Kepemimpinan
Melek Bencana
Ribut Lupiyanto ; Alumnus
Universitas Gadjah Mada,
Sukarelawan erupsi Merapi tahun 2010
|
SUARA
MERDEKA, 16 Desember 2014
INDONESIA
sangat akrab dengan kehadiran bencana, bahkan ada yang menyebut negeri
bencana. Bencana dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu bencana alamiah dan
bencana antropogenik. Bencana alamiah murni kehendak Tuhan, seperti gempa,
tsunami, erupsi gunung, dan sebagainya. Adapun bencana antropogenik lebih
dipicu oleh kecerobohan sekelompok manusia, seperti banjir, kekeringan, tanah
longsor, dan sebagainya. Risiko bencana alamiah bisa dikurangi, sedangkan
bencana antrogenik dapat dicegah.
Hari-hari
ini duka mendalam dirasakan saudara kita di Dusun Jemblung, Desa Sampang,
Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara. Tanah longsor pada Jumat (12/12) sekitar
pukul 17.30 menimbun sedikitnya 150 rumah warga yang berpenduduk sekitar 300
jiwa lebih (SM, 13/12/14). Pada hari yang sama tanah longsor terjadi di
Kabupaten Wonosobo dengan korban meninggal satu orang. Kejadian ini mestinya
mengetuk mata hati para pemimpin supaya lebih peka dan melek terhadap
bencana. Kebijakan pembangunan berbasis kebencanaan penting dijadikan salah
satu pilar visioner mengelola bangsa dan wilayah.
Indonesia
kaya sumber daya alam dan lingkungan, sebagai modal pembangunan menuju
kemajuan. Sayang, kelestarian
lingkungan hidup (ekologi) negeri ini sudah mengkhawatirkan. Kualitas
lingkungan di Indonesia tahun 2013 ”hanya” menduduki peringkat ke-112 dari
178 negara berdasarkan data Yale University (KLH; 2014). Bencana antropogenik
terjadi tanpa jeda akibat rusaknya kondisi ekologi.
Kelestarian
lingkungan terancam dan bencana menghantui akibat malpraktik pembangunan.
Pembangunan yang inkonsisten terhadap tata ruang dan tidak ramah lingkungan
telah menimbulkan degradasi lingkungan dan kerawanan bencana. Kemelemahan
penegakan hukum perlu diinvestigasi jangan-jangan karena kuatnya
”perselingkuhan”.
Segi
tiga perselingkuhan yang paling mungkin dan jadi rahasia umum selalu
melibatkan pengusaha, penegak hukum, dan pemimpin.
Karena
itu, pemimpin mesti melek dan memiliki komitmen ekologi politik. Peta politik
lokal kaitannya dengan sumber daya ekonomi patut dicermati. Pendekatan lokal
penting dilakukan secara sistematis. Jika berhadapan dengan pengusaha maka
tidak bisa tidak harus menunjukkan ketegasan sikap.
Iklim
investasi perlu dirawat namun jangan sampai mengorbankan ekologi, rakyat, dan
masa depan bangsa. Ekologi politik merupakan kata kunci mengantisipasi
bencana, khususnya antropogenik di kemudian hari.
Pembangunan
berkelanjutan mesti terjamin dengan ditandai keminiman kejadian bencana
dengan segala dampak dan korbannya. Kualitas lingkungan merupakan kunci utama
mewujudkannya. Realitasnya, kualitas lingkungan negeri ini masih di bawah
standar. Berbagai pihak penting melakukan upaya ekstra dan sistematis
menapaki peta jalan pembangunan yang melek kebencanaan.
Pemetaan Risiko
Pertama;
penting memetakan daerah rawan bencana. Pemetaan ini untuk semua jenis risiko
bencana yang rawan terjadi dan dilakukan review secara periodik. Peta
kerawanan disebarkan dan diinformasikan kepada masyarakat, khususnya di
wilayah rawan bencana.
Kedua;
mengaplikasikan penataan ruang berbasis kerawanan bencana. Tata ruang selama
ini memberikan dilema bagi lingkungan. Sejak penyusunan rencana, dari RTRW
nasional hingga RDTR kawasan dan zonasinya, mesti mendasarkan salah satu
analisisnya pada peta kerawanan bencana. Pemanfaatan ruang wajib mematuhi rencana
dan dinamika kerawanan bencana.
Ketiga;
menyusun rencana mitigasi bencana daerah, minimal untuk 5 tahun, dan BPBD
dapat mengambil peran sebagai sektor utama. Tiap jenis bencana yang rawan
terjadi di suatu daerah mesti disusun rencana mitigasinya. Mitigasi ini mulai
identifikasi, antisipasi, evakuasi, hingga tanggap darurat. Rencana mitigasi
berwujud peta tematik ataupun susunan program dengan tahapan, pelaku, dan
rencana anggarannya.
Keempat;
pembangunan infrastruktur juga harus ramah lingkungan. Tutupan lahan hijau
penting dioptimalkan di tengah kemasifan pembangunan. Pewajiban RTH seluas 30
persen di perkotaan mesti diprioritaskan. Inftrastruktur penting memiliki
konsep ramah lingkungan. Selama ini infrastruktur bisa memicu bencana maka ke
depan harus dibalik sebagai salah satu solusi bencana. Misalnya membangun
jalan atau drainase dilengkapi dengan sumur resapan air hujan di tepinya.
Kelima; mendidik masyarakat supaya sadar bencana. Hasil survei Program
Climate Asia (2013) mengungkapkan bahwa informasi perubahan iklim masih
kurang di kalangan masyarakat Indonesia. Hanya 19 persen masyarakat
mendengarkan prakiraan cuaca dan 11 persen memiliki persiapan bencana. Semua
ini membutuhkan kepemimpinan yang tanggap dan melek bencana dan lingkungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar