Senin, 08 Desember 2014

Perkeruh Hubungan DPR-Pemerintah

                       Perkeruh Hubungan DPR-Pemerintah

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45 Makassar
KORAN SINDO, 05 Desember 2014

                                                                                                                       


Ternyata bukan hanya hubungan internal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memburuk, hubungan DPR dengan pemerintah juga mulai memanas akibat terpicu oleh surat edaran yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Nomor SE-12/Seskab/ XI/2014 (24/11/2014).

Substansi surat edaran itu menginstruksikan kepada para menteri, panglima TNI, kapolri, kepala staf angkatan, kepala BIN, dan jaksa agung agar tidak mengikuti undangan rapat dengar pendapat( RDP) atau undangan lainnya dari DPR. Surat edaran itu tentu saja mengagetkan, sebab menengok sejarah perjalanan pemerintahan Indonesia, baru kali ini presiden menginstruksikan menterinya secara terbuka tidak boleh rapat dengan DPR.

Alasan yang mengemuka dari surat edaran itu karena menteri Kabinet Kerja baru satu bulan bekerja sehingga presiden menganggap belum ada hal penting yang perlu dirapatkan dengan DPR. Alasan lainnya, karena urusan atau konflik internal di DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung pemerintahan Jokowi- JK belum secara tuntas selesai.

Apabila ada keinginan DPR melakukan RDP, konflik internal harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memanggil para menteri Kabinet Kerja. Surat edaran itu mendapat sorotan berbagai kalangan, meski jugabanyakyangmendukungnya. Tetapi yang ingin ditekankan agar parlemen dan pemerintah seharusnya lebih fokus pada pekerjaan dan tantangan berat yang menghadang di depan mata.

Jika pemerintah melibatkan diri pada konflik internal DPR yang sebetulnya juga sudah mulai mencapai kesepakatan, maka rakyatlah yang akan kena imbas negatifnya. Bahkan secara luas, kita akan mengalami ketertinggalan lantaran hanya sibuk memperkeruh perbedaan dan kecurigaan. Pemerintah yang punya ikon “kerja dan kerja” justru bisa terlambat mempersiapkan diri menghadapi kompetisi global yang kian keras.

Pengawasan DPR

Sangat wajar jika ada yang bertanya, bagaimana jika konflik itu tidak cepat selesai, apakah “fungsi pengawasan” DPR juga harus mandek? Berkaca pada hakikat keharmonisan hubungan parlemendenganpemerintahdalam sistem pemerintahan presidensial, setidaknya surat edaran itu dapat mempertajam kisruh internal di parlemen.

Malah, hubungan DPR-pemerintah juga ikut terseret ke dalam konflik, sebab salah satu kubu koalisi yang berkonflik itu merupakan pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Tidak menutup kemungkinan sumber konflik internal di DPR akan sengaja dipelihara, agar rencana sejumlah anggota DPR yang berkehendak melaksanakan hak interpelasinya terhadap penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak terpenuhi dalam waktu dekat.

 Sumber konflik yang bisa dipelihara adalah kesepakatan untuk merevisi sejumlah pasal UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sengaja dikisruhkan. Tujuannya agar presiden menilai konflik internal DPR belum selesai, dan ini terbukti rapat paripurna DPR untuk membahas revisi beberapa pasal UU MD3 yang rencananya pada Rabu (26/11) batal dilaksanakan.

DPR adalah wakil rakyat yang akan melaksanakan fungsinya sesuai mandat yang diberikan rakyat selaku pemilik kedaulatan. Salah satu fungsi DPR dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 adalah melakukan “pengawasan” terhadap pelaksanaan undang-undang dan kebijakan yang dibuat pemerintah.

Jikapun dipandang masa kerja menteri yang baru satu bulan terlalu pendek untuk diawasi atau menyampaikan hasil pekerjaan, seharusnya dilihat secara positif bahwa pengawasan DPR tidak selalu menyudutkan. Boleh jadi dalam RDP akan muncul gagasan dan masukan terhadap kebijakan pemerintah yang akan dilakukan atau sudah dilakukan.

Apa pun alasan konstitusional terhadap surat edaran presiden, tetapi dari satu aspek dapat merusak tatanan fungsi checks and balances yang seharusnya dijaga kedua institusi negara. Sangat disayangkan jika hubungan DPR-pemerintah tidak harmonis hanya karena melihat hubungan internal DPR belum sepenuhnya membaik. Akan lebih ideal sekiranya presiden memperbaiki hubungan buruk dua kubu di DPR yang belakangan ini sudah mencapai kesepakatan.

Jika surat edaran itu tidak segera dicabut presiden, para menteri tidak akan hadir jika diundang DPR untuk RDP. Relasi antara DPR-pemerintah semestinya dipelihara agar semua program kerja Presiden Jokowi yang dijanjikan kepada rakyat bisa dilaksanakan. Bagi DPR, tinggal melakukan pengawasan yang tidak berarti harus menyudutkan pemerintah yang terkesan selalu ditakutkan.

Sekiranya program kementerian yang prorakyat berjalan secara konstitusional, seharusnya tidak perlu khawatir akan dihambat saat RDP. Lebih dari itu, kita juga meminta agar perbedaan pandangan terhadap pembagian pimpinan alat kelengkapan dewan dan kesepakatan untuk merevisi UUD MD3 segera dituntaskan tanpa reserve.

Masih Ada DPR Tandingan?

Satu aspek yang semestinya perlu diluruskan atas sikap Presiden Jokowi yang mempertanyakan “DPR yang mana” yang akan mengundang RDP. Fenomena ini bisa membingungkan rakyat, sebab anggota DPR yang disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum adalah hasil pilihan rakyat dalam pemilu Juli 2014 lalu.

 Menyimak perbedaan pandangan antara kubu KMP dan KIH, kemudian mempertanyakan “DPR yang mana”, bisa ditafsirkan keliru oleh rakyat di akar rumput bahwa sikap KIH yang pernah membentuk DPR tandingan memiliki justifikasi. Mempertanyakan DPR yang jelas konstitusional lantaran dipilih oleh rakyat secara demokratis, setidaknya bisa mengambangkan persepsi rakyat yang selama ini sudah menanti perbaikan kehidupan dan revolusi mental yang pernah dijanjikan.

Konflik internal DPR sangat sulit dirasionalkan sebagai dasar argumen yang kuat oleh pemerintah, meski ada yang menilai konstitusional, untuk tidak menghadiri undangan DPR. Kalau DPR ingin RDP dengan pemerintah sebagai implementasi dari fungsi pengawasan, sebaiknya pemerintah merespons secara positif. Surat edaran untuk tidak menghadiri atau menunda pertemuan dengan DPR sebelum konflik internal selesai, selain memperkeruh konflik intern DPR, juga akan kontraproduktif bagi kesungguhan pemerintah yang ingin “kerja lebih cepat”.

Diskursus perbedaan kepentingan ini harus segera diakhiri, sementara larangan presiden harus dijadikan cambuk bagi DPR untuk bekerja lebih baik. Pertikaian partisan yang disuluti oleh saling curiga tidak boleh diteruskan, harus ada semangat yang sama antara DPR dan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang masih banyak didera kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar