Mewadahi
Konflik Tripartit
Refly Harun ; Pengajar dan Praktisi Hukum Tata Negara
|
KOMPAS,
05 Desember 2014
Di
tengah upaya untuk mengubah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD oleh kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat,
Dewan Perwakilan Daerah masuk ke gelanggang dengan proposal perubahan pula. Tidak
tanggung-tanggung, jika KIH-KMP berkutat pada target mengubah jumlah pimpinan
alat kelengkapan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maju dengan 13 item perubahan
yang sangat substantif. Terutama, mengembalikan fungsi legislasi DPD dalam
aras konstitusi. Masuknya DPD ke arena menjadikan upaya mengubah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
menemui jalan berliku. Perubahan tak begitu mudah dilakukan karena DPD ngotot
menyorongkan proposalnya. Jika tak diwadahi, fenomena ini akan melebarkan
konflik. Tak lagi sekadar perseteruan KIH vs KMP, tetapi juga jadi konflik
tiga pihak (tripartit), yaitu KIH dan KMP plus DPD.
Dipinggirkan
Kengototan
DPD dapat dimaklumi karena selama ini selalu dipinggirkan dalam
gonjang-ganjing legislasi. DPD tak pernah dihitung, padahal wakil daerah ini
memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22D
Perubahan Ketiga UUD 1945. Kewenangan ini terkait dengan masalah-masalah
otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat-daerah, termasuk pengelolaan
sumber daya alam yang ada di daerah.
Meski
tak masuk dalam mandat yang termaktub dalam Pasal 22D UUD 1945, UU MD3 tidak
berarti tak masuk wilayah DPD. Sebab, UU MD3 adalah UU yang mengatur tentang
parlemen dan DPD termasuk di antaranya. Ketika konstitusi memberi kewenangan
kepada DPR, Presiden, dan DPD terlibat dalam pembahasan UU, sangat tak masuk
akal apabila DPD tidak dipandang.
Selama
ini, sejak dirumuskannya dua UU yang mengatur eksistensi DPD, yaitu UU
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan UU tentang susunan dan
kedudukan lembaga parlemen, DPD selalu ditepikan. Dua UU yang mengatur
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No 10/2004 dan
penggantinya, UU No 12/2011, tidak memberikan porsi kewenangan DPD sesuai
takaran konstitusional. Demikian pula elaborasi dalam UU yang mengatur
tentang parlemen, mulai dari UU No 22/2003, UU No 27/2009, hingga UU No
17/2014, selalu meminggirkan DPD.
Di
tengah pembagian kewenangan yang memang tak setara apabila dibandingkan
dengan kewenangan DPR, DPD menjadi antara ada dan tiada. Padahal, DPD
memiliki kewenangan tertentu yang telah digariskan konstitusi. Kewenangan
itulah yang coba direbut kembali oleh DPD dengan 13 item perubahan yang
disorongkan di antara negosiasi KIH-KMP. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada
kesepakatan di antara ketiga pihak. Target penyelesaian revisi UU MD3 pada 5
Desember terancam gagal.
Putusan MK
Apa yang
disorongkan DPD sebenarnya bukan barang baru. Pada 27 Maret 2013, DPD telah
dibekali putusan MK yang memenangkan sebagian besar gugatan mereka. Melalui
putusan itu, MK menegaskan kewenangan DPD dalam aras konstitusi.
Pertama,
DPD berhak mengajukan RUU. Selama ini, RUU DPD diperlakukan seperti usul. Tak
ubahnya usul RUU dari kelompok atau organisasi masyarakat. Setelah dipermak
badan legislasi dan disetujui di Rapat Paripurna DPR, usul ini berganti baju
menjadi RUU inisiatif DPR. Fenomena ini seperti ungkapan ”telur mata sapi,
ayam yang punya telur, tetapi sapi yang dapat nama”. Putusan MK menegaskan
bahwa kewenangan DPD bukan mengajukan usul RUU, melainkan RUU, dengan derajat
setara RUU dari Presiden dan DPR.
Kedua,
DPD berhak membahas RUU yang terkait kewenangannya dari awal hingga akhir.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU selama ini sangat dibatasi. DPD tak
ikut dalam membahas daftar inventarisasi masalah (DIM). DPD hanya diberi
kesempatan menyampaikan pandangan umum dan pendapat mini setelah DIM dibahas.
Bagaimana
mungkin DPD tak ikut membahas DIM, tetapi disuruh membuat pendapat mini
setelah RUU selesai dibahas. Sesat paradigma berpikir ini diluruskan MK
melalui putusan yang menyatakan DPD berhak ikut dalam semua tahap pembahasan
RUU yang terkait dengan kewenangan DPD. Sayangnya, MK tak memberikan kuasa
bagi DPD ikut dalam persetujuan RUU.
Ketiga,
pembahasan RUU yang terkait kewenangan DPD bersifat tripartit, yaitu antara
DPR, Presiden, dan DPD. Bukan antara fraksi-fraksi yang ada di DPR dengan
Presiden dan DPD. Praktik selama ini, presiden selalu berhadapan dengan
fraksi-fraksi di DPR, bukan dengan DPR sebagai satu-kesatuan yang sudah
menyatu. Saat DPD dilibatkan secara terbatas dalam pembahasan RUU, DPD seolah
ditempatkan sebagai fraksi pula. Itu pun dengan posisi yang tidak sejajar
dibandingkan fraksi-fraksi di DPR. Bayangkan, misalnya, Hanura yang hanya
memiliki 17 kursi lebih kuasa ketimbang DPD dengan 132 anggotanya.
Putusan
MK 27 Maret 2013 telah mengangkat marwah DPD sesuai porsi konstitusi. Namun,
ternyata hingga kini masih ada keengganan DPR melaksanakan putusan itu.
Bahkan, UU No 17/2014 telah mengabaikan putusan MK. Bisa dimaklumi jika DPD
kembali mengajukan pengujian UU itu. Hingga tulisan ini dibuat, sidang telah
berakhir dan DPD tinggal menunggu putusan MK. Jika MK konsisten dengan
putusan sebelumnya, seharusnya permohonan DPD dikabulkan.
Legislasi tripartite
Saat
pertikaian KIH-KMP hendak diakhiri dengan bagi-bagi kursi pimpinan alat
kelengkapan melalui jalan revisi UU MD3, DPD rupanya tak hendak berdiam diri.
Wakil-wakil daerah ini coba merebut panggung legislasi. DPD seperti hendak
menyadarkan kita semua bahwa lembaga pembentuk UU tidak hanya DPR (fraksi-fraksi
DPR) dan Presiden, tetapi juga wakil-wakil daerah yang berhimpun di DPD.
DPD tak
hendak lagi ditempatkan dalam paradoks besar: dipilih langsung oleh rakyat,
memiliki mandat perseorangan yang jauh lebih besar dibandingkan mayoritas
anggota DPR, tetapi tak memiliki kekuasaan menentukan. Di negara lain,
penganut sistem dua kamar (bikameral), lebar kuasa lembaga semacam DPD
ditentukan cara pengisian anggota. Jika anggotanya dipilih seperti halnya
DPR, kekuasaan akan lebih lebar, bahkan bisa lebih hebat dibandingkan DPR,
seperti kekuasaan senator di AS.
Oleh
karena itu, ada baiknya revisi UU MD3 dengan perspektif bagi-bagi jabatan
dihentikan. KIH-KMP harus menemukan cara lain yang lebih elegan untuk
menyudahi konflik. KMP bisa saja mengurangi jatah mereka di pimpinan alat
kelengkapan, lalu memberikannya kepada KIH. Atau KIH sendiri yang legawa
tidak mendapatkan jatah pimpinan di alat kelengkapan.
Perubahan
UU MD3 nantinya harus masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional 2015. Ada
baiknya UU itu dipecah jadi tiga sehingga MPR, DPR, dan DPD diatur dalam UU
tersendiri. Terlebih aturan soal DPRD dalam UU MD3 juga sudah dinyatakan tak
berlaku oleh UU No 23 /2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Soal legislasi, baiknya hanya diatur dalam UU tentang pembentukan
peraturan perundang- undangan (sekarang UU No 12/2011). Legislasi ke depan
haruslah menghormati konstitusi. Sepanjang menyangkut kewenangan DPD,
pembahasan suatu RUU haruslah bersifat tiga pihak (tripartit). Tidak hanya
sesuai konstitusi dan putusan MK, legislasi tripartit adalah cara untuk
mengembalikan marwah DPD dari pengabaian dan peminggiran terus-menerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar