Menyelesaikan
Masalah Tanpa Solusi
Tri Marhaeni Pudji Astuti ; Guru
Besar Antropologi,
Jurusan Sosiologi dan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial, Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 16 Desember 2014
KETIKA
wacana pengurangan jam kerja untuk perempuan diapungkan, apakah para
perempuan serta-merta menjadi senang dan merasa terbantu? Pertanyaan ini
banyak mengemuka ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan ide
pengurangan jam kerja bagi perempuan. Wacana itu, sama seperti kebijakan
instan lain yang tidak menyentuh akar masalah, mirip dengan tagline Indonesia
Lawak Club: ”Menyelesaikan Masalah
Tanpa Solusi”.
Blue-print di masyarakat tentang sosok perempuan
ideal, jawabnya adalah khas stereotipe ideologi familialisme. Yakni, anggapan
masyarakat bahwa perempuan yang baik adalah sosok yang nrima, selalu menurut
dari merawat anak hingga melayani suami. Sosok perempuan ideal adalah sebagai
istri dan ibu yang baik. Identifikasinya, perempuan harus selalu patuh,
setia, dan ”siap setiap saat” berada di samping suami dan anak-anaknya, serta
mendorong keberhasilan suami.
Rupanya
ideologi familialisme inilah yang masih menghegemoni pikiran masyarakat
patriarki. Padahal ideologi tersebut sudah tidak dapat dipertahankan
sepenuhnya, manakala banyak fenomena perempuan bekerja di luar rumah.
Impilikasinya,
perempuan yang bekerja di luar rumah tetap harus ”membawa beban rumah dan
anaknya ketika dia bekerja”.
Akibat
lebih jauh, perempuan dituntut untuk bisa menjadi ”perempuan sempurna” yang
keluarganya bahagia, harmonis, di sisi lain kariernya juga bagus dengan
posisi yang bagus. Sementara hal yang sama tidak pernah ”dibebankan” kepada
laki-laki. Bahkan ketika ada ketidakharmonisan rumah tangga, perempuanlah
yang menjadi “tertuduh” utama karena mereka bekerja di luar rumah, atau
menjadi wanita karier.
Demikian
pula jika terjadi kenakalan remaja, perempuanlah ”tersangkanya”.
Pertanyaannya, apakah mereka yang tidak bekerja di luar rumah dan tidak
menjadi perempuan karier, rumah tangganya dijamin harmonis dan anak-anaknya
menjadi anak yang baik, pintar, cerdas, dan tidak nakal?
Ideologi
familialisme seolah-olah “masih membelenggu” berbagai lapisan masyarakat,
termasuk penentu kebijakan. Bukankah mengasuh dan merawat anak dapat
dilakukan bersama atau bergantian antara suami dan istri dengan ”kesepakatan
dan komitmen”?
Sepanjang
masing-masing keluarga mampu ”bersepakat dan berkomitmen” dalam pengasuhan
anak, maka tidak ada alasan lagi ”beban” merawat dan mengasuh anak hanya ada
di pundak perempuan.
Wacana
ideologi familialisme itulah yang akhirnya melahirkan pemikiran pengurangan
jam kerja untuk perempuan, agar perempuan mempunyai waktu lebih banyak untuk
anak-anak. Apakah betul kebijakan itu tepat dan sesuai dengan apa yang
diharapkan? Ternyata jawabannya adalah ”tidak”. Mengapa demikian? Karena
justru makin menambah persoalan dan beban stres perempuan.
Merugikan
Apakah
ketika jam kerja perempuan dikurangi akan menjadi lebih banyak waktu dan
tidak stres mengurus anak-anaknya? Tentu tidak. Pengurangan jam kerja justru
merugikan perempuan.
Jam
kerja dikurangi tetapi beban pekerjaan, jumlah pekerjaan, dan tanggung
jawabnya tidak dikurangi. Bukankah ini akan menimbulkan permasalahan baru?
Perempuan
menjadi lebih stres, karena harus segera menyelesaikan pekerjaannya yang
tetap seperti biasa, akan tetapi jamnya dipersempit. Jika perempuan stres,
bisakah merawat dan mengasuh anak dengan baik? Nah, sepertinya tujuan
pengurangan jam kerja di sini tidak tepat.
Persoalan
lain, pengurangan jam kerja untuk perempuan juga berdampak pada berkurangnya
pendapatan dan upah mereka. Bukankah untuk bidang pekerjaan tertentu diupah
berdasarkan jam kerjanya? Kenyataannya, justru banyak perempuan memilih
lembur agar mendapat upah lebih banyak daripada dikurangi jam kerja. Belum
lagi persoalan, jam berangkat dan pulang kerja yang harus bersama suami
menggunakan kendaraan sendiri demi kepraktisan dan ”pengiritan ongkos”.
Bukankah ini akan menimbulkan persoalan baru?
Mengapa
pemerintah tidak memikirkan kebutuhan-kebutuhan ”atas nama generasi emas”
yang lebih nyata, bermanfaat, dan logis? Mengapa bukan justru pemerintah
memfasilitasi tempat-tempat penitipan dan perawatan anak yang berkualitas,
aman, sehat, dan dikelola secara profesional di tempat-tempat kerja. Mengapa
tidak memfasilitasi sarana dan prasarana tempat menyusui atau menyimpan air
susu ibu (ASI) yang sehat dan aman sampai di rumah lengkap dengan
peralatannya?
Fasilitas-fasilitas
itu justru akan membuat perempuan bekerja merasa ”nyaman, tenang, bahagia”,
sehingga bisa sepenuh hati membawa anaknya bekerja.
Perempuan
akan ”tidak merasa bersalah” manakala di sela-sela waktu istirahat bisa
mengantar ASI aman untuk anaknya. Atau suaminya bisa ”menjemput” ASI
tersebut. Lebih bagus lagi di tempat kerja ada fasilitas aman dan tepercaya
mengantar ASI ke rumah. Mengapa bukan kebijakan-kebijakan seperti ini yang
dipikirkan dan mulai difasilitasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar