Perkeruh
Hubungan DPR-Pemerintah
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45
Makassar
|
KORAN
SINDO, 05 Desember 2014
Ternyata
bukan hanya hubungan internal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memburuk,
hubungan DPR dengan pemerintah juga mulai memanas akibat terpicu oleh surat
edaran yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Nomor
SE-12/Seskab/ XI/2014 (24/11/2014).
Substansi
surat edaran itu menginstruksikan kepada para menteri, panglima TNI, kapolri,
kepala staf angkatan, kepala BIN, dan jaksa agung agar tidak mengikuti
undangan rapat dengar pendapat( RDP) atau undangan lainnya dari DPR. Surat
edaran itu tentu saja mengagetkan, sebab menengok sejarah perjalanan
pemerintahan Indonesia, baru kali ini presiden menginstruksikan menterinya
secara terbuka tidak boleh rapat dengan DPR.
Alasan
yang mengemuka dari surat edaran itu karena menteri Kabinet Kerja baru satu
bulan bekerja sehingga presiden menganggap belum ada hal penting yang perlu
dirapatkan dengan DPR. Alasan lainnya, karena urusan atau konflik internal di
DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
pendukung pemerintahan Jokowi- JK belum secara tuntas selesai.
Apabila
ada keinginan DPR melakukan RDP, konflik internal harus diselesaikan terlebih
dahulu sebelum memanggil para menteri Kabinet Kerja. Surat edaran itu
mendapat sorotan berbagai kalangan, meski jugabanyakyangmendukungnya. Tetapi
yang ingin ditekankan agar parlemen dan pemerintah seharusnya lebih fokus
pada pekerjaan dan tantangan berat yang menghadang di depan mata.
Jika
pemerintah melibatkan diri pada konflik internal DPR yang sebetulnya juga
sudah mulai mencapai kesepakatan, maka rakyatlah yang akan kena imbas
negatifnya. Bahkan secara luas, kita akan mengalami ketertinggalan lantaran
hanya sibuk memperkeruh perbedaan dan kecurigaan. Pemerintah yang punya ikon
“kerja dan kerja” justru bisa terlambat mempersiapkan diri menghadapi
kompetisi global yang kian keras.
Pengawasan DPR
Sangat
wajar jika ada yang bertanya, bagaimana jika konflik itu tidak cepat selesai,
apakah “fungsi pengawasan” DPR juga harus mandek? Berkaca pada hakikat
keharmonisan hubungan parlemendenganpemerintahdalam sistem pemerintahan presidensial,
setidaknya surat edaran itu dapat mempertajam kisruh internal di parlemen.
Malah, hubungan DPR-pemerintah juga ikut terseret ke dalam konflik,
sebab salah satu kubu koalisi yang berkonflik itu merupakan pendukung
pemerintahan Jokowi-JK. Tidak menutup kemungkinan sumber konflik internal di
DPR akan sengaja dipelihara, agar rencana sejumlah anggota DPR yang
berkehendak melaksanakan hak interpelasinya terhadap penaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) tidak terpenuhi dalam waktu dekat.
Sumber konflik yang bisa
dipelihara adalah kesepakatan untuk merevisi sejumlah pasal UU Nomor 17/2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sengaja dikisruhkan. Tujuannya agar
presiden menilai konflik internal DPR belum selesai, dan ini terbukti rapat paripurna
DPR untuk membahas revisi beberapa pasal UU MD3 yang rencananya pada Rabu
(26/11) batal dilaksanakan.
DPR adalah wakil rakyat yang akan melaksanakan fungsinya sesuai mandat
yang diberikan rakyat selaku pemilik kedaulatan. Salah satu fungsi DPR dalam
Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 adalah melakukan “pengawasan” terhadap
pelaksanaan undang-undang dan kebijakan yang dibuat pemerintah.
Jikapun dipandang masa kerja menteri yang baru satu bulan terlalu
pendek untuk diawasi atau menyampaikan hasil pekerjaan, seharusnya dilihat
secara positif bahwa pengawasan DPR tidak selalu menyudutkan. Boleh jadi
dalam RDP akan muncul gagasan dan masukan terhadap kebijakan pemerintah yang
akan dilakukan atau sudah dilakukan.
Apa pun alasan konstitusional terhadap surat edaran presiden, tetapi
dari satu aspek dapat merusak tatanan fungsi checks and balances yang seharusnya dijaga kedua institusi
negara. Sangat disayangkan jika hubungan DPR-pemerintah tidak harmonis hanya
karena melihat hubungan internal DPR belum sepenuhnya membaik. Akan lebih
ideal sekiranya presiden memperbaiki hubungan buruk dua kubu di DPR yang
belakangan ini sudah mencapai kesepakatan.
Jika surat edaran itu tidak segera dicabut presiden, para menteri tidak
akan hadir jika diundang DPR untuk RDP. Relasi antara DPR-pemerintah
semestinya dipelihara agar semua program kerja Presiden Jokowi yang
dijanjikan kepada rakyat bisa dilaksanakan. Bagi DPR, tinggal melakukan
pengawasan yang tidak berarti harus menyudutkan pemerintah yang terkesan
selalu ditakutkan.
Sekiranya program kementerian yang prorakyat berjalan secara
konstitusional, seharusnya tidak perlu khawatir akan dihambat saat RDP. Lebih
dari itu, kita juga meminta agar perbedaan pandangan terhadap pembagian
pimpinan alat kelengkapan dewan dan kesepakatan untuk merevisi UUD MD3 segera
dituntaskan tanpa reserve.
Masih
Ada DPR Tandingan?
Satu aspek yang semestinya perlu diluruskan atas sikap Presiden Jokowi
yang mempertanyakan “DPR yang mana” yang akan mengundang RDP. Fenomena ini
bisa membingungkan rakyat, sebab anggota DPR yang disahkan oleh Komisi
Pemilihan Umum adalah hasil pilihan rakyat dalam pemilu Juli 2014 lalu.
Menyimak perbedaan pandangan
antara kubu KMP dan KIH, kemudian mempertanyakan “DPR yang mana”, bisa
ditafsirkan keliru oleh rakyat di akar rumput bahwa sikap KIH yang pernah
membentuk DPR tandingan memiliki justifikasi. Mempertanyakan DPR yang jelas
konstitusional lantaran dipilih oleh rakyat secara demokratis, setidaknya
bisa mengambangkan persepsi rakyat yang selama ini sudah menanti perbaikan
kehidupan dan revolusi mental yang pernah dijanjikan.
Konflik internal DPR sangat sulit dirasionalkan sebagai dasar argumen
yang kuat oleh pemerintah, meski ada yang menilai konstitusional, untuk tidak
menghadiri undangan DPR. Kalau DPR ingin RDP dengan pemerintah sebagai
implementasi dari fungsi pengawasan, sebaiknya pemerintah merespons secara
positif. Surat edaran untuk tidak menghadiri atau menunda pertemuan dengan
DPR sebelum konflik internal selesai, selain memperkeruh konflik intern DPR,
juga akan kontraproduktif bagi kesungguhan pemerintah yang ingin “kerja lebih
cepat”.
Diskursus perbedaan kepentingan ini harus segera diakhiri, sementara
larangan presiden harus dijadikan cambuk bagi DPR untuk bekerja lebih baik.
Pertikaian partisan yang disuluti oleh saling curiga tidak boleh diteruskan,
harus ada semangat yang sama antara DPR dan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan
rakyat yang masih banyak didera kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar