Kontroversi
Khilafah
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 05 Desember 2014
Berdirinya
Negara Islam Irak dan Syria (NIIS) atau Islamic
State of Irak and Syria (ISIS) pada April 2013 telah menimbulkan
kontroversi di kalangan umat Islam sedunia. Ada yang kemudian tertarik dan
bergabung, namun banyak pula yang menentang karena dianggap tidak mewakili
semangat dan karakter Islam sebagai penyebar rahmat bagi semesta. ISIS
dianggap sebagai anak kandung Al-Qaeda yang menebarkan ketakutan dan
terorisme bagi masyarakat dunia.
Kehadirannya
mencoreng cita dan citra Islam yang mengajarkan hidup rukun dan damai. Tidak
tanggung-tanggung, ISIS bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai kekhalifahan
Islam yang berpretensi sebagai pemimpin Islam sedunia. Untuk mengetahui lebih
jauh apa makna dan sejarah kekhalifahan dalam Islam, saya tergerak mengontak
beberapa teman yang secara intelektual memiliki pengetahuan cukup, bahkan
otoritatif, untuk membahas asal-usul pemerintahan politik dalam Islam.
Lalu
dikaitkan, bagaimana mestinya membangun hubungan antara ide kekhalifahan dan
negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Akhirnya terbitlah buku
Kontroversi Khilafah dengan subjudul, Islam,
Negara, dan Pancasila, diterbitkan oleh Mizan (2014) setebal 280 halaman,
menghimpun pemikiran dari 13 penulis. Saya berharap buku ini akan menjadi
bahan pengantar diskusi yang cerdas bagi mereka yang prokhilafah dan yang
antikhilafah pada era sekarang ini.
Bagi
yang tidak setuju, mereka berpandangan bahwa khilafah yang pernah hidup pada
abad lampau itu tak lagi relevan pada zaman modern. Hanya empat kekhalifahan
sepeninggal Rasulullah yang masih teguh memegang nilai-nilai agama. Saat itu
pun, yaitu pada masa dua khalifah terakhir, terjadi perang saudara sesama
muslim karena dipicu persaingan ideologi dinastiisme.
Kemunculan
Mazhab Sunni dan Syiah pun tak luput dari pengaruh persaingan perebutan
kekuasaan politik yang melibatkan pembenaran keagamaan pasca-Rasulullah.
Dengan kata lain, berbagai mazhab keagamaan yang sekarang bertikai semua itu
produk sejarah pasca- Rasulullah.
Jadi
sesungguhnya umat Islam Indonesia tidak memiliki agenda mempertahankan
kekhalifahan atau kesultanan mengingat para sultan di Indonesia justru
melebur menjadi sponsor dan pejuang bagi lahir dan tegaknya negara Republik
Indonesia. Dalam berbagai seminar internasional seringkali muncul pujian pada
Indonesia, jumlah umat Islamnya yang jauh lebih besar dari dunia Arab bisa
bersatu dalam rumah bangsa dan negara Indonesia.
Sementara
di Arab, mereka terbagi lebih dari 20 negara di bawah kekuasaan
sultanisme-dinastiisme. Di Timur Tengah, kesamaan bahasa, agama, dan daratan
tidak berarti menjadi ikatan kesatuan negara dan bangsa. Dalam kaitan ini,
menjadi logis jika negara Israel semakin berjaya meski Palestina
teriak-teriak minta tolong akibat agresi Israel mengingat sesama negara Arab
juga saling bertikai.
Idealnya,
jika berdiri khalifah Islam sebagai pusat pemerintahan Islam sedunia, betapa
besar dan hebatnya dunia Islam. Tetapi, rasanya, itu sebuah utopia belaka.
Jangankan sedunia, di dunia Arab tempat lahir Islam saja mereka bertikai.
Benarkah ada doktrin sistem pemerintahan Islam tunggal dalam ajaran Islam?
Para
intelektual dan ulama mengatakan tidak ada, sebagaimana dikutip dalam buku
Kontroversi Khilafah. Salah satu keputusan Munas NU pada 1-2 November 2014
menyatakan, Islam tidak menentukan apalagi mewa-jibkan suatu bentuk negara
dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya.
Umat
diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan
sesuai tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat (hal.149). Prof Ahmad Syafii
Maarif, mantan ketua Muhammadiyah, menulis testimoni untuk buku ini: Sebutan negara Islam untuk Indonesia yang
plural tidak lagi diperlukan. Yang terpenting, moral Islam dapat menyinari
masyarakat luas melalui perkawinan perangkat hukum Islam dengan sistem hukum
nasional melalui proses demokratisasi.
Demikianlah,
buku ini menyajikan sejarah kelahiran kekhalifahan dalam sejarah Islam dan
berbagai silang pendapat para ulama dan intelektual Islam, terutama mengenai
formula hubungan agama dan negara. Untuk konteks Indonesia, kemunculan
ideologi Pancasila dinilai sebagai ijtihad politik yang jenius dan bijak,
yang menetapkan Indonesia sebagai negara yang bertuhan, sementara rakyatnya
diberi kebebasan memilih agama dan kepercayaannya masing-masing.
Agama
memerlukan perlindungan dan fasilitas negara, di pihak lain negara memerlukan
landasan dan dukungan moral dari agama serta partisipasi umat beragama untuk
memajukan bangsa dan negaranya. Yang masih belum mapan adalah tradisi
membedakan dan menjaga etika pribadi, komunal, dan publik. Ruang publik itu
milik bersama, apa pun etnis dan keyakinan agama seseorang.
Ruang
publik mesti dijaga bersama agar nyaman dan damai untuk dihuni bersama.
Tetapi, seringkali kelompok etnis dan agama menjarah dan mengganggu ruang
publik yang menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk menjaganya.
Jika negara tidak hadir mengamankan, sementara kekuatan komunal etnis
atau agama agresif menjarah ruang publik, ini akan merongrong keindahan dan
eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang plural. Kita jaga keadilan dalam
konteks kebinekaan, namun mesti solid dan kompak menjaga keikaan berbangsa
dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar