Lembaga
Antikorupsi dan Hari Antikorupsi
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan
Ketua PuKAT Korupsi FH
UGM Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 10 Desember 2014
Tak dapat dimungkiri, keberhasilan pemberantasan korupsi punya korelasi
positif dengan mapannya lembaga pemberantas korupsinya. Mapan yang dimaksud
tentu saja tidak hanya pada konsep ada dan bekerja, tetapi juga memiliki
korelasi yang kuat dengan berbagai lembaga lain yang ada dalam sistem
penegakan hukum antikorupsi.
Di dalam konteks Indonesia saat ini, setidaknya ada tiga lembaga utama
yang bekerja dalam bersih-bersih korupsi di Indonesia yakni Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Ketiganya bekerja
secara utama. Tetapi, dalam konteks yang lain, dapat dikatakan bahwa ada
begitu banyak lembaga lain yang juga bekerja dalam kerja-kerja mengawal
negara yang bersih dan sehat dari praktik- praktik korupsi maupun inefisiensi
anggaran negara.
Jumlah yang sangat banyak dan semua juga harus dianggap penting dalam
kerangka membawa Indonesia yang bersih dari penyakit koruptif. Pada Hari
Antikorupsi saat ini, menarik untuk memperbincangkan kembali relasi dan
koordinasi antarlembaga yang bekerja dalam upaya bersihbersih Indonesia.
Kita punya begitu banyak lembaga yang rasanya harus dikawal, apalagi
dalam konteks pemerintahan baru. Pertanyaan reflektifnya tentu saja,
bagaimana pemerintahan baru menghela pemberantasan korupsi dengan lembaga
yang ada dan dimiliki saat ini?
Pilih
Orang Baik
Ini dimulai dengan memilih orang-orang yang akan dipakai untuk
mendukung pemberantasan korupsi dengan baik dan tentu saja membutuhkan
penegak hukum yang bersih dan memiliki komitmen kuat. Kejaksaan dan
kepolisian yang menjadi ”tangan” utama pemerintah dalam agenda pemberantasan
korupsi haruslah diisi orang yang pas.
Intinya, mencari orang yang tepat adalah hal yang penting. Pemilihan
jabatan Jaksa Agung kemarin sudah sedikit banyak mengecewakan harapan pada
pemberantasan korupsi. Bagaimana mungkin tokoh partai politik yang dipakai
untuk menghela pemberantasan korupsi. Partai politik biasanya punya
preferensi tertentu. Tokoh partai pun biasanya berada di situ. Kita masih
menunggu keberanian melakukan terobosan di jabatan Kapolri.
Akankah pemerintahan Jokowi-JK mampu menemukan orang yang tepat di
situ, akan terjawab nanti. Ini juga untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu di
kementrian, khususnya pada eselon-eselon tertentu yang menjadi pengambil
kebijakan pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi Presiden.
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) telah membuka kesempatan
tersebut. Tindak lanjutnya tentu saja adalah kemampuan Presiden untuk
menerjemahkan semangat yang ada. Pola-pola lelang jabatan yang lebih partisipatif
dan transparan perlu menjadi rujukan utama dalam memilih jabatan-jabatan
tertentu di berbagai lembaga dan kementerian.
Pilihan orang baik diikuti dengan tindakan tidak segan melakukan upaya
teguran kuat dan kencang terhadap lembagalembaga dan kementerian di bawah
Presiden yang tidak serius dalam mendorong pemberantasan korupsi. Pemerintah
sebelumnya secara tanpa sadar telah melanggengkan proses koruptif melalui
ketidakberanian untuk melakukan pergantian seketika atas pejabatpejabat
kementerian dan lembaga yang tidak pro pada pemberantasan korupsi.
Hambatan politis dan berbagai pertimbangan lain telah mengambil alih
kebijakan negara sehingga alih-alih menghentikan, tetapi paling kuat hanya
akan melakukan rotasi jabatan. Padahal, membiarkan orang-orang koruptif ini
tetap berada di kementerian dan lembaga adalah membuat orangorang tersebut
akan memindahkan penyakitnya ke unit baru tersebut.
Ihwal yang dilakukan bukan sekadar mendapatkan tokoh yang pas pada
posisi yang pas, melainkan juga mempertahankan rasa kepercayaan publik. Andai
pilihan orang tepat dilanjutkan, tentu akan ada harapan berarti. Karena itu,
teguran kuat dan kencang merupakan bagian yang harus dalam mendapatkan
lembaga-lembaga yang kuat dan tepercaya dalam menegakkan hukum dan kebijakan
pemberantasan korupsi.
Koordinasi
Hal berikutnya adalah mendorong dan memastikan kejaksaan dan kepolisian
ikut mendorong pemberantasan korupsi dengan ”leader” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemberantasan
korupsi gagal mencapai kecepatan optimal selama ini karena alih-alih
kejaksaan dan kepolisian mendukung KPK, tetapi yang terjadi malah penolakan
atas posisi koordinasi KPK atas mereka.
Langkah yang dapat diambil pemerintah sesungguhnya sederhana,
perintahkan Jaksa Agung dan Kapolri untuk memberikan porsi sebesar-besarnya
penanganan korupsi ke koordinasi penuh oleh KPK. Jangan lagi ada
hambatan-hambatan apologi administratif ataupun kultural yang dilakukan
kejaksaan dan kepolisian untuk menolak kehadiran KPK dalam berbagai
kasus-kasus korupsi, termasuk yang ada di daerah.
Begitu kejaksaan dan kepolisian terindikasi tidak mampu atau tidak mau
dalam menyelesaikan perkara korupsi, berikan kesempatan penyelesaiannya ke
KPK. Dengan begitu, tidak ada kesan keistimewaan perlakuan bagi kasus korupsi
yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian yang notabene sangat dekat dengan
rentang kendali Presiden.
Langkah itu juga dilakukan dalam pembenahan pendataan perkara korupsi.
Jika kepolisian atau kejaksaan mengerjakan perkara korupsi, harus disampaikan
dengan detail ke KPK, baik dimulainya, tahapannya, hingga progresnya.
Dari situlah KPK bisa menentukan kapan suatu perkara seharusnya diambil
alih atau masih tetap diberikan kepercayaan pada kepolisian dan kejaksaan.
Dengan begitu, kontrol atas perkara korupsi dapat diketahui. Dengan itu juga
dapat diukur keseriusan pemberantasan korupsi oleh semua lembaga-lembaga yang
bekerja di wilayah tersebut.
Pemberdayaan
Lembaga Lain
Hal yang tidak mungkin dilupakan adalah penguatan peran dan kelembagaan
lembagalembaga pengawas yang berada di bawah rentang kendali pemerintah
secara langsung. Ada banyak lembaga pengawas mulai dari konsep Satuan
Pengawas Internal (SPI) hingga model besar semisal Badan Pengawas Pembangunan
dan Keuangan (BPKP).
Ada banyak langkah yang harus diselesaikan di kitaran lembaga
pengawasan ini agar membuatnya lebih kuat mengontrol dan mendorong
pemberantasan korupsi. Yang mula tentu saja adalah pemfungsian lembaga
lembaga-lembaga ini dengan benar.
Memikirkan format dan pengawasan langsung ke unit di bawah Presiden
tentu saja dapat menjadi langkah menarik untuk membebaskan inspektorat
misalnya dari ketergantungan relasi dengan menteri yang membawahinya. Tetapi,
tidak hanya di situ, salah satu isu besar yang harus diselesaikan oleh
Presiden segera adalah meramunya menjadi konsep sistem pengawasan nasional
yang terformat menjadi aturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari
reformasi birokrasi.
Hingga saat ini RUU Sistem Pengawasan Nasional belum (sama sekali
tidak) mendapatkan perhatian berarti dari paket perbaikan perundang-undangan
di bidang reformasi birokrasi. Presiden harus berani menjadi pengambil alih
peran sinkronisasi dengan perintah yang kuat dan jelas untuk keberadaan
sistem pengawasan nasional. Ada banyak hal yang akan selesai dengan aturan
jelas dan kuat untuk sistem pengawasan nasional.
Semisal dualisme BPK dan BPKP bisa diakhiri melalui RUU tersebut. Jadi
bukan hanya berada pada memikirkan kelembagaannya, tetapi juga hadir upaya
institusionalisasi dan menguatkan relasi serta potret kerja antarlembaga.
Jika itu dilakukan, tentu akan memberikan tambahan tenaga yang tidak kecil
karena tidak lagi terdapat kecurigaan dan kegagalan karena ada redundancy
tugas antarsatu lembaga dan lembaga lain.
Dukungan
Politik Pendanaan
Secara kelembagaan kegiatan kuat biasanya hanya dapat dilakukan jika
didukung pendanaan yang memadai. Lembaga penegak hukum semisal kejaksaan dan
kepolisian masih memiliki pendanaan negara yang tidak baik. Biaya penanganan
perkara yang sangat terbatas seringkali membuat kejaksaan dan kepolisian
melakukan tindakan koruptif dengan dalih melakukan pembiayaan atas penanganan
perkara lain.
Selama ini itulah yang sering dikeluhkan kejaksaan dan kepolisian
karena terpaksa melakukan ”subsidi silang” oleh satu kebutuhan pada perkara
tertentu dengan mengerjakan perkara lain. Seakan-akan, memeras perkara
tertentu yang akan dipakai untuk membiayai perkara lain.
Itulah yang selama ini digunakan sebagai dalih oleh para oknum nakal
kejaksaan dan kepolisian yang melakukan tindakan koruptif. Negara harus
bertindak fair. Mengerjakan kasus-kasus penting memerlukan pendanaan yang
tidak kecil, bahkan seringkali amat besar. Negara mau tidak mau memikirkan
pendanaan yang berarti untuk membuatnya menjadi lebih bisa dikerjakan tanpa
menyalahkan soal keterbatasan anggaran.
Yang penting dari sebuah perayaan tentu saja bukan gegap gempitanya,
tetapi kemudian gagap di dalam mengerjakannya. Gaung peringatan Hari
Antikorupsi yang tahun ini dipusatkan di Yogyakarta sudah sangat besar. Semoga
tabuhan genderang di hari perayaan berlanjut dalam kerja keseharian. Kita
semua menanti gema setelah Hari Antikorupsi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang tengah menghadapi masalah korupsi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar