Rabu, 17 Desember 2014

Mitigasi Tanah Longsor

                                            Mitigasi Tanah Longsor

Totok Siswantara  ;   Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur
KORAN JAKARTA,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


Bencana tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang memakan banyak korban jiwa, juga mengancam daerah lain. Bencana tanah longsor mestinya bisa diantisipasi secara sistemik sebelum datang dan menelan korban jiwa lebih banyak. Untuk mengantisipasinya, dibutuhkan personel khusus yang mau terjun langsung ke lapangan dilengkapi perangkat pendukung berupa data spasial serta perangkat lainnya.

Personel khusus itu bisa berasal dari Taruna Siaga Bencana (Tagana), sukarelawan, petugas konservasi alam, dan LSM yang bergiat untuk lingkungan. Mestinya ada program untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan bagi personel agar lebih sigap menghadapi bencana sekaligus mampu melakukan mitigasi bencana di lapangan seperti pengamatan perbukitan yang berpotensi longsor.

Selama ini, birokrasi pemerintah daerah belum bisa bekerja secara teliti, analitis, serta mendalam guna menemukan material penting dari data spasial yang berpotensi menyebabkan bencana seperti tanah longsor atau tanggul jebol. Birokrat masih malas melakukan inspeksi dan pengamatan langsung di lapangan. Hal itu menyebabkan lemahnya langkah mitigasi bencana. Untuk mengatasi lemahnya mitigasi tersebut, dibutuhkan personel yang bisa terjun langsung mengamati secara teliti lereng atau perbukitan yang rawan longsor. Perlu pemberian pengetahuan praktis tentang ilmu geologi secara praktis, seperti kestabilan lereng menggunakan parameter-parameter seperti kekuatan tanah dan batuan, sudut lereng, iklim, dan vegetasi.

Selain itu, ditambahkan pengetahuan kepada para personel agar bisa melakukan monitoring secara cermat melalui pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan air tanah atau piezometer, kecepatan gerakan tanah atau extensometer, dan arah gerakan tanah atau inclinometer. Kompetensi dalam bidang pemantau kestabilan lereng banyak manfaatnya seperti untuk keonservasi alam dan bidang kehutanan. Juga pemahaman tentang kestabilan lereng, proses-proses yang mengakibatkan runtuhnya dinding, analisis sudut lereng yang aman, penirisan air pada lereng pit, pemantauan kondisi lereng secara visual, maupun peralatan mekanis.

Ketidakmampuan birokrasi daerah dalam menemukan faktor-faktor penting dari data spasial semakin melemahkan mitigasi bencana. Padahal dengan berbagai varian data spasial dasar seperti land cover atau peta tutupan lahan, Daerah Aliran Sungai (DAS), kejadian banjir, kondisi curah hujan, batas administrasi, peta rupa-bumi, sistem lahan, dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), yang sangat berguna bagi upaya mitigasi bencana karena bisa meminimalkan risiko geologi. Begitu juga dengan data terkait dengan peta rawan banjir dan tanah longsor keberadaannya belum terkonsolidasi dengan baik.

Selama ini, eksistensi data spasial yang sudah dibangun pemerintah pusat dan daerah dengan biaya besar ternyata tidak pernah tuntas karena sulit diolah menjadi solusi praktis untuk usaha mitigasi bencana. Hingga kini, pemerintah pusat dan daerah sudah banyak mengeluarkan dana serta SDM untuk membangn Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD). Namun, hasilnya belum bisa dipertanggungjawabkan secara optimal, bahkan tidak sedikit yang sia-sia.

Data spasial secara sederhana diartikan sebagai materi yang memiliki referensi keruangan atau geografi. Setiap bagian dari data tersebut, selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, peta merupakan bentuk atau cara menyuguhkan data spasial paling ideal. Data spasial juga bisa diintegrasikan dengan Sistem Informasi Administrasi pendudukan (SIAK). Jika terjadi bencana dalam area yang luas, identifikasi korban bisa dilakukan secara baik.

Pihak pemerintah daerah mestinya memberikan kemudahan kepada publik untuk mengakses peta dasar maupun peta tematik yang up-todate dan bersifat GIS ready atau dengan format Geographic Information System yang bisa diunduh di internet. Dengan data dengan skala yang ideal, bisa diolah oleh semua pihak hingga memiliki nilai tambah, mendorong inovasi, dan bisa menjadi problem solving daerah. Sayang, hingga kini, publik masih sulit mengakses data tersebut.

Perlu menciptakan sistem pertukaran data spasial dan memperbarui data secara bersama-sama untuk mengurangi tingginya biaya investasi. Ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun IDSD, yakni kerangka institusi, kelompok data dasar, standar teknis, dan jaringan akses data. Juga diperlukan faktor skala peta yang sesuai dengan kebutuhan stake holder. Misalnya, pada tingkat skala wilayah provinsi, skala 1:10.000 untuk data spasial dasar, dan skala 1:25.000 untuk data spasial tematik.

Seringnya bencana alam, gempa bumi, banjir, kekeringan, dan tanah longsor akhir-akhir ini sangat membutuhkan peta tematik dengan prioritas tema kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, serta tata guna lahan. Hal itu untuk memperkokoh upaya mitigasi bencana geologi agar korban jiwa dan harta benda bisa diminimalkan.

Saat ini, perkembangan teknologi GIS di dunia begitu pesat dan semakin murah. Mestinya problem teknis seperti sulitnya mengakses dan mengonsolidasikan data spasial tidak perlu terjadi. Begitu juga dengan masalah skala, resolusi, dan faktor interoperabilitas. Selama ini, faktor tersebut mempersulit transfer data dari satu sistem ke sistem lain.

Yang dimaksud dengan interoperabilitas adalah kemampuan perangkat lunak GIS untuk mengakses data dari sistem yang berbeda yang dihubungkan melalui jaringan komputer lewat interface. Dalam hal itu, data geospasial secara fisik tidak perlu pindah dari satu sistem ke sistem lain. Seluruh proses ini akan diatur oleh lembaga The Open GIS Consortium.

Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa keberadaan data spasial, baik pada level nasional maupun daerah, dalam kondisi yang tidak lengkap dan kurang teratur. Tidak lengkap dalam arti semua data dasar belum tersedia sesuai dengan keperluan. Sedangkan definisi teratur artinya semua data memiliki skala atau resolusi yang homogen untuk setiap level penggunaan serta sistem proyeksi atau koordinat yang seragam dan memenuhi standardisasi.

Musim liburan Hari Natal dan Tahun Baru juga patut diwaspadai terkait dengan banyak wisatawan yang akan berkunjung ke objek wisata alam. Dalam situasi cuaca ekstrem yang ditandai dengan tingginya curah hujan, diperlukan antisipasi bencana alam dan kondisi darurat. Jumlah pengunjung destinasi pariwisata yang biasanya membeludak saat libur harus disertai dengan persiapan matang oleh pengelola destinasi agar tidak terjadi kecelakaan dan hal-hal buruk lainnya.

Promosi destinasi pariwisata sebaiknya disertai antisipasi sistemik untuk penanggulangan bencana alam. Penting pemberian informasi dan jaminan terkait dengan mitigasi destinasi pariwisata. Mengingat banyak destinasi yang secara geografis terletak pada kawasan rentan bencana alam. Bencana alam bisa menghancurkan industri wisata, apalagi jika tidak ada sistem mitigasi yang baik. Hal itu semakin membuat wisatawan kapok lalu menyebarkan berita buruk yang telah dialami.

Perlu manajemen risiko bencana untuk sektor pariwisata. Manajemen risiko itu perlu peta tematik kebencanaan sebagai informasi kebencanaan spasial. Peta tematik kebencanaan ini juga merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pariwisata. Peta tematik kebencanaan tersebut bisa dimanfaatkan badan kebencanaan di tingkat lokal maupun nasional serta para pelaku pariwisata di daerah yang bersangkutan untuk menyusun rencana aksi dalam rangka mitigasi bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar