PTS
dan MEA 2015
A Ilyas Ismail ; Dosen
UIN Syarif Hidayatullah/Dekan FAI UIA Jakarta
|
REPUBLIKA,
15 Desember 2014
Sejak
tahun 2008, ASEAN telah menjadi organisasi regional yang membentuk legal
personality dengan motonya yang terkenal: "One
vision, one identity, one caring and sharing." Masyarakat Ekonomi
ASEAN (popular dengan sebutan MEA) sebagai pasar tunggal (single market) yang akan segera
berlaku Desember tahun depan, tak hanya berdampak pada sektor ekonomi dan
bisnis (perdagangan), tetapi sekaligus memberi pengaruh besar terhadap sektor
pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Beberapa
prinsip yang ingin dicapai dalam MEA 2015, antara lain, adalah aliran barang
dan jasa secara bebas, investasi, serta tenaga kerja profesional dan terdidik
(free flow of professional and skilled
labors). Semua ini tentu berkaitan secara langsung maupun tak langsung
dengan dunia pendidikan tinggi.
Dengan
MEA 2015, perguruan tinggi kita tak hanya bersaing secara nasional, tetapi
harus berkompetisi secara regional dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi
lain di kawasan Asia Tenggara, yang pada saat ini harus diakui lebih unggul,
baik dalam permodalan, SDM, riset, publikasi ilmiah, serta penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sekarang
mari kita tengok keberadaan dan kesiapan perguruan tinggi kita, khususnya
perguruan tinggi swasta (PTS). Dalam direktori Asosiasi Pengelola Perguruan
Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), disebutkan data terakhir tahun 2014 bahwa
jumlah perguruan tinggi (PT) sudah mencapai 3.485 buah, dengan perguruan
tinggi negeri (PTN) berjumlah 100 buah (3 persen) yang menampung sekitar 35
persen atau 1.541.261 mahasiswa, dan sebanyak 3.385 atau 97 persen merupakan
perguruan tinggi swasta (PTS) dengan mahasiswa yang ditampung sebanyak
2.825.466 orang atau sekitar 65 persen.
Dari
jumlah 3.385 PTS tersebut kondisinya sangatlah beragam, mulai dari PTS besar
dan kuat hingga PTS yang masih kecil dan memprihatinkan (lemah). Berdasarkan
data dari Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP
PTSI), dalam satu kopertis dengan sekitar 340 PTS, ternyata hanya 20,83
persen sehat murni, 2,38 sehat, dan 4,17 persen hampir sehat, dan 64,88
persen belum sehat alias sakit.
Dengan
kondisi semacam ini, apakah PTS dapat bersaing dan bertanding di era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)? Adakah MEA bakal menjadi laknat (ancaman)
atau sebaliknya menjadi berkah (peluang) yang menguntungkan bagi PTS?
Jawabannya
relatif beragam. Banyak pihak merasa pesimistis dan merasa belum siap
menghadapi MEA 2015. Eddy Suandi Hamid, ketua APTISI, menyadari betul
kelemahan-kelemahan PTS, dan menyarankan agar PTS melakukan akselerasi penguatan,
baik kualitas maupun kuantitas, melalui penguatan SDM, governance, jaminan mutu (quality
assurance), dan program akreditasi nasional dan internasional.
Pendapat
senada dikemukakan oleh Profesor Thomas Suyatno, ketua ABP PTSI, yang
menyinyalir bahwa separuh lebih PTS (64,88
persen) dalam keadaan tidak sehat alias sakit. Ia mengusulkan agar
dilakukan langkah-langkah strategis dan sistematis untuk menyehatkan PTS
menghadapi MEA 2015. Sebab, kalau tidak, dipastikan banyak PTS yang gulung
tikar.
Menghadapi
MEA 2015 dan persaingan global, PTS memang harus disehatkan. Secara umum,
hemat penulis, ada dua caranya.
Pertama,
politik pendidikan dari pemerintah mesti jelas. Artinya, ada pemihakan yang
nyata dari pemerintah untuk memajukan PTS. Selama ini fokus pemerintah hanya
pada PTN. Di luar soal regulasi, perhatian pemerintah pada PTS boleh dibilang
sangat kurang, bahkan PTS hanya dilihat dengan sebelah mata. Sikap demikian
dinilai kurang adil, bahkan diskriminatif, serta kurang sesuai dengan
semangat dan amanat konstitusi, Pasal 31 UUD '45.
Kedua,
selain soal politik pendidikan, PTS mesti bersikap kreatif dan inovatif untuk
mendapatkan nilai tambah (added value).
Kishore Mahbubani, dekan dari Lee Kuan
Yew School of Public Policy, asal Singapura, berulang kali mengutarakan
hal ini. Menurut penulis buku Can
Asians Think ini, "Agar tidak
terus mengekor Barat, universitas di Asia harus berani berkreasi dan giat
melakukan inovasi."
Inovasi
dalam rangka penyehatan PTS, seperti direkomendasikan Daniel Rodas (Resource Allocation in Private University:
2014), bisa dilakukan terkait empat hal seperti berikut.
Pertama,
dalam capacity building, PTS
disarankan membuat lebih banyak program undergraduate, yakni program
nonakademik semacam program vokasi. Program ini dinilai memberikan manfaat
yang besar bagi PTS dan masyarakat.
Kedua,
dalam bidang riset, selain riset dasar untuk pengembangan teori dan keilmuan
(pure research), PTS diminta
melakukan riset terapan (applied
research) dengan pendekatan interdisipliner dan high societal relevance. Dalam pelaksanaannya, PTS bisa
menggandeng pemerintah dan dunia usaha (industri), sehingga lebih produktif dan sinergetik. Di
sini, riset dipandang sebagai value enhancement, dengan prinsip more value
and less cost, dan bukan sebaliknya seperti dalam paradigma lama, low value and high cost.
Ketiga,
PTS hendaklah menjadikan local region sebagai laboratorium sosial yang bisa
dimanfaatkan untuk keperluan praktik pembelajaran, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Pendekatan ini akan mendorong lahirnya pengembangkan ilmu
yang bersifat scientific indigenous
base seperti sudah dilakukan di banyak negara. Cara ini akan mengangkat
local wisdom kita menjadi global wisdom.
Keempat,
internasionalisasi pendidikan tinggi. PTS diminta melakukan koneksi dan kerja
sama internasional dengan berbagai lembaga luar negeri, baik universitas,
NGO, komunitas, alumni, dan lain-lain. Program ini menjadi mudah karena pada
masa kita sekarang setiap orang sebagai pribadi maupun institusi pasti merasa
perlu menginternasionalisasikan dirinya masing-masing.
Inilah
beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyehatkan PTS. Di luar itu, PTS
memang diminta lebih cekatan dalam pengembangan ilmu dan merespons
persoalan-persoalan sosial budaya dengan menerapkan prinsip putting theories into practice dan
prinsip seeing result. Dengan
demikian, PTS tidak hanya menjadi rumah produksi ilmu pengetahuan, tetapi
juga menjadi pusat pengembangan ekonomi kreatif (knowledge based economy) dan pengembangan masyarakat madani (civilized society).
Namun,
untuk bisa melakukan semua itu, PTS harus menggenjot penguatan SDM yang
dimiliki. Ini harus menjadi agenda prioritas utama semua PTS. Sebab, research capacity atau unggul dalam
riset (excellence in research) yang
dipakai sebagai dasar penetapan peringkat versi Shanghai Ranking, semuanya
kembali dan berujung pada kualitas SDM, khususnya tenaga dosen dan mahasiswa.
Sampai
saat ini, problem terbesar PTS, hemat penulis, terletak pada penyediaan dosen
yang berkualitas. Persyaratan minimal enam orang dosen berpendidikan S-2
untuk setiap prodi, belum semua PTS bisa memenuhinya. Setelah diberlakukan
PDPT, diketahui banyak dosen PTS di daerah-daerah yang merangkap sebagai guru
atau PNS yang "nyambi" sebagai dosen dengan kualifikasi dan
kualitas akademik ala kadarnya.
Tentu,
ini merupakan persoalan serius yang tidak boleh diserahkan hanya kepada PTS,
APTISI, atau ABP PTSI. Pemerintah harus juga ikut bertanggung jawab. Dengan
anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN, pemerintah bisa memberikan
dukungan lebih besar untuk keberdayaan PTS. Rencana pemerintah menegerikan
PTS unggul, menurut saya, justru kontraproduktif dan mereduksi peranan pemerintah.
Hal yang
bisa dilakukan pemerintah dalam waktu dekat, menurut saya, adalah memberikan
bantuan beasiswa unggulan secara lebih besar bagi dosen-dosen PTS untuk
program studi lanjut S-2 dan S-3 di dalam dan luar negeri. Program lain
adalah memperbanyak bantuan dosen PNS (dikenal dengan dosen DPK) kepada PTS.
Lalu, program yang lain lagi adalah memberikan dukungan pendanaan lebih besar
untuk memperkuat sarana dan prasarana PTS, seperti yang selama ini diberikan
pemerintah kepada PTN.
Dengan
politik pendidikan yang lebih jelas dari pemerintah, ditambah inovasi dan
kreativitas yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan dari PTS sendiri, penulis
merasa optimistis, PTS akan lebih siap menghadapi MEA 2015. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar