Mencari
Peradilan Pilkada
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 13 Desember 2014
Melalui
akun Twitter, banyak yang menanyakan pandangan saya tentang pendapat Prof
Yusril Ihza Mahendra (YIM) mengenai dilema hukum setelah dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2014 yang
mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.
Awal
pekan ini YIM menyatakan, baik diterima maupun ditolak oleh DPR, perppu yang
mengatur pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung itu
menimbulkan masalah hukum. Kalau DPR menolak perppu itu, akan terjadi
kekosongan hukum karena perppu tersebut telah secara sah menyatakan tidak
berlaku (dalam bahasa umum: mencabut) UU No 22 Tahun 2014 yang mengatur
pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Tapi
jika Perppu diterima oleh DPR, berarti tidak sejalan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang melalui putusan No 97/PUU-XI/2013 tanggal 19 Mei 2014,
MK menolak kewenangan mengadili sengketa pilkada secara langsung. Bagi YIM
putusan MK memberi arti bahwa pilkada secara langsung adalah
inkonstitusional. Alasannya, MK yang berwenang mengadili sengketa pemilu
menganggap pilkada langsung bukan pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal
22E ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945.
Saya
sependapat dengan YIM dalam satu hal, tetapi berbeda pendapat dalam satu hal
lainnya. Saya sependapat, jika perppu ditolak dapat menimbulkan kekosongan
hukum karena UU No 22 Tahun 2014 telah dicabut oleh perppu tersebut. Perppu
itu sah sampai dinyatakan batal oleh MK atau ditolak oleh DPR sehingga
pencabutannya atas UU No 22 Tahun 2014 adalah sah pula.
Kalau
ternyata perppu itu kelak ditolak DPR, pencabutannya atas UU No 22 Tahun 2014
sudah selesai dan UU tersebut tidak bisa dihidupkan lagi. Akan lain halnya jika perppu tersebut ”dinyatakan
batal” oleh MK sebelum UU itu diterima atau ditolak oleh DPR. Jika itu yang
terjadi, UU yang dicabut perppu tersebut bisa dihidupkan kembali asal dalam
vonisnya MK menyatakan batal dan bukan membatalkan.
Di dalam
hukum, vonis yang menyatakan batal itu berlaku surut (ex tunc) sehingga dianggap tidak pernah ada dengan segala akibat
hukumnya. Tapi kalau vonis menyatakan membatalkan perppu itu, maka ia berlaku
prospektif (ex nunc) dalam arti
tidak berlaku sesudah ada vonis tersebut, sedangkan akibat hukum yang telah
ditimbulkannya itu termasuk pencabutan UU.
Tapi saya berbeda dengan YIM yang menyatakan kalau perppu diterima oleh
DPR bisa menimbulkan masalah hukum karena tidak sesuai dengan putusan MK No
97/PUU-XI/ 2013 yang berisi penolakan MK atas kewenangan untuk mengadili
sengketa pilkada. Menurut YIM, vonis MK itu bisa diartikan bahwa
pilkada langsung bukanlah pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat
(2) UUD 1945 sehingga inkonstitusional dan tidak ada lembaga peradilan yang
bisa mengadili sengketanya.
Beberapa
hari sebelum pengesahan RUU Pilkada tanggal 26 September 2014 dini hari di
DPR YIM, seperti ditayangkan TV One , juga mengatakan bahwa pilkada secara
langsung itu tidak sesuai dengan konstitusi. Dasarnya, Pasal 22E ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan ”pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Karena
di dalam pasal tersebut tidak disebutkan pemilihan kepala daerah sebagi
pemilu dan MK menolak kewenangan mengadili sengketa pilkada, menurut YIM
pilkada secara langsung itu inkonstitusional. Dalam soal itulah ”saya tidak
sependapat” dengan YIM. Menurut saya, tanpa harus
dikaitkan dengan kewenangan MK untuk mengadili sengketa pilkada, pemilihan
kepala daerah secara langsung adalah konstitusional, sama konstitusionalnya
dengan pilkada melalui DPRD.
MK sendiri dalam beberapa
putusannya, misalnya Putusan No 72 dan 73/ PUU-II/ 2004 dan Putusan No
97/PUU-XI/2013, sudah menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah secara
langsung maupun tidak langsung adalah konstitusional. Ia
merupakan opened legal policy
(pilihan kebijakan hukum yang terbuka) yang berarti sama-sama demokratis
sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI
1945 bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kola dilakukan secara
demokratis.
Adapun fakta bahwa
MK menolak kewenangan mengadili sengketa pilkada langsung bukan berarti
pilkada langsung itu inkonstitusional. MK hanya sebatas menyatakan lembaga
peradilan yang berkompeten menangani sengketa pilkada langsung bukanlah MK
sehingga harus diatur dan ditentukan secara terpisah oleh pembentuk
undang-undang.
Itu pula sebabnya MK sendiri
menyatakan, sebelum pembentuk undang-undang menentukan lembaga peradilan yang
berwenang mengadili sengketa pilkada, MK sendiri masih akan terus
menanganinya. Jadi MK pun tetap pada pendirian bahwa pilkada
langsung atau tidak langsung adalah konstitusional. Tak ada pernyataan dalam
putusan MK tersebut yang mengubah pendirian MK bahwa pemilihan kepala daerah
secara langsung atau tidak langsung adalah inkonstitusional.
Dengan demikian menurut pendapat saya pilkada (langsung oleh rakyat)
adalah konstitusional. Soal lembaga yang harus mengadili sengketa yang timbul
darinya bisa diatur dengan atau di dalam undang-undang. Toh, dalam faktanya
banyak kewenangan lembaga peradilan yang tidak diatur langsung di dalam
konstitusi, melainkan cukup diatur dengan atau di dalam undang-undang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar