Kamis, 11 Desember 2014

Kompleksitas Perjuangan HAM

                                Kompleksitas Perjuangan HAM

Rakhmat Hidayat  ;   Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan PhD Sosiologi Lulusan Universite Lumiere Lyon 2, France
KORAN SINDO,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


Isu hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi sudah menjadi isu global yang menjadi pembicaraan di seluruh dunia. Dua isu itu menjadi strategis selain masalah kesetaraan gender dan pemanasan global (global warming).

Abad ke-20 oleh sebagian kalangan merupakan sebuah periode di mana kesadaran tentang pentingnya HAM sangat menonjol dibandingkan dengan abadabad sebelumnya. Momentum hari hak asasi internasional yang diperingati setiap tanggal 10 Desember menjadi penting untuk mengingatkan pentingnya isu HAM dalam praktik pembangunan sekaligus merefleksikan pelaksanaan HAM dalam konteks pembangunan sosial.

Paling tidak ada beberapa alasan yang mendukungnya. Pertama, abad ke-20 ditandai dengan merebaknya berbagai kasus pelanggaran HAM oleh berbagai pihak terhadap kelompok-kelompok marginal dan minoritas di seluruh dunia. Tiga aktor penting pelaku pelanggaran HAM tersebut antara lain negara, militer, perusahaan multinasional. Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang marak pada abad ke-20 antara lain kekerasan dan konflik etnis, konflik separatis, konflik ekonomi.

Kedua, perjuangan untuk mengakui dan menghormati hak-hak, baik hak-hak individu maupun hak-hak kelompok etnis, kultural, dan religius serta bangsa-bangsa yang diungkapkan secara tegas dan nyata baik pada tataran teoritis-spekulatif maupun pada tataran keterlibatan moral-praktis, menandai secara mencolok kesadaran sejarah manusia masa kini.

Sebagai isu global, masalah HAM masih harus diperjuangkan agar perlindungan HAM benar-benar menjadi kenyataan. HAM adalah hak yang melekat pada manusia secara kodrati. Pengakuan HAM lahir dari keyakinan bahwa semua umat manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama.

Umat manusia dikaruniai akal dan hati nurani sehingga harus memperlakukan satu sama lain secara baik dan beradab dalam suasana persaudaraan. Perjuangan menegakkan HAM melalui perjalanan panjang. Pertama kalinya dimulai sejak sejumlah perjanjian (traktat) dimasukkan ke dalam Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa pada 1945. Namun, usaha perlindungan HAM yang telah dilakukan oleh suatu negara telah dimulai jauh sebelum memasuki abad ke-20.

Di Inggris usaha untuk melindungi HAM telah dimulai sejak abad ke-13. Ditandai dengan peristiwa Magna Charta oleh Raja John Lackland pada 1215. Piagam ini berisi beberapa hak yang diberikan Raja John kepada beberapa bangsawan bawahannya dan kaum gereja atas sejumlah tuntutan yang diajukan mereka.

Perkembangan HAM di Amerika Serikat ditandai dengan deklarasi kemerdekaan (Declaration of Independence) pada 4 Juli 1776 yang mengakui bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama, memiliki sejumlah hak yang melekat secara kodrati. Hak-hak tersebut adalah hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak untuk mendapatkan kebahagiaan (pursuit of happiness).

 Di Prancis, momentum revolusi Prancis membawa perubahan besar bagi masyarakat Prancis saat itu. Pada 1789 dikeluarkan pernyataan HAM dan warga negara (Declaration des droits de LDeclaration des droits de L homme et du citoyen).

Deklarasi itu menegaskan bahwa manusia dilahirkan senantiasa berada dalam keadaan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama menurut hukum. Puncak dari perjuangan penegakan HAM adalah ada pernyataan umum HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang diproklamasikan Sidang Umum PBB, 10 Desember 1948.

Konsolidasi Demokrasi

Pasca akhir 1990-an seiring penguatan demokratisasi di negara-negara dunia ketiga memberikan ruang baru bagi penghormatan dan penghargaan HAM bagi masyarakat sipil. Terbukanya ruang ini karena terjadi transformasi kekuasaan dari rezim otoritarian ke rezim transisi demokrasi.

Dalam konteks otoritarianisme, kecelakaan sejarah terbesar negara-negara tiran adalah pelanggaran HAM sebagai bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan status quo. Dalam pandangan Samantha Besson (2009) era 1990-an memberikan harapan baru bagi kelahiran kebebasan memilih, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat yang diakui sebagai hukum HAM internasional.

Dalam penjelasannya, Besson menekankan kelahiran berbagai kebebasan ini memungkinkan kelahiran partisipasi demokratis dalam negara-negara yang baru terbebas dari cengkeraman kekuasaan otoriter. Pada periode otoritarianisme tersebut, berbagai pelanggaran HAM terjadi secara vertikal antara negara dan rakyat sebagai masyarakat sipil.

Negara melakukan berbagai pelanggaran HAM menggunakan aparat keamanan sebagai bagian dari kekuasaan negara. Sejatinya pascaperiode tersebut pelanggaran HAM semakin berkurang dan kita memiliki harapan akan penegakan HAM secara masif.

Faktanya, pelanggaran HAM bergeser tidak lagi secara dominan dilakukan negara, melainkan banyak dilakukan sesama masyarakat dengan berbagai isu dan kepentingan yang bermain di belakangnya. Pada periode ini kita dapat menyebutnya pelanggaran HAM secara horizontal. Pelanggaran HAM yang dilakukan negara masih ada meski dengan frekuensi yang berkurang dibandingkan periode tiran.

Kekuasaan Horizontal

Indonesia sebenarnya dikenal sebagai negara yang berhasil melakukan transisi demokrasi dengan baik sehingga menjadi rujukan dunia. Banyak pengamat luar negeri yang menempatkan Indonesia sebagai model demokratisasi di Asia dan dunia umumnya. Meski demikian, keberhasilan demokratisasi tersebut harus diuji di lapangan dengan masih maraknya kasus pelanggaran HAM.

Pola pelanggaran HAM yang bersifat horizontal sering terjadi di masyarakat. Dalam pola ini hubungan kekuasaan terjadi antarkelompok masyarakat, antargolongan rakyat, atau sesama masyarakat. Kebebasan bersuara dan beribadah seringkali menjadi modus terjadi pergesekan antarsesama warga yang kemudian menodai esensi hak setiap warga negara.

Pola ini hanyalah salah satu varian yang berkembang sejak 1999. Kekuasaan horizontal yang berkembang di masyarakat semakin mengkhawatirkan karena masyarakat melakukannya dengan berbagai mekanisme represif. Nyawa menjadi sia-sia karena dominasi kelompok masyarakat. Lebih ironis lagi, negara dalam beberapa kasus tampak melakukan pembiaran.

Negara seolah tak berdaya menghadapi otoritas kekuasaan masyarakat. Dalam berbagai kasus, negara justru tidak hadir. Masyarakat melakukan pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dengan jalannya sendiri. Kita dihadapkan pada hegemoni kekuasaan masyarakat yang mendegradasikan nilai-nilai asasi yang melekat dalam setiap individu.

Negara tetap berperan dalam pelanggaran hak asasi tersebut meski bukan lagi aktor tunggalnya. Kekuasaan masyarakatlah yang menjadi aktor dominannya. Berbagai kasus di masyarakat menempatkan isu HAM pada perjuangan akses mereka dalam keadilan pembangunan yang seharusnya dinikmati seluruh lapisan masyarakat.

Bukan lagi dimonopoli sekelompok masyarakat yang memiliki akses kapital dan akses politik lebih. Masyarakat harus bisa menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, maupun kesempatan kerja.

Negara tentu saja harus bertanggung jawab sebagai aktor yang mengelola hasil-hasil pembangunan agar bisa dinikmati masyarakat secara merata. Berbagai pemangku kepentingan harus terus mendorong agar pemerintah bisa mendistribusikan pembangunan secara merata dan berkeadilan. Dengan cara ini sebenarnya, berbagai pelanggaran HAM yang berbasiskan isu pembangunan bisa diminimalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar