Senin, 08 Desember 2014

Keseriusan Upaya Rehabilitasi Pencandu Narkoba

    Keseriusan Upaya Rehabilitasi Pencandu Narkoba

Kristian Siagian  ;   Kepala Tim Narcotic Investigation Centre (NIC)
Direktorat Narkoba Mabes Polri
KORAN SINDO, 04 Desember 2014

                                                                                                                       


Dalam dua tahun belakangan ini, Badan Narkotika Nasional (BNN) gencar menyuarakan paradigma rehabilitasi bagi pencandu narkoba sebagai ujung tombak upaya penanganan narkoba di negeri kita.

Dalam berbagai kesempatan, BNN menyatakan bahwa paradigma ini dibangun atas dasar pemikiran adanya 2,2% penduduk Indonesia yang menjadi penyalah guna narkoba yang segera direhabilitasi untuk menutup pasar yang terbuka. Latar belakang lainnya dimulai dari kenyataan bahwa angka penyalahgunaan narkoba terus bertumbuh meski upaya pemberantasan terus dilakukan, situasi lapas yang tidak steril dan minus rehabilitasi pencandu hingga konsepsi pemidanaan yang tidak memberikan efek jera bagi pencandu narkoba.

Paradigma rehabilitasi ini kemudian disosialisasikan secara luas di masyarakat dengan basis amanat Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan PP No 25 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor yang pada dasarnya ditujukan bagi para pencandu yang tidak (belum) tersandung dengan masalah hukum.

Sedangkan bagi mereka yang tersandung dengan permasalahan hukum, pada 2014 dikeluarkan peraturan bersama tujuh kelembagaan untuk mengatur rehabilitasi bagi para penyalah guna yang tersandung dengan permasalahan hukum (ditangkap).

Bila kita amati sekilas, perubahan paradigma ini seperti memberi angin segar dan membuka arah baru bagi upaya penanganan narkoba di Indonesia. Kecenderungan penegak hukum untuk selalu memberikan pemidanaan dalam bentuk pidana penjara pada akhirnya memang tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan hukum, khususnya permasalahan narkoba yang memiliki dimensi kesehatan yang cukup dominan.

Pada kenyataannya, paradigma ini juga tidak seratus persen diterima oleh berbagai kalangan dengan berbagai argumentasi. Tulisan ini tidak akan menyoroti argumentasi antara perlu tidaknya penerapan rehabilitasi bagi pencandu narkoba, baik bagi mereka yang sedang mengalami permasalahan hukum disebabkan penggunaan narkoba secara ilegal (ditangkap) ataupun mereka yang secara sukarela mengikuti program rehabilitasi.

Namun, tulisan ini akan mencoba melihat sejauh mana kesungguhan pemerintah (BNN) dalam menerapkan paradigma rehabilitasi ini terkait langkah-langkah yang diambil. Ada dua pendekatan dalam memandang hal ini. Pertama, setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pencandu narkotika.

Dan kedua, setelah ditandatanganinya Peraturan Bersama 7 (tujuh) kementerian/lembaga tentang penanganan pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika kedalam lembaga rehabilitasi.

Dalam pendekatan pertama, PP ini ditindaklanjuti dengan keluarnya penunjukan institusi penerima wajib lapor (IPWL) oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial dengan anggapan bahwa tempat yang ditunjuk akan menjadi lokasi penerimaan lapor diri, perawatan rehabilitasi medis dan sosial bagi pencandu narkotika, dan rujukan bila IPWL yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan rehabilitasi.

Terkait dengan penerapan PP ini, ada beberapa permasalahan yang patut dicermati. Ketentuan dalamPPinipada dasarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Selain mengatur mekanisme pencandu untuk mendapatkan perawatan, PP ini juga memberikan penekanan mengenai dapatnya seorang pencandu narkoba direhabilitasi manakala sedang tersangkut masalah hukum dengan kewenangan penunjukan yang ada pada institusi di masingmasing tahap pemeriksaan.

Namun, hasil penerimaan sosialisasi di masyarakat menjadikan PP ini seolah sebuah privilese yang dimiliki oleh pencandu narkoba, khususnya bagi mereka yang telah mengikuti program wajib lapor namun masih tetap mengonsumsi narkoba secara ilegal. Pada titik ini, institusi Polri yang menjadi baris terdepan penegakan hukum dan mayoritas berhubungan langsung dengan masyarakat (pencandu atau keluarga pencandu) menjadi sasaran tembak seolah Polri anti terhadap paradigma rehabilitasi.

Lebih lanjut, kesiapan institusi yang ditunjuk menjadi IPWL juga menjadi satu masalah tersendiri. Bahkan, hingga saat ini masih banyak IPWL yang belum mampu melakukan layanan wajib lapor sebagaimana ditentukan, padahal PP ini menentukan masa pelaksanaan maksimal enam bulan setelah diundangkan. Tidak sulit untuk melihat bahwa PP ini pada akhirnya hanya akan terlaksana pada tempat dan waktu tertentu saja.

Pada perkembangan selanjutnya, PP ini seperti mati suri dan kehilangan gaungnya baik di lintas sektoral maupun di masyarakat. Sudut pandang berikutnya melihat pada peraturan bersama tujuh K/L mengenai penanganan pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditandatangani pada 16 Maret 2014 oleh Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kemenkes, Kemensos, Kejaksaan Agung, Polri, dan BNN.

Sebagai upaya untuk terus mengedepankan upaya rehabilitasi bagi pencandu narkoba, peraturan bersama ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang akan menjalankan pilot project di 16 lokasi terpilih di berbagai wilayah di Indonesia yang telah diresmikan pelaksanaannya pada 26 Agustus 2014.

Dari pantauan sederhana terhadap pelaksanaan peraturan bersama ini, sebagian besar otoritas K/L terkait di tingkat kewilayahan bahkan ada yang belum memahami maksud dari peraturan ini. Pada tataran kasus hukum narkoba, peraturan bersama ini menentukan adanya permintaan dari tiap otoritas di tiap tahapan pemeriksaan untuk mengajukan permintaan asesmen bagi tersangka atau terdakwa bagi dilakukannya pemeriksaan oleh TAT untuk penempatan rehabilitasi yang bersangkutan.

Kenyataan masih relatif rendahnya permintaan asesmen tersebut setidaknya menimbulkan pertanyaan atas preparasi yang semestinya dilakukan oleh masing-masing K/L. Hal ini menyangkut pada kesiapan peraturan pelaksanaan baik internal dan eksternal K/L dalam menginterpretasikan peraturan bersama tersebut maupun produk perundangan yang menjadi rujukannya.

Apalagi bila dicermati jeda waktu antara penandatanganan yang dilakukan pada Januari hingga pelaksanaan pilot project di akhir Agustus, semestinya telah dapat dilakukan persiapan yang relatif matang untuk pelaksanaannya.

Dari kedua sudut pandang tersebut, adalah menjadi pertanyaan yang sangat wajar mengenai keseriusan pemerintah, dalam hal ini pihak-pihak yang menginisiasi dan mendorong paradigma rehabilitasi bagi pengguna/pencandu narkoba.

Apakah paradigma rehabilitasi ini memang merupakan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh akan dijalankan atau sekadar melemparkan wacana. Banyak pihak termasuk masyarakat luas yang berharap ketentuan mengenai rehabilitasi ini dapat segera berjalan dengan dampak negatif yang seminim mungkin.

Namun, tentunya diperlukan persiapan yang matang dan prinsip, bukan sekedar mengejar jargon-jargon yang pada akhirnya hanya akan gugur manakala berhadapan dengan ketentuan hukum dan perundangan yang relatif mapan. Penulis sendiri merupakan individu yang mendukung terlaksananya rehabilitasi bagi pengguna narkoba dengan mekanisme yang jelas dan tidak melanggar ketentuan perundangan.

Bila perundangan yang ada sekarang masih menyisakan pertentangan antara pihak yang pro dan kontra terhadap rehabilitasi, penulis menyarankan dua langkah yang dapat diambil. Pertama, lakukan revisi terhadap ketentuan Undang-Undang 35/ 2009 melalui mekanisme legislatif di DPR.

Kedua, ajukan perubahan ke Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan menghambat upaya penanganan narkoba di negeri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar