Sabtu, 13 Desember 2014

Nasib Penuntasan Kasus Muni

                                Nasib Penuntasan Kasus Munir

Ali Nur Sahid  ;   Penggiat HAM di Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(PUSAD) Paramadina
KORAN SINDO,  13 Desember 2014

                                                                                                                       


Jokowi, dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia di Yogyakarta, menegaskan komitmen akan menyelesaikan kasus HAM masa lalu secara berkeadilan (10/12/14). Tentu ini kabar baik yang harus disambut dengan antusias. Lalu, apa yang akan dilakukan untuk penuntasan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, 2004? Bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia ini, jika masih hidup bersama kita, Munir genap berusia 49 tahun. Selamat ulang tahun Cak Munir.

Sayangnya, kado pahit ulang tahunnya kali ini justru datang dari Kementerian Hukum dan HAM yang membebaskan pembunuh Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto. Padahal, komplotan keji pembunuh aktivis HAM Munir belum seluruhnya diadili. Langkah penyelesaian yang serius dari pemerintah untuk membongkar itu dibutuhkan.

Menyusun puzzle kasus pembunuhan politik atas pejuang HAM ini sepuluh tahun silam memang tidak mudah. Dalam uji publik atas putusan (eksaminasi) yang dibuat Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum), dakwaan lemah menjadi salah satu penyebab pelaku bebas. Motif dan kesimpulan campur aduk sejak disusun jaksa penuntut. Hakim tidak aktif mencari kebenaran.

Sejumlah saksi yang mencabut keterangan tidak dijerat hakim dengan sumpah palsu. Lewat peninjauan kembali yang diajukan Polly, Mahkamah Agung turut mengurangi hukuman empat tahun. Sendi-sendi hukum terlihat lemah mewujudkan keadilan kasus Munir. Kementerian Hukum dan HAM menempatkan terpidana kasus Munir seperti tahanan lain jelaslah keliru.

Perilaku Polly saat di persidangan juga harus dilihat, bukan hanya waktu mendekam di Lapas Sukamiskin. Saat sidang digelardipengadilannegeri, Polly menutup rapat informasi dan tidak mau membuka fakta. Padahal, syarat bersedia bekerja sama seseorang dengan penegak hukum untuk membongkar perkara yang dilakukannya dapat menjadi bahan pertimbangan.

Syarat ketentuan remisi tersebut, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah 99/2012, jelas diabaikan. Sejumlah fakta yang menyeret nama-nama dari Badan Intelijen Negara (BIN) pupus di pengadilan. Rantai komando temuan Tim Pencari Fakta (TPF) 2004 tak bisa menyeret aktor intelektual di balik pembunuhan Munir ke meja hijau. Polly memangkas itu. Penyebabnya adalah jaksa tak bisa menguak fakta penting mengenai garis pertanggungjawaban dalam kasus pembunuhan Munir ini.

Membongkar kasus Munir tak cukup dengan mekanisme penanganan kasus biasa. Prosedur standar formal terbukti tak bisa menangkap pelaku utama di pengadilan beberapa tahun lalu. Mekanisme pengadilan HAM mestinya dapat dijadikan rujukan dalam melihat kejahatan kemanusiaan yang sistematis kejahatan yang pelakunya melibatkan aktor negara dan mengandung penyalahgunaan wewenang.

Gagal memahami kasus Munir adalah kegagalan memahami keadilan. Karena itu, bagaimanapun keadilan harus tetap digali. Pengungkapan motif kasus Munir tak bisa dilepaskan dari konteks kerja-kerja pembelaan HAM yang pernah dilakukan Munir yang sedikit-banyak menyerempet pihak seperti Badan Intelijen Negara, militer, dan polisi. Dobrakan pembelaan dan keberanian Munir untuk kasus penculikan aktivis 97-98 tercatat dengan tegas dan kita bisa melihat itu.

Seperti kerjakerja HAM Munir, kegigihan pemerintah saat ini mengumpulkan bukti dalam mengungkap kasus ini menjadi prasyarat penuntasan kasus Munir. Temuan Tim Pencari Fakta Munir bisa dibuka kembali. Salah satu bukti baru yang bisa ditindaklanjuti kepolisian adalah hasil wawancara jurnalis Allan Nairn yang bertemu Hendropriyono, Oktober lalu. Hendro dengan terang bersedia diadili dan dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Munir.

Komnas HAM yang sudah menerima laporan Allan dapat aktif bertindak. Secepatnya Jokowi dan para menteri, terutama menteri hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung, duduk bersama. Kepedulian politik dan hukum perlu ditunjukkan dengan langkah konkret mengumpulkan sejumlah bukti baru. Sudut pandangnya adalah hukum sebagai sarana yang memberi perlindungan bagi korban, keluarganya, dan masyarakat secara luas. Terwujudnya hukum yang adil dan bermartabat adalah dambaan seluruh rakyat yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo saat kampanye.

 Mengusut kembali pembunuhan keji Munir dengan menghadirkan terdakwa baru dan membongkar otak pembunuhnya adalah keniscayaan bila hendak melangkah lebih maju dalam upaya-upaya penegakan hukum yang lebih luas. Tim Pencari Fakta sudah merekomendasikan namanama yang harus diminta pertanggungjawaban lebih lanjut. Presiden bisa mengumpulkan semua aparatur di bawahnya untuk saling berkoordinasi dan bekerja sama.

Seperti diungkapkan Presiden Jokowi di Yogyakarta kemarin, pemerintah tidak hanya komitmen menyelesaikan kasus, tapi juga mencegah terulangnya kasus dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif. Kita semua menunggu kerja Jokowi untuk hak asasi manusia. Dalam hal ini, menangkap dalang pembunuh Munir tentu menjadi prioritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar