Rabu, 17 Desember 2014

Kepemimpinan Melek Bencana

                                 Kepemimpinan Melek Bencana

Ribut Lupiyanto  ;   Alumnus Universitas Gadjah Mada,
Sukarelawan erupsi Merapi tahun 2010
SUARA MERDEKA,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


INDONESIA sangat akrab dengan kehadiran bencana, bahkan ada yang menyebut negeri bencana. Bencana dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu bencana alamiah dan bencana antropogenik. Bencana alamiah murni kehendak Tuhan, seperti gempa, tsunami, erupsi gunung, dan sebagainya. Adapun bencana antropogenik lebih dipicu oleh kecerobohan sekelompok manusia, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan sebagainya. Risiko bencana alamiah bisa dikurangi, sedangkan bencana antrogenik dapat dicegah.

Hari-hari ini duka mendalam dirasakan saudara kita di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara. Tanah longsor pada Jumat (12/12) sekitar pukul 17.30 menimbun sedikitnya 150 rumah warga yang berpenduduk sekitar 300 jiwa lebih (SM, 13/12/14). Pada hari yang sama tanah longsor terjadi di Kabupaten Wonosobo dengan korban meninggal satu orang. Kejadian ini mestinya mengetuk mata hati para pemimpin supaya lebih peka dan melek terhadap bencana. Kebijakan pembangunan berbasis kebencanaan penting dijadikan salah satu pilar visioner mengelola bangsa dan wilayah.

Indonesia kaya sumber daya alam dan lingkungan, sebagai modal pembangunan menuju kemajuan. Sayang, kelestarian  lingkungan hidup (ekologi) negeri ini sudah mengkhawatirkan. Kualitas lingkungan di Indonesia tahun 2013 ”hanya” menduduki peringkat ke-112 dari 178 negara berdasarkan data Yale University (KLH; 2014). Bencana antropogenik terjadi tanpa jeda akibat rusaknya kondisi ekologi.

Kelestarian lingkungan terancam dan bencana menghantui akibat malpraktik pembangunan. Pembangunan yang inkonsisten terhadap tata ruang dan tidak ramah lingkungan telah menimbulkan degradasi lingkungan dan kerawanan bencana. Kemelemahan penegakan hukum perlu diinvestigasi jangan-jangan karena kuatnya ”perselingkuhan”.

Segi tiga perselingkuhan yang paling mungkin dan jadi rahasia umum selalu melibatkan pengusaha, penegak hukum, dan pemimpin.

Karena itu, pemimpin mesti melek dan memiliki komitmen ekologi politik. Peta politik lokal kaitannya dengan sumber daya ekonomi patut dicermati. Pendekatan lokal penting dilakukan secara sistematis. Jika berhadapan dengan pengusaha maka tidak bisa tidak harus menunjukkan ketegasan sikap.

Iklim investasi perlu dirawat namun jangan sampai mengorbankan ekologi, rakyat, dan masa depan bangsa. Ekologi politik merupakan kata kunci mengantisipasi bencana, khususnya antropogenik di kemudian hari.

Pembangunan berkelanjutan mesti terjamin dengan ditandai keminiman kejadian bencana dengan segala dampak dan korbannya. Kualitas lingkungan merupakan kunci utama mewujudkannya. Realitasnya, kualitas lingkungan negeri ini masih di bawah standar. Berbagai pihak penting melakukan upaya ekstra dan sistematis menapaki peta jalan pembangunan yang melek kebencanaan.

Pemetaan Risiko

Pertama; penting memetakan daerah rawan bencana. Pemetaan ini untuk semua jenis risiko bencana yang rawan terjadi dan dilakukan review secara periodik. Peta kerawanan disebarkan dan diinformasikan kepada masyarakat, khususnya di wilayah rawan bencana.

Kedua; mengaplikasikan penataan ruang berbasis kerawanan bencana. Tata ruang selama ini memberikan dilema bagi lingkungan. Sejak penyusunan rencana, dari RTRW nasional hingga RDTR kawasan dan zonasinya, mesti mendasarkan salah satu analisisnya pada peta kerawanan bencana. Pemanfaatan ruang wajib mematuhi rencana dan dinamika kerawanan bencana.

Ketiga; menyusun rencana mitigasi bencana daerah, minimal untuk 5 tahun, dan BPBD dapat mengambil peran sebagai sektor utama. Tiap jenis bencana yang rawan terjadi di suatu daerah mesti disusun rencana mitigasinya. Mitigasi ini mulai identifikasi, antisipasi, evakuasi, hingga tanggap darurat. Rencana mitigasi berwujud peta tematik ataupun susunan program dengan tahapan, pelaku, dan rencana anggarannya.

Keempat; pembangunan infrastruktur juga harus ramah lingkungan. Tutupan lahan hijau penting dioptimalkan di tengah kemasifan pembangunan. Pewajiban RTH seluas 30 persen di perkotaan mesti diprioritaskan. Inftrastruktur penting memiliki konsep ramah lingkungan. Selama ini infrastruktur bisa memicu bencana maka ke depan harus dibalik sebagai salah satu solusi bencana. Misalnya membangun jalan atau drainase dilengkapi dengan sumur resapan air hujan di tepinya.

Kelima; mendidik masyarakat supaya sadar bencana. Hasil survei Program Climate Asia (2013) mengungkapkan bahwa informasi perubahan iklim masih kurang di kalangan masyarakat Indonesia. Hanya 19 persen masyarakat mendengarkan prakiraan cuaca dan 11 persen memiliki persiapan bencana. Semua ini membutuhkan kepemimpinan yang tanggap dan melek bencana dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar