Fungsi
Protektif Pidana Perikanan
Artidjo Alkostar ; Hakim Agung Ketua Kamar Pidana MA;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
|
KOMPAS,
05 Desember 2014
Penegakan
hukum pidana suatu negara seperti Indonesia mencerminkan kewibawaan negara,
secara nasional sebagai bangsa berdaulat ataupun di mata internasional. Negara
Indonesia akan kehilangan harga dirinya jika pelaku tindak pidana perikanan
tidak dikenai hukuman atau hanya dikenai sanksi yang sangat ringan. Hukum
pidana Indonesia mengemban misi menjaga marwah atau harga diri bangsa dan
martabat negara Indonesia. Terutama terhadap pelaku tindak pidana perikanan
yang dilakukan warga negara asing yang berdampak multidimensi, seperti
kerusakan lingkungan hidup, hilangnya biota laut, dan kerugian ekonomis.
Untuk
itu, fungsi protektif Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
sebagai perubahan atas UU No 31/2004 harus ditranformasikan ke ranah praksis
penegakan hukum sehingga rakyat atau nelayan tradisional yang rentan secara
ekonomi dan lemah secara politik dapat memperoleh keadilan hukum (access to
justice) dan tidak terdesak nelayan asing yang menggunakan peralatan
penangkap ikan yang lebih canggih.
Penanganan
tindak pidana perikanan, baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun
pengadilan, menuntut penanganan yang profesional, dan harus dapat mengikis
skeptisisme masyarakat. Penegakan hukum yang berintegritas harus dapat
memulihkan defisit kewibawaan penegakan hukum tindak pidana perikanan. Ruang
gerak pelaku tindak pidana perikanan akan semakin sempit jika penegakan
hukumnya terintegrasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) tegaknya keadilan sosial ekonomi rakyat, khususnya
nelayan Indonesia yang menderita sosial ekonomi akibat pencurian ikan
(illegal fishing).
Kewibawaan
hukum harus ditingkatkan untuk dapat mengembalikan arah pendulum kedaulatan
hukum kepada rakyat dan nelayan tradisional yang menjadi korban tindak pidana
perikanan karena illegal fishing yang dilakukan warga negara asing berdampak
serius secara sosial ekonomi, ekologi, dan kewibawaan negara.
Ketegasan
untuk menenggelamkan kapal ilegal (Kompas, 28/11) merupakan bagian dari upaya
pemberian sanksi berdimensi efek jera bagi kapal perikanan ilegal berbendera
asing sesuai Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan. Tindakan penenggelaman kapal
berbendera asing secara yuridis harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup
adanya tindak pidana, tak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan
Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap
dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan Indonesia.
Agar
tindakan khusus ini tak dilakukan sewenang-wenang, main hakim sendiri, dan
melanggar HAM, masih diperlukan instrumen hukum yang melegitimasi bahwa
tindakan khusus itu merupakan konsekuensi yuridis dari perbuatan yang salah.
Tindakan
khusus Pasal 69 Ayat (4) secara yuridis tak boleh bertentangan dengan Pasal
76A yang menyatakan benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau
dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.
Postulat
moral yang mendasari berlakunya UU No 45/2009 antara lain menjaga kedaulatan
teritorial dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Untuk itu,
politik kriminal atau strategi penanggulangan kejahatan perikanan harus
diwujudkan dalam upaya pencegahan dan praktik penegakan hukum. Dengan
demikian, penjatuhan hukuman yang tegas bagi kapal asing pencuri ikan harus
memberikan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi lagi dan mencegah
orang asing lain agar tidak seenaknya mencuri ikan di perairan Indonesia.
Tugas yuridis penegak hukum
Kualifikasi
perbuatan pidana yang dilarang adalah setiap orang yang dengan sengaja
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan yang
mengganggu dan merusak berkelanjutan sumber daya dipidana paling lama 5 tahun
dan denda Rp 2 miliar. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
yang tidak memiliki SIPI dipidana paling lama enam tahun dan denda paling
banyak Rp 2 miliar.
Memalsukan
dan/atau menggunakan Surat Izin Usaha Perikanan, SIPI, dan SIKPI palsu
dipidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar.
Nakhoda kapal perikanan yang tak memiliki surat persetujuan berlayar dipidana
paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar.
Tugas
yuridis penegak hukum pidana perikanan adalah memproteksi negara maritim
Indonesia dari segala bentuk illegal
fishing. Alangkah rapuhnya kedaulatan NKRI dan betapa malangnya nasib
nelayan tradisional Nusantara jika banyak warga negara asing atau kapal
ilegal tanpa rasa takut mengeksploitasi kekayaan laut RI dengan mempermainkan
hukum Indonesia.
Perkara
tindak pidana perikanan yang masuk ke Mahkamah Agung tahun 2013 sebanyak 24
perkara dan tahun 2014 sebanyak 29 perkara. Perkara kasasi tersebut diajukan
dari pengadilan negeri pengaju yang ada pengadilan perikanannya, antara lain
Pontianak, Tanjung Pinang, Bitung, Ranai, dan Makassar. Adapun para pelaku
antara lain berkewarganegaraan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan warga negara
lain kawasan Asia Timur, selain warga negara Indonesia.
Ketua MA dan Menteri Kelautan dan Perikanan (akan) meresmikan
pengadilan perikanan di Ambon, Sorong, dan Jayapura pada 11 Desember 2014.
Hal ini untuk melengkapi pengadilan perikanan yang telah ada, yaitu Tanjung
Pinang, Jakarta Utara. Kelengkapan institusi penanggulangan tindak pidana
perikanan ini untuk menegaskan komitmen negara Republik Indonesia sebagai
negara berdaulat dalam membangun negara maritim yang andal dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar