Jokowi
dan Bangsa yang Pemurah
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia,
Redaksi pelaksana Jurnal Prisma
|
KORAN
TEMPO, 16 Desember 2014
Tahun
2014 adalah tahun politik. Bangsa Indonesia menyelenggarakan hajat besar
pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Dari segi penyelenggaraan,
ini adalah pemilu yang paling heboh dan penuh konflik. Begitu keras
pertentangan politik diametral yang terjadi, begitu kasar kampanye negatif
yang dilakukan, begitu masif politik uang yang dipraktekkan, serta begitu
kasar pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan para tim sukses. Kontroversi,
silang pendapat, dan perang opini terus terjadi sejak awal tahun, bahkan
hingga saat ini ketika pemilu telah selesai jauh-jauh hari.
Hiruk-pikuk
politik itu tampaknya membuat masyarakat lelah. Masyarakat jenuh dengan
situasi politik yang terus memanas. Masyarakat juga jengah dengan semua
bentuk omong kosong para politikus. Masyarakat ingin segera beranjak ke
normalitas keadaan, kembali ke pekerjaan dan kehidupan masing-masing.
Masyarakat berpikir, hiruk-pikuk politik seharusnya hanya terjadi lima tahun
sekali, selebihnya biarkanlah roda kehidupan sosial-ekonomi berputar secara
alamiah, normal, tanpa direcoki gejolak pada aras kehidupan politik.
Inilah
salah satu penjelasan mengapa respons masyarakat terhadap keputusan
pemerintah menaikkan harga BBM terkesan biasa-biasa saja. Tidak ada kehebohan
seperti yang dibayangkan, tidak terjadi drama protes sosial sebagaimana
pernah terjadi sebelumnya. Yang ada hanyalah demonstrasi-demonstrasi yang
bersifat sporadis.
Sebagian
pengamat menyatakan respons masyarakat yang biasa-biasa itu ada karena
popularitas Presiden Jokowi yang masih tinggi. Tapi benarkah masyarakat
sedemikian fanatik terhadap presidennya sehingga keputusan yang jelas-jelas
memberatkan kehidupan masyarakat pun diterima tanpa keberatan berarti? Bisa
jadi benar kenaikan harga BBM sulit dihindari oleh pemerintah. Namun kenaikan
harga sekitar Rp 2.000 itu jelas menyusahkan rakyat banyak. Menurut saya,
mayoritas bangsa Indonesia kecewa atas kenaikan harga BBM, dan menyesal
mengapa Presiden Jokowi tidak mengambil langkah lain.
Namun
sebagaimana telah dijelaskan, bangsa Indonesia sudah capek dengan hiruk-pikuk
politik. Masyarakat tidak menginginkan gonjang-ganjing politik yang
ujung-ujungnya hanya dimanfaatkan oleh para politikus untuk maksud-maksud
partikular, tanpa menghasilkan solusi yang sungguh-sungguh menguntungkan
masyarakat. Mungkin kedengarannya seperti fatalis. Namun masyarakat Indonesia
sudah menganggap kenaikan gradual harga-harga kebutuhan bahan pokok sebagai
suatu keniscayaan yang akan terjadi terus-menerus. Mereka umumnya menganggap
kenaikan biaya hidup sebagai suatu rutinitas tahunan, sebagai suatu
normalitas, yang tidak pernah sungguh dipersoalkan apa penyebabnya.
Di
pedesaan pulau Jawa, masyarakat sudah terbiasa menyebut uang sejuta rupiah
dengan sebutan "sewu" yang artinya adalah seribu rupiah. Realitas
ini secara simbolis menunjukkan kenaikan gradual harga-harga kebutuhan pokok
dan biaya hidup sampai kepada keadaan yang sangat ekstrem: uang sejuta rupiah
sama nilainya dengan uang seribu perak. Masyarakat umumnya menerima keadaan
ini sebagai konsekuensi "perubahan zaman" dan jarang sekali
sungguh-sungguh mempersoalkannya secara politis. Sepertinya masyarakat sadar
bahwa negara memang selalu hadir ketika membutuhkan rakyatnya, ketika
menuntut ketaatan warganya, namun sebaliknya, negara sering absen ketika
benar-benar dibutuhkan rakyatnya.
Presiden
Jokowi patut merasa beruntung hidup di dalam masyarakat yang pemurah dan
mudah menerima keadaan. Masyarakat yang tidak banyak menuntut para
pemimpinnya. Masyarakat yang terbiasa menyelesaikan sendiri kesulitan
hidupnya, tanpa banyak menunggu uluran tangan pemerintah, masyarakat yang
bahkan mungkin masih memendam trauma berhadap-hadapan dengan birokrasi.
Presiden Jokowi juga patut berterima kasih kepada masyarakat Indonesia. Andai
saja muncul reaksi penolakan keras dari akar rumput atas keputusan menaikkan
harga itu, kesulitan Presiden Jokowi niscaya berlipat-lipat. Tuntutan
interpelasi menemukan sumbu ledaknya.
Sejarawan
menyatakan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemaaf. Bangsa yang mudah
memaafkan kesalahan atau kelemahan para pemimpinnya. Celakanya, makna
"pemaaf" di sini begitu dekat dengan makna pelupa. Masyarakat lupa
Presiden Jokowi pada masa lalu juga pernah menolak ide kenaikan harga BBM.
Masyarakat juga lupa PDIP dan Megawati paling galak dalam menolak rencana
pemerintah SBY mencabut subsidi BBM suatu ketika. Jika saja ingat akan hal
itu, masyarakat mungkin tetap memaklumi kenaikan harga BBM, namun
menyayangkan sikap inkonsisten para pemimpinnya.
Selanjutnya, bagaimana Presiden Jokowi akan membalas kemurahan hati
bangsa Indonesia itu? Presiden Jokowi harus membuktikan tekad memberantas
mafia migas bukan sekadar retorika yang akan layu-sebelum-berkembang.
Presiden Jokowi juga harus membuktikan, pemerintahannya lebih baik dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat atas pengelolaan energi dan sumber daya alam di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar