Solusi
Regresi Politik
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
05 Desember 2014
Di balik
segala dakuan perihal melembaga dan berjalannya rangkaian agenda demokrasi sejak
1998, terakhir Pemilu Presiden 2014, tahun ini demokrasi kita sesungguhnya
merapuh di sana-sini. Kendati ia sudah dua kali melewati persyaratan two-turnover test dari Samuel
Huntington (karena kita sudah empat kali selamat melaksanakan pilpres),
dengan perkembangan mutakhirnya harus dinyatakan bahwa batu uji demokrasi
Huntington itu belumlah memadai bagi kita.
Demokrasi
kita justru sedang berada dalam kondisi rawan. Lenyapnya toleransi (toleration) bukan hanya dari mayoritas
kepada minoritas, melainkan juga antarkelompok, partai, dan terutama kubu
politik tak berhenti ketika Pilpres 2014 usai. Iklim fitnah dan hujatan masih
terus berlangsung di media sosial. Ini juga terkuak pada penolakan DPRD
Jakarta terhadap pelantikan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menjadi
gubernur yang definitif sah. Begitu pula laku kuasa-kuasaan kerdil di
parlemen atau di parpol.
Kita
lupa pesan Bung Hatta di awal 1920-an bahwa nondiskriminasi adalah syarat
mutlak persatuan dan persatuan syarat mutlak kemerdekaan. Alangkah banyak di
kalangan masyarakat kita yang saking pandir tak kunjung menyadari bahwa hanya
dengan persatuan bangsa kita bisa bertahan tetap merdeka.
Sumber kerawanan
Besarnya
bahaya regresi politik 2014 tak berhenti pada memudarnya kesalingpercayaan
antarwarga bangsa, meluasnya sinisme dan permusuhan, dirisikaukannya laku
”tirani mayoritas”, dan berlakunya barbarisme bahkan di parlemen. Jika tak
waspada, kita bisa kembali terjerumus ke dalam keadaan darurat resmi. Sudah
kerap kita dengar selentingan agar parpol-parpol dan belakangan ini juga DPR
dibubarkan. Kita dibayangi deja vu—tergiring ke sinyalemen Geertz (1973)
tentang sifat state manque dari
negara kita: bolak-balik somnambulistik tiada henti antara demokrasi dan
otoritarianisme tanpa pernah genah pada pilihan yang benar.
Kini
demokrasi kita ditandai oleh tiga sumber kerawanan: rapuhnya solidaritas
sebangsa; miskinnya ketercerahan politik; dan tak terkendalikannya hawa nafsu
picik kekuasaan. Demokrasi memang tak terpisahkan dari persenyawaan
simbiosisnya dengan kolektivitas bangsa, persandaran rasionalnya pada
ketercerahan politik (baca: rasionalitas demokrasi), serta pengutamaannya
atas etika (integritas dan moralitas), serta akal budi (otoritas dan
kompetensi). Memang sejak awal reformasi, demokrasi kita lebih dekat pada
pemahaman Schumpeter atau Robert Michels atas demokrasi daripada pemahaman
John Stuart Mill dan Peter Bachrach.
Tiga
perkembangan membuat kita patut prihatin. Pertama, partai-partai politik
selama masa kampanye Pilpres 2014 telah menjerumuskan masyarakat kita ke
dalam pandangan dan perilaku politik pokoke yang ”hitam-putih”, miskin nalar,
dan rabun sejarah bangsa. Inilah yang membangkitkan monster primordialisme,
fanatisme agama, sebaran fitnah yang melampaui akal-sehat dan kepatutan,
serta prasangka-prasangka stereotip yang semuanya bertentangan dengan etika
dan akal budi.
Kedua
adalah laku pengabaian reformasi (the
abandonment of political reform) justru oleh partai pelopornya sendiri
dalam perlombaan pilpres itu. Partai Amanat Nasional (PAN) telah dibawa para
tokohnya ke jalan yang menyimpang dihitung dari sisi perjuangannya semula.
Setelah gagal bergabung dengan kubu Joko Widodo dan gagal mengajukan pasangan
calon presiden sendiri, PAN merapat ke kubu Prabowo Subianto, sesuatu yang
pasti disambut kubu ini sebagai pucuk dicinta ulam tiba. Kita tahu Prabowo
menggalang kantong-kantong, para pendukung, dan simpatisan Orde Baru. Dan
tokoh-tokoh PAN sama sekali tak merasa jengah dengan kenyataan itu, termasuk
bahwa sosok Prabowo masih diliputi polemik tajam menyangkut pelanggaran HAM
berat. Sulit dibantah, di sini berlaku lagi adagium konyol itu: ”Dalam
politik tiada kawan abadi; yang ada hanyalah kepentingan abadi”.
Ketiga,
laku kuasa-kuasaan, termasuk tipu muslihat kasar di parlemen dalam
sidang-sidang penetapan UU MD3, UU Pilkada 2014, dan pimpinan serta alat
kelengkapan DPR. Itu tidak hanya bersifat culas-rampok, tetapi juga secara
barbar melanggar kaidah-kaidah rasionalitas demokrasi, terutama berkenaan
dengan tuntutan harkat lembaga perwakilan rakyat (ataupun sebutan sebagai
”wakil rakyat”) berikut pakem demokrasi menyangkut mekanisme penerjemahan
hasil pemilu legislatif di parlemen. Dari seluruh regresi politik, inilah
yang terparah dan jika tak segera dikoreksi, bisa merusak sistem demokrasi
hingga jauh ke depan.
Langgar rasionalitas politik
Parlemen
terang-terangan melanggar setidaknya empat rasionalitas politik. Pertama,
demokrasi selalu dituntut memenuhi prinsip keabsahan prosedural dan keabsahan
substansial demi menjunjung kemuliaan politik dan sekaligus mengindahkan
salah satu hukum besi politik: secara historis-universal, kesepakatan sejati
tak bisa lebih didasarkan melulu pada might
(kuasa politik), tetapi lebih pada right
(kebajikan politik). Hanya dengan keabsahan cara dan keabsahan tujuan
sekaligus might jadi right. Michael Walzer menegaskan,
kedua sisi keabsahan itu sama niscaya dan bobotnya (Ihwal might-right ini mengingatkan kita pada
bagaimana Tjokroaminoto memahami volksvertegenwoordiging
dalam kontroversi Indie Weerbaar dan mengapa Soewardi Soerjaningrat menulis Als ik eens Nederlander was–dua-duanya
tahun 1913).
Rasionalitas
politik kedua berlaku dalam prinsip pergiliran pemerintahan. Konvensi utama
untuk menegakkan prinsip ini tak lain adalah pilpres, yang transparan, adil,
dan jujur. Di sini pemenang di ranah eksekutif mestilah sportif dihormati dan
diberi kesempatan penuh melaksanakan semua tugas, kerja, dan target kebijakannya.
Parlemen tak bisa disalahgunakan untuk secara sistematis mempersulit
kelancaran kinerja pemerintahan.
Di semua
negara demokrasi maju, perlombaan dalam pilpres yang transparan, adil, dan
jujur tak pernah diperpanjang di parlemen semata demi mempersulit ruang gerak
partai pendukung pemerintah, apalagi dengan aturan-aturan main hasil
akal-akalan bulus mendadak dan bersifat rampok. Kubu yang melakukannya di
parlemen kita lupa bahwa mereka bekerja dalam DPR Republik Indonesia—untuk
menghormati pilihan rakyat, pemilik utama Republik. Melecehkan tuntutan
sportivitas untuk mengakui pilihan rakyat demi pergiliran pemerintahan
berarti membatalkan hasil pemilu legislatif sehingga merisikokan hukum rimba.
Rasionalitas
politik ketiga adalah prinsip perwakilan dalam parlemen yang dilaksanakan
dalam dua kiat konvensional: sistem majoritarian yang umumnya ditandai
persaingan dua partai besar (dan salah satunya mencapai status mayoritas) dan
sistem proporsional yang umumnya ditandai partai-partai politik kecil (yang
jauh dari status mayoritas). Demi efektivitas pemerintahan dan sekaligus
penegasan sistem majoritarian, di sini lazim dilakukan kiat penggelembungan
bobot kekuasaan partai pemenang pluralitas dalam pemilu legislatif. Itulah
sebabnya Douglas Rae menyebut kiat ini manufactured
majorities. Namun, kiat ini disepakati bersama dalam undang-undang dan
disusun jauh hari sebelumnya.
Lain
halnya dengan sistem proporsional seperti yang kita anut selama ini. Di sini
rasionalitas politik ditekankan pada terjaganya kohesi parlemen, yaitu dengan
memastikan agar proporsionalitas perolehan suara dalam pemilu legislatif
benar-benar diterjemahkan ke dalam proporsionalitas bobotnya di parlemen. Tak
satu pun negara demokrasi pelaksana sistem proporsional yang menjungkirbalikkan
proporsionalitas perolehan suara partai-partai dalam pemilu secara manufactured majority sebab itu jelas
melanggar rasionalitas demokrasi, termasuk mengingkari hasil pemilu
legislatif. Dan laku tak patut inilah yang dilakukan salah satu kubu dalam
parlemen kita.
Rasionalitas
politik keempat sudah gamblang, yaitu pengukuhan kesetaraan harkat setiap
warga negara, terutama dan terpenting di depan hukum. UU MD3 yang sengaja
mempersulit pelacakan laku korupsi ”berjemaah” serta transparansi
penganggaran di tubuh parlemen melanggar diktum rasionalitas ini dalam dua
hitungan. Pertama, ia melanggarnya dalam hitungan tuntutan universal
demokrasi: di mana pun dan dalam keadaan apa pun pada yurisdiksi negara,
prinsip kesetaraan di depan hukum ini mesti terus dijunjung. Kedua, ia
menafikan kenyataan partikuler bahwa sejak Orde Baru hingga kini korupsi
masih terus ramai dilakukan para pejabat negara kita, terutama di parlemen
reformasi dengan besaran yang berbanding lurus dengan kekuasaan yang mereka
miliki—umumnya dengan impunitas.
Kita
tahu, sudah belasan tahun parlemen kita merupakan episentrum korupsi. Secara
langsung dengan UU MD3 dan secara tak langsung dengan UU Pilkada 2014,
sebagian anggota parlemen hendak membentengi diri dari keniscayaan kesamaan
di depan hukum dengan jalan menutup waskat transparansi dan akuntabilitas,
dengan menembok diri dari keniscayaan probity
atas laku korupsi, perilaku buruk, dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan
mereka. Mereka hendak menggerakkan pendulum politik balik ke model Orde
Baru—menuju kekuasaan absolut demi korupsi atau penyelewengan absolut pula.
Menyikapi regresi politik
Dalam
menyikapi masifnya regresi politik yang kini melanda bangsa kita, dua hal
patut dijadikan agenda pokok bangsa kita. Pertama adalah pentingnya terus
menanamkan kesadaran bahwa demokrasi tegak di atas seperangkat falsafah luhur
yang secara arif menunjukkan bagaimana semestinya setiap individu dan
kolektivitas ditempatkan secara berharkat vis-a-vis
kekuasaan. Biang dari seluruh regresi politik kita tak lain dari penghalalan
cara, tentu termasuk pengabaian reformasi. Dalam masyarakat, puncak
penghalalan cara adalah penyebaran fitnah keji atau kepicikan primordialisme
pada perlombaan demokrasi. Dalam negara, puncak penghalalan cara adalah
pemaksaan berlakunya undang-undang yang mencampakkan keniscayaan kedua sisi
keabsahan di atas. Bentuk-bentuk penghalalan cara demikian inilah yang
menginjak-injak solidaritas kebangsaan, ketercerahan politik, dan etika-akal
budi.
Kedua,
dalam rangka mengatasi bahaya regresi politik, fungsi Mahkamah Konstitusi
(MK) sangat krusial. Sebab, dari seluruh regresi politik yang kita alami,
yang paling celaka dan berdampak paling jauh adalah regresi di bidang
perundang-undangan. Bertugas sebagai pengawal konstitusi, MK dituntut untuk
memperluas cakrawalanya, bukan hanya di ranah hukum formal dan/atau
yurisprudensi, melainkan juga di ranah rasionalitas, falsafah, dan sejarah
politik.
Jika
kita membatasi diri di ranah hukum formal/yurisprudensi, cakrawala kita akan
cenderung terpenjara pada teks/makna undang-undang yang diuji dan/atau pada
padanan/preseden hukumnya. Kita tak boleh lupa bahwa kendati tiada atau belum
ada undang-undang untuk membuat undang-undang, dengan cakrawala rasionalitas
politik MK akan mudah menentukan apakah suatu undang-undang dibuat secara
jujur, bajik, dan bermartabat atau secara culas, nista, dan rampok. Perlu
disadari bahwa sebagai syarat mutlak suatu bangsa untuk merdeka, konstitusi
pada mulanya adalah paket politik tertinggi yang pokok-pokoknya disusun
dengan tingkat nalar prima. Baru segera sesudah itu ia dijadikan patokan
hukum tertinggi. Singkatnya, konstitusi adalah monumen politik dan hukum
sekaligus dan kedua-duanya mutlak perlu diindahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar