Sapu
Jagat Masyarakat
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Desember 2014
APAKAH alam mengajarkan
solidaritas? Apakah dia menuntut etika? Pertanyaan itu sering mengusik
perasaan, lebih-lebih bila kita melihat ketimpangan yang keterlaluan.
Anak-anak di bawah umur berpakaian compang-camping, bermain di tepi jalan
raya; tak acuh akan keramaian lalu lintas yang bisa membahayakan jiwa mereka.
Ke mana orangtua mereka? Siapa mereka?
Pemandangan seperti itu sering
kita jumpai. Tanpa aba-aba, anak-anak itu datang dan pergi, entah dari mana.
Mereka menemukan sepintas kegembiraan, lalu lari pergi. Orang-orang di
sekitarnya, seperti tidak ada yang peduli. Bagaimana aturan masyarakat kita? Kapan
waktu anak-anak itu belajar, istirahat, sekolah, bermain bersama saudara atau
teman?
Pikiran seperti itu melintas di
pikiran ketika kami menyaksikan acara `Kick Andy' tentang seorang ibu yang
awalnya mengurus puluhan anak yatim piatu atas prakarsa pribadi. Setelah
dicermati, kisah itu menakjubkan karena telah berkembang dari yang semula
tiada menjadi yayasan abadi bernama Hati Suci. Konon sekarang yayasan itu
mengasuh lebih dari 300 siswa, dari tingkat TK sampai dengan SMA. Siapa ibu
itu?
Tersebutlah satu abad yang lalu
seorang ibu bernama Ny. Lie Tjian Tjoen yang berprakarsa mendirikan
Perkumpulan Ati Soetji untuk menolong anak perempuan, anak yatim piatu, dan
anak telantar. Saat ini, yayasan yang bernama Hati Suci masih berdiri,
mengupayakan beasiswa bagi anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung.
Perkumpulan Ati Soetji bermula
dari ditemukannya bayi di dekat rumah Ny. Lie; dan bukan hanya satu kali,
melainkan juga berulang kali, beralih-alih tempat, yakni dari bawah pohon
cemara, di dekat pot bunga, hingga di depan rumahnya. Bahkan, ada yang
diberikan langsung oleh ibunya (yang menutup wajahnya dengan cadar). Sejak
itu, bukan peristiwa yang dianggap mengejutkan lagi ketika ada bayi-bayi baru
lahir tergeletak di sekitar tempat tinggal Ny. Lie. Bayibayi itu kemudian
dibawa ke Panti Asuhan Hati Suci yang didirikan sendiri oleh Ny. Lie pada
1914.
Kisah yang dapat kita pelajari
atau pertanyakan, bagaimana politik mengatur situasi masyarakat supaya jangan
terjadi ketimpangan kesejahteraan berlebihan sehingga mengganggu nurani
kemanusiaan? Bagaimana menyiasatinya? Dalam hal itu, khususnya yang langsung
berkaitan dengan anak-anak dari kalangan tidak mampu, lebih-lebih dari
kalangan yang boleh dikatakan tidak berkeluarga? Bagaimana perwakilan rakyat
kita menangani kasus-kasus macam itu? Halo DPR?
Dapat dipastikan tontonan Kick Andy itu menggerakkan nurani
banyak orang. Menemukan sistem atau jalan ke luar untuk mengatasi persoalan
seperti itu rasanya jauh lebih bermartabat daripada menyaksikan `keroyokan'
siapa yang menang atau siapa yang kalah dalam persoalan kasus perebutan
posisi antarpartai untuk persoalanpersoalan atau kasus-kasus tertentu.
Lebih-lebih bila menerawang ke depan, apa yang terjadi pada anak-anak kecil
telantar itu dalam satu hingga tiga dasawarsa dari sekarang? Bukankah mereka
juga yang nantinya menentukan bagaimana masa depan republik ini?
Secara
spiritual, ada ramalan boleh percaya, boleh tidak, bahwa sebelum Jokowi
terpilih dia diramalkan sebagai tokoh yang akan mengadakan pembersihan di
masyarakat. Dia dibayangkan, seperti tokoh berjubah yang ada kalanya melepas
jubahnya dan jubah itu berubah menjadi semacam sapu jagat yang akan membersihkan
yang serbakotor di sekitarnya. Pertanyaan kami, apa yang akan dia dan anak
buahnya lakukan bila melihat anak-anak kecil telantar sekarang ini menatap
masa depan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar