Berkarier
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 13 Desember 2014
Pagi ini
saya ke sekolah elite di daerah Jakarta Selatan untuk mengisi acara carrier day, yaitu acara memberi
pilihan bagi para siswa–siswi ketika melanjutkan sekolah nantinya. Ini bukan
pertama kalinya saya nongol di sini, tapi juga bukan yang terakhir.
Sebenarnya, saya enggan karena saya bukan contoh, bukan role model yang banyak. Dulu pun saya menolak, tapi karena cucu
saya yang meminta, atas nama sekolah, saya pun datang. Mungkin keterusan. Ada
saatnya saya menolak, memilihkan nama lain. Ada saatnya tak bisa menolak,
seperti hari ini.
Keengganan
saya terutama karena ditampilkan sebagai penulis yang “sukses”, yang dianggap
bisa memberi inspirasi anak didik. (Tapi iya juga, kalau tidak sebagai
penulis saya tampil sebagai apa?) Bagi yang berkarier sebagai dokter, pilot,
pasukan pemadan kebakaran pastilah lebih mudah ditampilkan. Dengan bantuan
seragam. Tidak demikian dengan penulis, atau pengarang, atau wartawan. Namun
bagi saya pribadi, masalahnya bukan soal tampilan dan aksesorinya, melainkan
apakah saya bisa bercerita bahwa menulis adalah pilihan hidup saya? Atau
karena tikungan di jalan kehidupan, sesuai dengan kenyataan.
Cita-cita
saya dari kecil ingin menjadi dokter, karena di keluarga besar ada kakek yang
menjadi dokter. Keren, banyak duit, banyak senyum, dan membantu anggota
keluarga yang lain. Namun nasib berbicara lain. Tak mungkin melanjutkan
sekolah, ayah meninggal ketika kami anakanaknya masih kecil—masih Sekolah
Dasar, juga dalam usia muda. Ibu tidak menikah lagi dengan konglomerat. Hidup
pas-pasan, sehingga selesai SMA, kami bersaudara memilih bekerja—seadanya.
Kadang
saya ingin menceritakan ini karena tidak semua karier, dan atau cita-cita
waktu kecil tidak selalu mulus. Dan mungkin juga tidak selalu harus begitu.
Maksud saya memberitahukan keapada siswa-siswi bahwa mempunyai cita-cita
banyak juga tak apa-apa. Bahwa nanti kemudian hari cita-cita berubah juga tak
salah. Selama baik dan benar bagi dirinya, dan syukur apa lagi berguna untuk
masyarakat sekitarnya. Dan sebenarnya itu yang saya temukan ketika reuni
dengan teman-teman sekolah dulu. Dari sekian banyak, hanya satu atau dua
orang yang kini berada di tempat yang dulu dicita-citakan. Sebagian besar
bahkan jauh bertentangan, dan baik-baik saja adanya.
Berkarier
adalah mengembangkan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan atau jabatan.
Dalam arti lain tak dibatasi oleh umur, tidak selalu hanya untuk siswa-siswi.
Seorang ibu rumah tangga, bisa meneruskan karier atau memantapkan profesinya.
Karier yang baru, bahkan mungkin sebagai koki dari profesi yang dulu
ditinggalkan. Atau, sebaliknya, justru sekarang ini menjadi penulis. Para ibu
yang selama ini tak berpikir menjadi penulis, mengumpulkan hasil karyanya
“yang pertama” dalam bentuk buku. Yang diterbitkan dari pengalaman pribadi
menjadi ibu. Konon sudah direncanakan tema yang lain seperti seri pengalaman
menjadi istri, atau menjadi menantu, atau….
Sebetulnya
ini yang ingin saya ceritakan, akan tapi saya belum tahu bagaimana mengatakan
dengan sederhana kepada siswa-siswi. Seperti juga ketika saya mengajar di
perguruan tinggi tentang produksi televisi, atau tentang penulisan kreatif.
Saya menekankan bahwa menjadi pemain, menjadi artis itu baik dan benar
adanya. Namun kalau tidak pun masih bisa menjadi sutradara, menjadi
kamerawan, menjadi editor. Kalau tidak pun tetap bisa bekerja di dunia
pertunjukkan menjadi produser yang macam-macam tingkatannya. Tidak selalu,
dan hanya, menjadi artis.
Demikian
juga menjadi penulis tidak selalu harus menuliskan novel, atau menulis
skenario, atau cerpen, atau puisi. Banyak pekerjaan, atau berkarier dengan
menjadi penulis teks iklan misalnya, atau naskah-naskah untuk program
televisi, program radio, atau pertunjukan panggung, atau pesta yang diadakan
sebuah keluarga.
Sebetulnya saya ingin membicarakan kemungkinan dari sebuah cita-cita,
tapi belum tahu cara yang efektif. Juga pagi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar