Memperkuat
Negara
Agung Baskoro ; Analis
Politik Poltracking
|
SINAR
HARAPAN, 15 Desember 2014
Judul artikel ini terinspirasi
dari buku monumental yang pernah ditulis Fukuyama (2004). Dalam karyanya
tersebut, ia ingin menjawab ambisi negara yang begitu besar dalam mengatur
berbagai aspek kehidupan, namun, tidak diimbangi oleh peran optimal dalam
mengelola administrasi pemerintahan akibat merebaknya perilaku koruptif. Pada
titik inilah, partisipasi aktor di luar pemerintah akhirnya menjadi niscaya,
baik masyarakat sipil, swasta, hingga dunia internasional untuk menjaga
fungsi subtantif hadirnya suatu negara.
Pemerintahan Jokowi-JK bergulir
di atas warisan pemerintahan yang tersandera dan akan segera menghadapi
tantangan zaman yang kompleks. Realitas ini mulai tergambarkan dalam konteks
kenaikan harga BBM yang baru ditempuh (18/11). Sudah seharusnya, nalar
memperkuat negara digunakan, mengingat hasrat pemerintahan yang baru terpilih
ini begitu tinggi dalam memenuhi tanggung jawabnya, sejalan dengan harapan
rakyat.
Terlepas pemerintah telah
mengeluarkan seperangkat insentif kebijakan di hilir melalui tiga kartu (Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, dan
Keluarga Sejahtera) dan pembangunan infrastruktur secara berkelanjutan,
dan bantuan desa, hal ini juga diperkuat, skema Tim Reformasi Tata Kelola
untuk memberantas mafia Migas dan impor minyak dari Angola di hulu. Namun,
ada beberapa hal terlupa, yang seharusnya masuk menjadi rangkaian hadirnya
kebijakan ini.
Pertama, alasan utama kenaikan
BBM, belum disampaikan secara terang dan masif oleh pemerintah lewat lintas
kementrian, sehingga, rasionalisasinya menjadi mudah dipahami. Termasuk
berapa biaya yang sebenarnya dihabiskan untuk tahap eksplorasi sampai tahap
eksploitasi, subsidi riil yang harus ditanggung, dana subsidi yang dialihkan,
hingga laporan kemajuan pembangunan infastruktur yang telah dilakukan ke
depan secara periodik. Hal ini penting, untuk menghindari bias informasi yang
banyak beredar, atas nama tokoh atau institusi tertentu, yang menyebarkan
informasi kurang aktual dan menyesatkan. Sehingga, tak ada lagi
kesalahpahaman maupun dusta di antara pemerintah dan rakyat.
Kedua, momentum kenaikan BBM di
negeri ini diperkuat oleh konteks menurunnya harga minyak dunia, sehingga,
argumen negara-negara yang menurunkan BBM perlu diketahui utuh, agar publik
tak lagi mendapat informasi parsial. Dalam hal ini, pemerintah bisa
melibatkan para duta besar negara-negara yang bersangkutan, untuk turut
menjelaskan, agar desain kebijakan mereka sebenarnya dapat dipahami secara
keseluruhan.
Ketiga, resiko politik di tengah
islah DPR yang baru terjadi perlu diperhatikan dan disikapi dengan membentuk
tim lobi yang kompeten. Jangan sampai, kenaikan harga BBM ini menjadi bahan
baru untuk menghadirkan kembali hiruk-pikuk politik yang kontraproduktif.
Strategi Politik
Kabinet Kerja yang dibangun oleh
Jokowi-JK hanya memperoleh dukungan minimalis dari Koalisi Indonesia Hebat
(KIH), yang hanya menguasai 43% kursi DPR, minus 6 anggota DPR Dri PPP yang
ikut menandatangani hak interpelasi. Bagi Lijphart (1984), koalisi ini
kekecilan (undersized coalition)
dan dampak dari terbelahnya pemerintah (divided
government) karena presiden terpilih hanya didukung koalisi minoritas.
Dalam kondisi demikian, sebenarnya pemerintah diuntungkan, karena menjadi
lebih cepat dalam mengambil kebijakan, namun, di sisi yang lain, bila tak
terkelola dengan baik, dapat menimbulkan instabilitas, mengingat ketatnya
kontestasi politik yang terjadi pasca Pilpres sehingga fungsi pengawasan,
legislasi dan penganggaran yang dilakukan oleh DPR menjadi lebih kompetitif.
Dengan berbagai macam tantangan tersebut, terdapat tiga strategi yang bisa
dijalankan.
Pertama, lobi, kompromi dan
negosiasi adalah jalan terbaik untuk mempermudah persetujuan dari legislatif.
Artinya, tim komunikator yang diberntuk oleh pemerintah, haruslah
beranggotakan figur-figur yang memiliki jam terbang yang baik untuk
mengimbangi manuver politik yang mungkin terjadi. Di sinilah peran sentral
Jusuf Kalla (JK) memimpin tim ini mengemuka, sekaligus memastikan bahwa
kebijakan yang ditempuh relevan dengan arah kebijakan pemerintah sebelumnya.
Prosesnya, strategi kedua, bisa
dilakukan oleh pemerintah untuk melibatkan Demokrat maupun PAN secara adhoc
dalam KIH sebagaimana sedang dilakukan untuk menggolkan Perppu Pilkada. Hal
ini dilakukan, karena, Demokrat dan PAN sebelumnya berkontribusi besar
mendesain berbagai rencana ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Artinya,
platform kebijakan khususnya terkait program ketahanan dan kedaulatan energi
yang dimiliki oleh pemerintah harus jelas perkembangannya di masa sekarang.
Bagaimana pengelolaan energi terbaharukan? Kapan pembangunan kilang? Berapa
banyak kapal tanker yang harus dimiliki agar distribusi Migas lancar? atau
Kapan penambahan jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas agar konversi mudah
dilakukan? Setidaknya, hal ini penting, untuk menutup peluang DPR menghambat
proses kebijakan.
Ketiga, kerjasama dengan media.
Berdasarkan sejumlah pengalaman empirik, minority
government mengalami kegagalan akibat pemberitaan media yang kurang baik.
Karena dalam politik, persepsi lebih penting daripada fakta itu sendiri. dan
basis persepsi ini adalah opini yang disebarluaskan oleh media, sehingga, perlu
diisi dengan sosialisasi kebijakan, kinerja yang telah dilakukan, maupun
kendala yang sedang dihadapi. Hal ini diharapkan dapat menghadirkan stimulus
positif bahwa pemerintah telah bekerja, sehingga inisiatif masyarakat untuk
peduli dan turun tangan terjadi.
Pada
bagian akhir cerita ini, partisipasi masyarakat dan swasta untuk mengawal
jalannya pemerintahan menjadi esensi pokok demi kebaikan bersama. Karena,
bisa dilakukan dengan berbagai cara dan semakin diperkuat baik secara
kelembagaan melalui kehadiran state
auxiliary agencies (komisi-komisi negara), Corporate Social Responsibility (CSR), maupun secara informal
baik dengan media sosial atau gerakan ekstraparlementer lewat petisi online
hingga demonstrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar