FCTC
dan Ekspor Rokok Indonesia
Kartono Mohamad ; Mantan Ketua PB IDI
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
MENTERI Perindustrian Saleh Husin blusukan ke pabrik rokok terkenal,
Djarum, di Kudus. Sekeluar dari pabrik Djarum, dia mengatakan, ”Pemerintah
Indonesia tidak akan meratifikasi FCTC karena akan mengganggu ekspor rokok
Indonesia.” Industri rokok, di mana pun di dunia ini, memang menentang
Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) yang bertujuan mengurangi konsumsi rokok di negara masing-masing
demi melindungi kesehatan rakyatnya. Untuk itu, industri rokok tak
segan-segan menebar kebohongan dan membelokkan isu. Tentu saja hak mereka
untuk meminta pemerintah masing-masing tidak mengikuti FCTC, dan menjadi
kewajiban pemerintah negara-negara anggota untuk memutuskan akan ikut atau
tidak dalam FCTC.
Seorang menteri seyogianya tidak begitu saja mengiyakan permintaan
tersebut sebelum benar- benar mengetahui apa isi FCTC. Dari pernyataan
menteri Saleh Husin tersirat bahwa dia belum membaca, apalagi memahami isi
FCTC. Pertama, fase ratifikasi FCTC sudah lewat. Kalau ada negara anggota WHO
yang sekarang ingin bergabung sebagai partner FCTC, yang dapat dilakukan
hanyalah mengaksesi.
Menandatangani kesediaan jadi partner, di kantor PBB di New York,
Amerika Serikat. Bukan pula di kantor WHO di Geneva, Swiss. Traktat ini sudah
jadi milik PBB secara keseluruhan. Tidak hanya salah satu badan PBB. Karena
itu, masalah FCTC ini juga ditekankan di kesepakatan Sustainable Development
Goal (SDG) yang juga ditandatangani Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu jadi
Ketua Tim SDG. Juga ditekankan di sidang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(Ecosoc) baru-baru ini.
Kedua, dalam FCTC tidak ada kesepakatan atau ketentuan yang menghambat
negara partner untuk mengekspor rokok produksinya. Bahkan, negara-negara
partner itu kemudian membatasi impor rokok ke negeri mereka. Di dunia ini
tinggal Indonesia, negara besar yang belum mengaksesi FCTC. Negara sekitar
kita, termasuk Timor Leste dan Papua Niugini, sudah mengaksesi sejak lama.
Seluruh negara Asia juga sudah, kecuali Indonesia. Demikian pula seluruh
anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sudah, kecuali Indonesia.
Itu artinya, mereka mungkin sudah sepakat untuk menekan konsumsi rokok
rakyatnya dan membatasi impor rokok. Jadi, kalau ekspor rokok Indonesia
terhambat, itu bukan karena Indonesia ikut FCTC, melainkan karena mereka ikut
FCTC. Dengan kata lain, ikut atau tak ikut FCTC, ekspor rokok Indonesia ke
negara-negara itu secara berangsur akan terhambat. Namun, sebaliknya, karena
tidak ikut FCTC, Indonesia tak punya ”kekuatan tawar” untuk membatasi impor
rokok dari negara-negara itu.
Maka, kita akan jadi surga buat rokok luar negeri, sementara kita tidak
dapat meminta mereka mengurangi ekspor rokok mereka kemari. Seandainya kita
ikut jadi partner, kita akan diajak bicara saat para partner FCTC menyusun
kesepakatan-kesepakatan pelaksanaan (protokol) FCTC.
Didikte
industri rokok
Jadi, alangkah aneh ketika Menteri Saleh Husin mengatakan bahwa kalau
kita ikut FCTC, ekspor rokok kita akan terganggu. Justru karena tak ikut
FCTC, kita tak dapat memperjuangkan kepentingan kita dalam percaturan
peraturan rokok di dunia. Mungkin kita beranggapan dengan perjanjian AFTA
atau bilateral, kita akan dapat memperjuangkan diizinkannya kita ekspor
rokok. Namun, kemudian mereka dapat berdalih bahwa demi melindungi kesehatan
rakyat mereka dan sesuai kesepakatan FCTC, ekspor rokok kita akan sangat
dibatasi. Sementara berdasar perjanjian bilateral, dengan enaknya Tiongkok
akan mengekspor rokoknya ke Indonesia. Dengan bea masuk yang mungkin sampai
nol persen pula.
Ketiga, Saleh Husin mengatakan, ”Pemerintah tidak akan meratifikasi
FCTC.” Seolah-olah hal itu sudah jadi keputusan pemerintah secara
keseluruhan, terutama Presiden. Sebagai menteri memang dia dapat
mengatasnamakan pemerintah. Namun, untuk traktat internasional, sebaiknya
meyakini dulu bahwa hal itu sudah menjadi keputusan kabinet (Presiden).
Sebab, negara lain akan mencatat pernyataan ini, termasuk PBB, karena FCTC
sudah jadi traktat resmi PBB. Memang tak akan ada sanksi, tetapi setidaknya
posisi kita di WHO akan jadi bahan cibiran. Demikian pula di sidang OKI.
Sekarang ini hanya Indonesia dan Somalia, negara yang termasuk besar yang
belum mengikat diri dengan FCTC. Lainnya adalah Liechtenstein, Andora, dan
Monako.
Ada baiknya para pejabat dan politisi yang hendak berbicara tentang
FCTC membaca dulu dan memahami isi FCTC sebelum membuat pernyataan. Hal ini
dilakukan supaya tak dianggap demi menyenangkan para pemilik besar
(kapitalis) pabrik rokok karena ada kepentingan-kepentingan lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar