandu) menjadi sasaran tembak seolah Polri anti
terhadap paradigma rehabilitasi.
Lebih lanjut,
kesiapan institusi yang ditunjuk menjadi IPWL juga menjadi satu masalah
tersendiri. Bahkan, hingga saat ini masih banyak IPWL yang belum mampu
melakukan layanan wajib lapor sebagaimana ditentukan, padahal PP ini
menentukan masa pelaksanaan maksimal enam bulan setelah diundangkan. Tidak
sulit untuk melihat bahwa PP ini pada akhirnya hanya akan terlaksana pada
tempat dan waktu tertentu saja.
Pada
perkembangan selanjutnya, PP ini seperti mati suri dan kehilangan gaungnya
baik di lintas sektoral maupun di masyarakat. Sudut pandang berikutnya
melihat pada peraturan bersama tujuh K/L mengenai penanganan pencandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi
yang ditandatangani pada 16 Maret 2014 oleh Mahkamah Agung, Kemenkumham,
Kemenkes, Kemensos, Kejaksaan Agung, Polri, dan BNN.
Sebagai upaya
untuk terus mengedepankan upaya rehabilitasi bagi pencandu narkoba, peraturan
bersama ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Asesmen Terpadu
(TAT) yang akan menjalankan pilot project di 16 lokasi terpilih di berbagai
wilayah di Indonesia yang telah diresmikan pelaksanaannya pada 26 Agustus
2014.
Dari pantauan
sederhana terhadap pelaksanaan peraturan bersama ini, sebagian besar otoritas
K/L terkait di tingkat kewilayahan bahkan ada yang belum memahami maksud dari
peraturan ini. Pada tataran kasus hukum narkoba, peraturan bersama ini
menentukan adanya permintaan dari tiap otoritas di tiap tahapan pemeriksaan
untuk mengajukan permintaan asesmen bagi tersangka atau terdakwa bagi
dilakukannya pemeriksaan oleh TAT untuk penempatan rehabilitasi yang
bersangkutan.
Kenyataan
masih relatif rendahnya permintaan asesmen tersebut setidaknya menimbulkan
pertanyaan atas preparasi yang semestinya dilakukan oleh masing-masing K/L.
Hal ini menyangkut pada kesiapan peraturan pelaksanaan baik internal dan
eksternal K/L dalam menginterpretasikan peraturan bersama tersebut maupun
produk perundangan yang menjadi rujukannya.
Apalagi bila
dicermati jeda waktu antara penandatanganan yang dilakukan pada Januari hingga
pelaksanaan pilot project di akhir Agustus, semestinya telah dapat dilakukan
persiapan yang relatif matang untuk pelaksanaannya.
Dari kedua
sudut pandang tersebut, adalah menjadi pertanyaan yang sangat wajar mengenai
keseriusan pemerintah, dalam hal ini pihak-pihak yang menginisiasi dan
mendorong paradigma rehabilitasi bagi pengguna/pencandu narkoba.
Apakah
paradigma rehabilitasi ini memang merupakan sebuah kebijakan yang
sungguh-sungguh akan dijalankan atau sekadar melemparkan wacana. Banyak pihak
termasuk masyarakat luas yang berharap ketentuan mengenai rehabilitasi ini
dapat segera berjalan dengan dampak negatif yang seminim mungkin.
Namun,
tentunya diperlukan persiapan yang matang dan prinsip, bukan sekedar mengejar
jargon-jargon yang pada akhirnya hanya akan gugur manakala berhadapan dengan
ketentuan hukum dan perundangan yang relatif mapan. Penulis sendiri merupakan
individu yang mendukung terlaksananya rehabilitasi bagi pengguna narkoba
dengan mekanisme yang jelas dan tidak melanggar ketentuan perundangan.
Bila
perundangan yang ada sekarang masih menyisakan pertentangan antara pihak yang
pro dan kontra terhadap rehabilitasi, penulis menyarankan dua langkah yang
dapat diambil. Pertama, lakukan revisi terhadap ketentuan Undang-Undang 35/
2009 melalui mekanisme legislatif di DPR.
Kedua, ajukan
perubahan ke Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai
dengan perkembangan zaman dan menghambat upaya penanganan narkoba di negeri
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar