Minggu, 07 Desember 2014

Fungsi Protektif Pidana Perikanan

                            Fungsi Protektif Pidana Perikanan

Artidjo Alkostar  ;   Hakim Agung Ketua Kamar Pidana MA;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
KOMPAS,  05 Desember 2014

                                                                                                                       


Penegakan hukum pidana suatu negara seperti Indonesia mencerminkan kewibawaan negara, secara nasional sebagai bangsa berdaulat ataupun di mata internasional. Negara Indonesia akan kehilangan harga dirinya jika pelaku tindak pidana perikanan tidak dikenai hukuman atau hanya dikenai sanksi yang sangat ringan. Hukum pidana Indonesia mengemban misi menjaga marwah atau harga diri bangsa dan martabat negara Indonesia. Terutama terhadap pelaku tindak pidana perikanan yang dilakukan warga negara asing yang berdampak multidimensi, seperti kerusakan lingkungan hidup, hilangnya biota laut, dan kerugian ekonomis.

Untuk itu, fungsi protektif Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan sebagai perubahan atas UU No 31/2004 harus ditranformasikan ke ranah praksis penegakan hukum sehingga rakyat atau nelayan tradisional yang rentan secara ekonomi dan lemah secara politik dapat memperoleh keadilan hukum (access to justice) dan tidak terdesak nelayan asing yang menggunakan peralatan penangkap ikan yang lebih canggih.

Penanganan tindak pidana perikanan, baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan, menuntut penanganan yang profesional, dan harus dapat mengikis skeptisisme masyarakat. Penegakan hukum yang berintegritas harus dapat memulihkan defisit kewibawaan penegakan hukum tindak pidana perikanan. Ruang gerak pelaku tindak pidana perikanan akan semakin sempit jika penegakan hukumnya terintegrasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) tegaknya keadilan sosial ekonomi rakyat, khususnya nelayan Indonesia yang menderita sosial ekonomi akibat pencurian ikan (illegal fishing).

Kewibawaan hukum harus ditingkatkan untuk dapat mengembalikan arah pendulum kedaulatan hukum kepada rakyat dan nelayan tradisional yang menjadi korban tindak pidana perikanan karena illegal fishing yang dilakukan warga negara asing berdampak serius secara sosial ekonomi, ekologi, dan kewibawaan negara.

Ketegasan untuk menenggelamkan kapal ilegal (Kompas, 28/11) merupakan bagian dari upaya pemberian sanksi berdimensi efek jera bagi kapal perikanan ilegal berbendera asing sesuai Pasal 69 Ayat (4) UU Perikanan. Tindakan penenggelaman kapal berbendera asing secara yuridis harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup adanya tindak pidana, tak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan Indonesia.

Agar tindakan khusus ini tak dilakukan sewenang-wenang, main hakim sendiri, dan melanggar HAM, masih diperlukan instrumen hukum yang melegitimasi bahwa tindakan khusus itu merupakan konsekuensi yuridis dari perbuatan yang salah.

Tindakan khusus Pasal 69 Ayat (4) secara yuridis tak boleh bertentangan dengan Pasal 76A yang menyatakan benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.

Postulat moral yang mendasari berlakunya UU No 45/2009 antara lain menjaga kedaulatan teritorial dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Untuk itu, politik kriminal atau strategi penanggulangan kejahatan perikanan harus diwujudkan dalam upaya pencegahan dan praktik penegakan hukum. Dengan demikian, penjatuhan hukuman yang tegas bagi kapal asing pencuri ikan harus memberikan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi lagi dan mencegah orang asing lain agar tidak seenaknya mencuri ikan di perairan Indonesia.

Tugas yuridis penegak hukum

Kualifikasi perbuatan pidana yang dilarang adalah setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak berkelanjutan sumber daya dipidana paling lama 5 tahun dan denda Rp 2 miliar. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan yang tidak memiliki SIPI dipidana paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.

Memalsukan dan/atau menggunakan Surat Izin Usaha Perikanan, SIPI, dan SIKPI palsu dipidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar. Nakhoda kapal perikanan yang tak memiliki surat persetujuan berlayar dipidana paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar.

Tugas yuridis penegak hukum pidana perikanan adalah memproteksi negara maritim Indonesia dari segala bentuk illegal fishing. Alangkah rapuhnya kedaulatan NKRI dan betapa malangnya nasib nelayan tradisional Nusantara jika banyak warga negara asing atau kapal ilegal tanpa rasa takut mengeksploitasi kekayaan laut RI dengan mempermainkan hukum Indonesia.

Perkara tindak pidana perikanan yang masuk ke Mahkamah Agung tahun 2013 sebanyak 24 perkara dan tahun 2014 sebanyak 29 perkara. Perkara kasasi tersebut diajukan dari pengadilan negeri pengaju yang ada pengadilan perikanannya, antara lain Pontianak, Tanjung Pinang, Bitung, Ranai, dan Makassar. Adapun para pelaku antara lain berkewarganegaraan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan warga negara lain kawasan Asia Timur, selain warga negara Indonesia.

Ketua MA dan Menteri Kelautan dan Perikanan (akan) meresmikan pengadilan perikanan di Ambon, Sorong, dan Jayapura pada 11 Desember 2014. Hal ini untuk melengkapi pengadilan perikanan yang telah ada, yaitu Tanjung Pinang, Jakarta Utara. Kelengkapan institusi penanggulangan tindak pidana perikanan ini untuk menegaskan komitmen negara Republik Indonesia sebagai negara berdaulat dalam membangun negara maritim yang andal dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar