Rabu, 17 Desember 2014

Menyelesaikan Masalah Tanpa Solusi

                        Menyelesaikan Masalah Tanpa Solusi

Tri Marhaeni Pudji Astuti  ;   Guru Besar Antropologi,
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Unnes
SUARA MERDEKA,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


KETIKA wacana pengurangan jam kerja untuk perempuan diapungkan, apakah para perempuan serta-merta menjadi senang dan merasa terbantu? Pertanyaan ini banyak mengemuka ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan ide pengurangan jam kerja bagi perempuan. Wacana itu, sama seperti kebijakan instan lain yang tidak menyentuh akar masalah, mirip dengan tagline Indonesia Lawak Club: ”Menyelesaikan Masalah Tanpa Solusi”.

Blue-print  di masyarakat tentang sosok perempuan ideal, jawabnya adalah khas stereotipe ideologi familialisme. Yakni, anggapan masyarakat bahwa perempuan yang baik adalah sosok yang nrima, selalu menurut dari merawat anak hingga melayani suami. Sosok perempuan ideal adalah sebagai istri dan ibu yang baik. Identifikasinya, perempuan harus selalu patuh, setia, dan ”siap setiap saat” berada di samping suami dan anak-anaknya, serta mendorong keberhasilan suami.

Rupanya ideologi familialisme inilah yang masih menghegemoni pikiran masyarakat patriarki. Padahal ideologi tersebut sudah tidak dapat dipertahankan sepenuhnya, manakala banyak fenomena perempuan bekerja di luar rumah.
Impilikasinya, perempuan yang bekerja di luar rumah tetap harus ”membawa beban rumah dan anaknya ketika dia bekerja”.

Akibat lebih jauh, perempuan dituntut untuk bisa menjadi ”perempuan sempurna” yang keluarganya bahagia, harmonis, di sisi lain kariernya juga bagus dengan posisi yang bagus. Sementara hal yang sama tidak pernah ”dibebankan” kepada laki-laki. Bahkan ketika ada ketidakharmonisan rumah tangga, perempuanlah yang menjadi “tertuduh” utama karena mereka bekerja di luar rumah, atau menjadi wanita karier.

Demikian pula jika terjadi kenakalan remaja, perempuanlah ”tersangkanya”. Pertanyaannya, apakah mereka yang tidak bekerja di luar rumah dan tidak menjadi perempuan karier, rumah tangganya dijamin harmonis dan anak-anaknya menjadi anak yang baik, pintar, cerdas, dan tidak nakal?

Ideologi familialisme seolah-olah “masih membelenggu” berbagai lapisan masyarakat, termasuk penentu kebijakan. Bukankah mengasuh dan merawat anak dapat dilakukan bersama atau bergantian antara suami dan istri dengan ”kesepakatan dan komitmen”?

Sepanjang masing-masing keluarga mampu ”bersepakat dan berkomitmen” dalam pengasuhan anak, maka tidak ada alasan lagi ”beban” merawat dan mengasuh anak hanya ada di pundak perempuan.

Wacana ideologi familialisme itulah yang akhirnya melahirkan pemikiran pengurangan jam kerja untuk perempuan, agar perempuan mempunyai waktu lebih banyak untuk anak-anak. Apakah betul kebijakan itu tepat dan sesuai dengan apa yang diharapkan? Ternyata jawabannya adalah ”tidak”. Mengapa demikian? Karena justru makin menambah persoalan dan beban stres perempuan.

Merugikan

Apakah ketika jam kerja perempuan dikurangi akan menjadi lebih banyak waktu dan tidak stres mengurus anak-anaknya? Tentu tidak. Pengurangan jam kerja justru merugikan perempuan.

Jam kerja dikurangi tetapi beban pekerjaan, jumlah pekerjaan, dan tanggung jawabnya tidak dikurangi. Bukankah ini akan menimbulkan permasalahan baru?
Perempuan menjadi lebih stres, karena harus segera menyelesaikan pekerjaannya yang tetap seperti biasa, akan tetapi jamnya dipersempit. Jika perempuan stres, bisakah merawat dan mengasuh anak dengan baik? Nah, sepertinya tujuan pengurangan jam kerja di sini tidak tepat.

Persoalan lain, pengurangan jam kerja untuk perempuan juga berdampak pada berkurangnya pendapatan dan upah mereka. Bukankah untuk bidang pekerjaan tertentu diupah berdasarkan jam kerjanya? Kenyataannya, justru banyak perempuan memilih lembur agar mendapat upah lebih banyak daripada dikurangi jam kerja. Belum lagi persoalan, jam berangkat dan pulang kerja yang harus bersama suami menggunakan kendaraan sendiri demi kepraktisan dan ”pengiritan ongkos”. Bukankah ini akan menimbulkan persoalan baru?

Mengapa pemerintah tidak memikirkan kebutuhan-kebutuhan ”atas nama generasi emas” yang lebih nyata, bermanfaat, dan logis? Mengapa bukan justru pemerintah memfasilitasi tempat-tempat penitipan dan perawatan anak yang berkualitas, aman, sehat, dan dikelola secara profesional di tempat-tempat kerja. Mengapa tidak memfasilitasi sarana dan prasarana tempat menyusui atau menyimpan air susu ibu (ASI) yang sehat dan aman sampai di rumah lengkap dengan peralatannya?

Fasilitas-fasilitas itu justru akan membuat perempuan bekerja merasa ”nyaman, tenang, bahagia”, sehingga bisa sepenuh hati membawa anaknya bekerja.
Perempuan akan ”tidak merasa bersalah” manakala di sela-sela waktu istirahat bisa mengantar ASI aman untuk anaknya. Atau suaminya bisa ”menjemput” ASI tersebut. Lebih bagus lagi di tempat kerja ada fasilitas aman dan tepercaya mengantar ASI ke rumah. Mengapa bukan kebijakan-kebijakan seperti ini yang dipikirkan dan mulai difasilitasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar