Kamis, 11 Desember 2014

Hari Antikorupsi di Indonesia

                                   Hari Antikorupsi di Indonesia

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO,  10 Desember 2014

                                                                                                                       


Penetapan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia dicetuskan pada konferensi negosiasi draf teks Konvensi PBB Antikorupsi pada 2002 di Wina (Austria). Penulis ketika itu sebagai alternate ketua delegasi RI. Hasilnya kemudian diadopsi pada Konferensi Diplomatik Pengesahan Draf teks tersebut di Merida, Meksiko pada 2003. Yusril Ihza Mahendra selaku ketua delegasi RI ketika itu. Tanggal 9 Desember merupakan tanggal keramat pemberantasan korupsi oleh masyarakat internasional termasuk Indonesia.

Pasti pada hari tersebut berbagai cerita sukses diberitakan secara luas kepada masyarakat, tidak termasuk kegagalan tentunya. Selang beberapa hari sebelumnya KPK berhasil menangkap/menahan bupati Bangkalan karena menerima uang (suap/gratifikasi) terkait proyek migas; sekaligus membuktikan bahwa efek jera sebatas kata-kata karena semakin banyak penyelenggara negara terlibat korupsi.

Peristiwa tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan Wapres JK di hadapan peserta Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi yang digagas KPK yang penulis baca. JK mengeluhkan sambil meminta pimpinan KPK mempertimbangkan agar kebijakan pejabat pemerintah jangan dibawa ke ranah pidana/korupsi dengan alasan menimbulkan kekhawatiran penyelenggara negara di dalam menjalankan program-program pembangunan sehingga berdampak kelambanan implementasinya.

Imbauan Wapres JK seharusnya ditujukan kepada pemerintah cq Menkumham dan DPR RI agar mengkaji kembali UU Tipikor 1999 yang diubah dengan UU Tipikor pada 2001. KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri hanya pelaksana atas mandat dari UU tersebut.

Memang ketika penyusunan UU tersebut diupayakan agar undang-undang ini dapat menjangkau setiap perbuatan penyelenggara negara yang terbukti melawan hukum yang sering dalam praktik ditafsirkan secara luas atau sempit, bergantung penafsiran subjektif penyidik dan penuntut bahkan hakim.

Sekalipun telah ada putusan MKRI yang telah membatasi pengertian istilah melawan hukum, namun dalam praktik kepatuhan aparatur penegak hukum (APH) termasuk hakim terhadap putusan MKR RI sangat rendah. Jika APH konsisten pada UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, telah dirumuskan tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme selain tindak pidana korupsi yang telah diatur dalam UU Tipikor.

Jika dua tindak pidana aquo disosialisasikan kepada penyelenggara negara, peranan fungsi pencegahan korupsi akan berjalan efektif dan mengurangi penindakan mungkin lebih signifikan ketimbang menghukum semata-mata. Dua jenis tindak pidana tersebut belum pernah didakwakan dan dituntut di hadapan pengadilan tipikor, namun tentu APH harus sangat berhati-hati dalam implementasinya.

Selama kurang lebih sebelas tahun sejak pembentukan KPK, sinyalemen Wapres JK, yang muncul adalah ketakutan di kalangan penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, bukan kepatuhan untuk tetap bekerja di dalam koridor yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perlu dipertanyakan mengapa terjadi? Masalah utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sikap amanah dan ikhlas memperjuangkan amanat konstitusi UUD 1945 yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat terlepas dari berbagai kepentingan pribadi, kelompok, politik, dan lain-lain.

Kepentingan satu-satunya bagi setiap penyelenggara negara adalah mewujudkan pemerintahan yang baik dan benar (good governance) yang hanya dapat dicapai jika penyelenggara negara bersikap jujur, amanah, dan memiliki sikap profesional dan berintegritas.

Pemerintahan Jokowi-JK telah diisi oleh para menteri yang dianggap telah memenuhi persyaratan tersebut apalagi telah ”terseleksi” dengan baik oleh KPK, tentunya masyarakat kini menunggu kinerjanya yang seharusnya tidak ”terjebak” dalam KKN. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya ditentukan KPK, tetapi juga oleh Polri dan kejaksaan.

Jika kewenangan luas yang kini dimiliki KPK juga diberikan oleh UU kepada Polri dan kejaksaan, sudah tentu akan meningkatkan keberhasilan pemberantasan korupsi secara signifikan terutama upaya penyelamatan kerugian keuangan negara. Namun, ekses-ekses negatif dari kewenangan yang superior tidak akan terhindarkan karena Lord Acton telah memperingatkan, ”power tend to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutely”; atau saya katakan, ”power tend to abuse, absolute power tend to abuse absolutely”.

Keadaan ini hanya berlaku jika tidak ada mekanisme checks and balances atau ”penyeimbang” terhadap kewenangan yang luas tersebut. Atas dasar ini, saya mengusulkan agar seperti terhadap Polri dan kejaksaan dengan adanya Kompolnas dan Komjak; terhadap KPK sekalipun lembaga independen diperlukan ”penyeimbang” atau lembaga pengawas.

Lembaga itu nanti dapat ditempatkan sebagai bagian organisasi KPK dan diisi oleh orang yang memiliki integritas, kredibilitas, senioritas dalam hukum pidana dan manajemen, serta memiliki akuntabilitas tinggi. Kekhawatiran Wapres JK tentu akan terhapuskan dengan keberadaan dewan pengawas di KPK.

Hari Antikorupsi di Indonesia memiliki dua prospek yang sama pentingnya. Pertama, sebagai upaya introspeksi atas kinerja Polri, kejaksaan, dan KPK. Kedua, upaya harmonisasi UU Tipikor 1999 jo 2001 terhadap materi muatan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang telah diselesaikan pemerintah ke dalam RUU baru tipikor untuk segera dibahas dan diundangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar