Kompleksitas
Perjuangan HAM
Rakhmat Hidayat ; Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan PhD
Sosiologi Lulusan Universite Lumiere Lyon 2, France
|
KORAN
SINDO, 10 Desember 2014
Isu hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi sudah menjadi isu global yang
menjadi pembicaraan di seluruh dunia. Dua isu itu menjadi strategis selain
masalah kesetaraan gender dan pemanasan global (global warming).
Abad ke-20 oleh sebagian kalangan merupakan sebuah periode di mana
kesadaran tentang pentingnya HAM sangat menonjol dibandingkan dengan abadabad
sebelumnya. Momentum hari hak asasi internasional yang diperingati setiap
tanggal 10 Desember menjadi penting untuk mengingatkan pentingnya isu HAM
dalam praktik pembangunan sekaligus merefleksikan pelaksanaan HAM dalam
konteks pembangunan sosial.
Paling tidak ada beberapa alasan yang mendukungnya. Pertama, abad ke-20
ditandai dengan merebaknya berbagai kasus pelanggaran HAM oleh berbagai pihak
terhadap kelompok-kelompok marginal dan minoritas di seluruh dunia. Tiga
aktor penting pelaku pelanggaran HAM tersebut antara lain negara, militer,
perusahaan multinasional. Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang marak pada abad
ke-20 antara lain kekerasan dan konflik etnis, konflik separatis, konflik
ekonomi.
Kedua, perjuangan untuk mengakui dan menghormati hak-hak, baik hak-hak
individu maupun hak-hak kelompok etnis, kultural, dan religius serta
bangsa-bangsa yang diungkapkan secara tegas dan nyata baik pada tataran
teoritis-spekulatif maupun pada tataran keterlibatan moral-praktis, menandai
secara mencolok kesadaran sejarah manusia masa kini.
Sebagai isu global, masalah HAM masih harus diperjuangkan agar
perlindungan HAM benar-benar menjadi kenyataan. HAM adalah hak yang melekat
pada manusia secara kodrati. Pengakuan HAM lahir dari keyakinan bahwa semua
umat manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak-hak yang sama.
Umat manusia dikaruniai akal dan hati nurani sehingga harus
memperlakukan satu sama lain secara baik dan beradab dalam suasana
persaudaraan. Perjuangan menegakkan HAM melalui perjalanan panjang. Pertama
kalinya dimulai sejak sejumlah perjanjian (traktat) dimasukkan ke dalam
Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa pada 1945. Namun, usaha perlindungan HAM
yang telah dilakukan oleh suatu negara telah dimulai jauh sebelum memasuki
abad ke-20.
Di Inggris usaha untuk melindungi HAM telah dimulai sejak abad ke-13.
Ditandai dengan peristiwa Magna Charta oleh Raja John Lackland pada 1215.
Piagam ini berisi beberapa hak yang diberikan Raja John kepada beberapa
bangsawan bawahannya dan kaum gereja atas sejumlah tuntutan yang diajukan
mereka.
Perkembangan HAM di Amerika Serikat ditandai dengan deklarasi
kemerdekaan (Declaration of
Independence) pada 4 Juli 1776 yang mengakui bahwa manusia diciptakan
Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama, memiliki sejumlah hak yang
melekat secara kodrati. Hak-hak tersebut adalah hak hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak untuk mendapatkan kebahagiaan (pursuit of happiness).
Di Prancis, momentum revolusi
Prancis membawa perubahan besar bagi masyarakat Prancis saat itu. Pada 1789
dikeluarkan pernyataan HAM dan warga negara (Declaration des droits de LDeclaration des droits de L homme et du
citoyen).
Deklarasi itu menegaskan bahwa manusia dilahirkan senantiasa berada
dalam keadaan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama menurut hukum. Puncak
dari perjuangan penegakan HAM adalah ada pernyataan umum HAM (Universal Declaration of Human Rights)
yang diproklamasikan Sidang Umum PBB, 10 Desember 1948.
Konsolidasi
Demokrasi
Pasca akhir 1990-an seiring penguatan demokratisasi di negara-negara
dunia ketiga memberikan ruang baru bagi penghormatan dan penghargaan HAM bagi
masyarakat sipil. Terbukanya ruang ini karena terjadi transformasi kekuasaan
dari rezim otoritarian ke rezim transisi demokrasi.
Dalam konteks otoritarianisme, kecelakaan sejarah terbesar
negara-negara tiran adalah pelanggaran HAM sebagai bagian dari strategi
mempertahankan kekuasaan status quo. Dalam pandangan Samantha Besson (2009)
era 1990-an memberikan harapan baru bagi kelahiran kebebasan memilih,
kebebasan berbicara, kebebasan berserikat yang diakui sebagai hukum HAM
internasional.
Dalam penjelasannya, Besson menekankan kelahiran berbagai kebebasan ini
memungkinkan kelahiran partisipasi demokratis dalam negara-negara yang baru
terbebas dari cengkeraman kekuasaan otoriter. Pada periode otoritarianisme
tersebut, berbagai pelanggaran HAM terjadi secara vertikal antara negara dan
rakyat sebagai masyarakat sipil.
Negara melakukan berbagai pelanggaran HAM menggunakan aparat keamanan
sebagai bagian dari kekuasaan negara. Sejatinya pascaperiode tersebut
pelanggaran HAM semakin berkurang dan kita memiliki harapan akan penegakan
HAM secara masif.
Faktanya, pelanggaran HAM bergeser tidak lagi secara dominan dilakukan
negara, melainkan banyak dilakukan sesama masyarakat dengan berbagai isu dan
kepentingan yang bermain di belakangnya. Pada periode ini kita dapat
menyebutnya pelanggaran HAM secara horizontal. Pelanggaran HAM yang dilakukan
negara masih ada meski dengan frekuensi yang berkurang dibandingkan periode
tiran.
Kekuasaan
Horizontal
Indonesia sebenarnya dikenal sebagai negara yang berhasil melakukan
transisi demokrasi dengan baik sehingga menjadi rujukan dunia. Banyak
pengamat luar negeri yang menempatkan Indonesia sebagai model demokratisasi
di Asia dan dunia umumnya. Meski demikian, keberhasilan demokratisasi
tersebut harus diuji di lapangan dengan masih maraknya kasus pelanggaran HAM.
Pola pelanggaran HAM yang bersifat horizontal sering terjadi di
masyarakat. Dalam pola ini hubungan kekuasaan terjadi antarkelompok
masyarakat, antargolongan rakyat, atau sesama masyarakat. Kebebasan bersuara
dan beribadah seringkali menjadi modus terjadi pergesekan antarsesama warga
yang kemudian menodai esensi hak setiap warga negara.
Pola ini hanyalah salah satu varian yang berkembang sejak 1999.
Kekuasaan horizontal yang berkembang di masyarakat semakin mengkhawatirkan
karena masyarakat melakukannya dengan berbagai mekanisme represif. Nyawa
menjadi sia-sia karena dominasi kelompok masyarakat. Lebih ironis lagi,
negara dalam beberapa kasus tampak melakukan pembiaran.
Negara seolah tak berdaya menghadapi otoritas kekuasaan masyarakat.
Dalam berbagai kasus, negara justru tidak hadir. Masyarakat melakukan pilihan
untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dengan jalannya sendiri. Kita
dihadapkan pada hegemoni kekuasaan masyarakat yang mendegradasikan nilai-nilai
asasi yang melekat dalam setiap individu.
Negara tetap berperan dalam pelanggaran hak asasi tersebut meski bukan
lagi aktor tunggalnya. Kekuasaan masyarakatlah yang menjadi aktor dominannya.
Berbagai kasus di masyarakat menempatkan isu HAM pada perjuangan akses mereka
dalam keadilan pembangunan yang seharusnya dinikmati seluruh lapisan
masyarakat.
Bukan lagi dimonopoli sekelompok masyarakat yang memiliki akses kapital
dan akses politik lebih. Masyarakat harus bisa menikmati hasil-hasil dari
perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan,
distribusi pendapatan, maupun kesempatan kerja.
Negara tentu saja harus bertanggung jawab sebagai aktor yang mengelola
hasil-hasil pembangunan agar bisa dinikmati masyarakat secara merata.
Berbagai pemangku kepentingan harus terus mendorong agar pemerintah bisa
mendistribusikan pembangunan secara merata dan berkeadilan. Dengan cara ini
sebenarnya, berbagai pelanggaran HAM yang berbasiskan isu pembangunan bisa
diminimalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar