Mitigasi
Tanah Longsor
Totok Siswantara ; Pengkaji Transformasi Teknologi dan
Infrastruktur
|
KORAN
JAKARTA, 16 Desember 2014
Bencana
tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang memakan banyak korban jiwa,
juga mengancam daerah lain. Bencana tanah longsor mestinya bisa diantisipasi
secara sistemik sebelum datang dan menelan korban jiwa lebih banyak. Untuk
mengantisipasinya, dibutuhkan personel khusus yang mau terjun langsung ke
lapangan dilengkapi perangkat pendukung berupa data spasial serta perangkat
lainnya.
Personel
khusus itu bisa berasal dari Taruna Siaga Bencana (Tagana), sukarelawan,
petugas konservasi alam, dan LSM yang bergiat untuk lingkungan. Mestinya ada
program untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan bagi personel agar
lebih sigap menghadapi bencana sekaligus mampu melakukan mitigasi bencana di
lapangan seperti pengamatan perbukitan yang berpotensi longsor.
Selama
ini, birokrasi pemerintah daerah belum bisa bekerja secara teliti, analitis,
serta mendalam guna menemukan material penting dari data spasial yang
berpotensi menyebabkan bencana seperti tanah longsor atau tanggul jebol.
Birokrat masih malas melakukan inspeksi dan pengamatan langsung di lapangan. Hal
itu menyebabkan lemahnya langkah mitigasi bencana. Untuk mengatasi lemahnya
mitigasi tersebut, dibutuhkan personel yang bisa terjun langsung mengamati
secara teliti lereng atau perbukitan yang rawan longsor. Perlu pemberian
pengetahuan praktis tentang ilmu geologi secara praktis, seperti kestabilan
lereng menggunakan parameter-parameter seperti kekuatan tanah dan batuan,
sudut lereng, iklim, dan vegetasi.
Selain
itu, ditambahkan pengetahuan kepada para personel agar bisa melakukan
monitoring secara cermat melalui pemasangan alat-alat pemantau tinggi
permukaan air tanah atau piezometer, kecepatan gerakan tanah atau
extensometer, dan arah gerakan tanah atau inclinometer. Kompetensi dalam
bidang pemantau kestabilan lereng banyak manfaatnya seperti untuk keonservasi
alam dan bidang kehutanan. Juga pemahaman tentang kestabilan lereng,
proses-proses yang mengakibatkan runtuhnya dinding, analisis sudut lereng
yang aman, penirisan air pada lereng pit, pemantauan kondisi lereng secara
visual, maupun peralatan mekanis.
Ketidakmampuan
birokrasi daerah dalam menemukan faktor-faktor penting dari data spasial
semakin melemahkan mitigasi bencana. Padahal dengan berbagai varian data
spasial dasar seperti land cover atau peta tutupan lahan, Daerah Aliran
Sungai (DAS), kejadian banjir, kondisi curah hujan, batas administrasi, peta
rupa-bumi, sistem lahan, dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), yang
sangat berguna bagi upaya mitigasi bencana karena bisa meminimalkan risiko
geologi. Begitu juga dengan data terkait dengan peta rawan banjir dan tanah
longsor keberadaannya belum terkonsolidasi dengan baik.
Selama
ini, eksistensi data spasial yang sudah dibangun pemerintah pusat dan daerah
dengan biaya besar ternyata tidak pernah tuntas karena sulit diolah menjadi
solusi praktis untuk usaha mitigasi bencana. Hingga kini, pemerintah pusat
dan daerah sudah banyak mengeluarkan dana serta SDM untuk membangn
Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD). Namun, hasilnya belum bisa
dipertanggungjawabkan secara optimal, bahkan tidak sedikit yang sia-sia.
Data
spasial secara sederhana diartikan sebagai materi yang memiliki referensi
keruangan atau geografi. Setiap bagian dari data tersebut, selain memberikan
gambaran tentang suatu fenomena, dapat memberikan informasi mengenai lokasi
dan persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Apabila
dikaitkan dengan cara penyajian data, peta merupakan bentuk atau cara
menyuguhkan data spasial paling ideal. Data spasial juga bisa diintegrasikan
dengan Sistem Informasi Administrasi pendudukan (SIAK). Jika terjadi bencana
dalam area yang luas, identifikasi korban bisa dilakukan secara baik.
Pihak
pemerintah daerah mestinya memberikan kemudahan kepada publik untuk mengakses
peta dasar maupun peta tematik yang up-todate dan bersifat GIS ready atau
dengan format Geographic Information
System yang bisa diunduh di internet. Dengan data dengan skala yang
ideal, bisa diolah oleh semua pihak hingga memiliki nilai tambah, mendorong
inovasi, dan bisa menjadi problem solving daerah. Sayang, hingga kini, publik
masih sulit mengakses data tersebut.
Perlu
menciptakan sistem pertukaran data spasial dan memperbarui data secara
bersama-sama untuk mengurangi tingginya biaya investasi. Ada empat faktor
yang perlu diperhatikan dalam membangun IDSD, yakni kerangka institusi,
kelompok data dasar, standar teknis, dan jaringan akses data. Juga diperlukan
faktor skala peta yang sesuai dengan kebutuhan stake holder. Misalnya, pada
tingkat skala wilayah provinsi, skala 1:10.000 untuk data spasial dasar, dan skala
1:25.000 untuk data spasial tematik.
Seringnya
bencana alam, gempa bumi, banjir, kekeringan, dan tanah longsor akhir-akhir
ini sangat membutuhkan peta tematik dengan prioritas tema kemiringan lereng,
curah hujan, jenis tanah, serta tata guna lahan. Hal itu untuk memperkokoh
upaya mitigasi bencana geologi agar korban jiwa dan harta benda bisa
diminimalkan.
Saat
ini, perkembangan teknologi GIS di dunia begitu pesat dan semakin murah.
Mestinya problem teknis seperti sulitnya mengakses dan mengonsolidasikan data
spasial tidak perlu terjadi. Begitu juga dengan masalah skala, resolusi, dan
faktor interoperabilitas. Selama ini, faktor tersebut mempersulit transfer
data dari satu sistem ke sistem lain.
Yang
dimaksud dengan interoperabilitas adalah kemampuan perangkat lunak GIS untuk
mengakses data dari sistem yang berbeda yang dihubungkan melalui jaringan
komputer lewat interface. Dalam hal itu, data geospasial secara fisik tidak
perlu pindah dari satu sistem ke sistem lain. Seluruh proses ini akan diatur
oleh lembaga The Open GIS Consortium.
Fakta di
lapangan juga menunjukkan bahwa keberadaan data spasial, baik pada level
nasional maupun daerah, dalam kondisi yang tidak lengkap dan kurang teratur.
Tidak lengkap dalam arti semua data dasar belum tersedia sesuai dengan
keperluan. Sedangkan definisi teratur artinya semua data memiliki skala atau
resolusi yang homogen untuk setiap level penggunaan serta sistem proyeksi
atau koordinat yang seragam dan memenuhi standardisasi.
Musim
liburan Hari Natal dan Tahun Baru juga patut diwaspadai terkait dengan banyak
wisatawan yang akan berkunjung ke objek wisata alam. Dalam situasi cuaca
ekstrem yang ditandai dengan tingginya curah hujan, diperlukan antisipasi
bencana alam dan kondisi darurat. Jumlah pengunjung destinasi pariwisata yang
biasanya membeludak saat libur harus disertai dengan persiapan matang oleh
pengelola destinasi agar tidak terjadi kecelakaan dan hal-hal buruk lainnya.
Promosi
destinasi pariwisata sebaiknya disertai antisipasi sistemik untuk penanggulangan
bencana alam. Penting pemberian informasi dan jaminan terkait dengan mitigasi
destinasi pariwisata. Mengingat banyak destinasi yang secara geografis
terletak pada kawasan rentan bencana alam. Bencana alam bisa menghancurkan
industri wisata, apalagi jika tidak ada sistem mitigasi yang baik. Hal itu
semakin membuat wisatawan kapok lalu menyebarkan berita buruk yang telah
dialami.
Perlu manajemen risiko bencana untuk sektor pariwisata. Manajemen
risiko itu perlu peta tematik kebencanaan sebagai informasi kebencanaan
spasial. Peta tematik kebencanaan ini juga merupakan informasi yang sangat
dibutuhkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pariwisata. Peta
tematik kebencanaan tersebut bisa dimanfaatkan badan kebencanaan di tingkat
lokal maupun nasional serta para pelaku pariwisata di daerah yang
bersangkutan untuk menyusun rencana aksi dalam rangka mitigasi bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar