Jejak
Gelap Inflasi
Ahmad Erani Yustika ; Ekonom Universitas Brawijaya; Direktur
Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
TAK bisa disangkal, inflasi (yang tinggi) adalah tumor ekonomi yang
menakutkan. Aneka kompleksitas ekonomi kerap kali berakar dari sana.
Indonesia, celakanya, tak pernah benar-benar bisa mengatasi soal ini sejak
lama. Dibandingkan dengan negara tetangga, inflasi Indonesia tergolong
tinggi.
Di luar krisis ekonomi, inflasi di sini selalu mengintip oleh dua sebab
utama: energi dan pangan. Selama 10 tahun terakhir, Indonesia dihajar dengan
persoalan bahan bakar minyak (BBM) karena sebagian kebutuhan harus dicukupi
dengan impor. Masalahnya, harga minyak internasional naik-turun tak tertebak
polanya (lebih sering naik). Akibatnya, harga jual minyak domestik harus
dinaikkan untuk menekan subsidi.
Pola yang sama terjadi pada pangan, dengan Indonesia menjadi importir
hampir semua komoditas strategis, yang harganya di pasar dunia terus
menanjak.
Alasan pembengkakan subsidi itulah yang menjadi dasar Presiden Joko
Widodo mengambil keputusan ”heroik”: menaikkan harga BBM. Publik mengeluh
sebab belum ada layanan yang diberikan pemerintah baru, tetapi barang yang
menjadi hajat publik ini sudah dinaikkan, lebih-lebih saat harga minyak
internasional turun tajam.
Namun, presiden bergeming. Kebijakan itu tetap dieksekusi dengan
argumen lain: kesehatan anggaran dan dukungan pembiayaan pembangunan
(misalnya infrastruktur). Soalnya adalah mampukah pemerintah mengendalikan
kenaikan harga-harga (inflasi) agar tak menimbulkan efek yang lebih besar?
Juga, seberapa sigap pemerintah menyiapkan perlindungan sosial-ekonomi kepada
masyarakat rentan? Dua pertanyaan ini harus dipastikan terjawab dengan laik
karena jadi penentu kredibilitas pemerintah.
Dalam jangka pendek ini, pemerintah dihadapkan dua titik kritis, yaitu
waktu tanam yang mundur ke November (biasanya Oktober) karena musim hujan
terlambat dan hari Natal (juga Tahun Baru) yang segera datang (yang menjadi
pemicu inflasi). Pada rentang November 2014-Februari 2015, berarti belum akan
ada tambahan pasokan (beras) dari pasar domestik sehingga kalkulasi
persediaan menjadi sangat penting.
Jangan lupa pula, Oktober dan November ini beras untuk kelompok rentan
(raskin) juga sudah tiada sehingga mengurangi jumlah barang di pasar. Apabila
situasi ini bertemu dengan peningkatan permintaan (Natal dan Tahun Baru) dan
efek berantai dari kenaikan harga BBM, hal tersebut menjadi bahan bakar yang sempurna
penyulut inflasi. Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog
harus berjibaku memastikan manajemen pasokan dijalankan dengan baik.
Data rinci karakteristik inflasi yang bersumber dari kenaikan harga BBM
masa lalu juga amat berguna sebagai referensi pemerintah. Pada 2005, saat
terjadi dua kali kenaikan harga BBM sebesar 150 persen (akumulasi) pada Maret
dan Oktober, inflasi melonjak dari 6,4 persen (2004) ke 17,1 persen (2005).
Hal yang sama terjadi tahun 2008 saat kenaikan harga BBM sekitar 30 persen,
inflasi melonjak dari 6,5 persen (2007) ke 11,06 persen (2008). Tahun lalu
(Juni 2013), harga BBM naik tipis, tetapi juga memicu kenaikan inflasi dari
4,3 persen (2012) ke 8,38 persen (2013).
Umumnya, transportasi dan pangan menjadi sumber menjulangnya inflasi.
Pada Juli 2013, inflasi mencapai 3,29 persen (bulanan), dengan transpor,
komunikasi, dan jasa keuangan menyumbang 1,5 persen dan bahan makanan 1,36
persen (BPS, 2013). Tentu rumit bagi pemerintah mengatasi kenaikan harga
transportasi, tetapi mitigasi harga pangan selayaknya bisa dilakukan.
Sayangnya, penghitungan inflasi selama ini hanya dilakukan di beberapa
daerah sehingga peta inflasi berdasarkan wilayah tak tergambar secara
keseluruhan. Dengan basis data tahun lalu, kota-kota yang perlu diwaspadai
(karena inflasinya di atas rata-rata inflasi nasional setelah kenaikan harga
BBM) antara lain Sorong, Kupang, Depok, Bogor, Bekasi, Surakarta, Bima,
Serang, Semarang, dan Cirebon. Problem transportasi/logistik tak semuanya
bisa menjelaskan inflasi di daerah itu karena sebagian berada di Jawa yang
relatif bagus logistiknya. Isu yang masuk akal adalah struktur pasar
(distribusi) di wilayah itu yang cenderung terkonsentrasi sehingga harga
dimainkan.
Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu dijalankan
efektif di semua wilayah, khususnya di daerah yang inflasinya tinggi itu.
Juga, Kementerian Perdagangan mesti memiliki ”sistem deteksi harga dan
pasokan antardaerah” yang mapan sehingga aksi bisa dilakukan cepat.
Perlindungan sosial-ekonomi adalah soal lain yang tak kalah rumit.
Pengalaman silam memberi hikmah: implementasi tak seterang cahaya bulan
purnama. Harus diakui, salah satu kelemahan yang kini paling tampak adalah
instrumen perlindungan tak tersiapkan dengan layak. Aneka program yang
dirancang (seperti kartu sehat dan pintar) pasti tak dapat diberikan dalam
jangka pendek kepada rakyat yang berhak.
Kementerian terkait mesti tahu detail soal ini dan bergerak sigap
menutup celah sebab kenaikan harga komoditas terus merambat. Pemerintah harus
memastikan praktik masa lampau tak muncul lagi: kenaikan harga BBM
meninggalkan jejak gelap berupa pertambahan kaum miskin. Nyali kenaikan harga
BBM harus diimbangi keberanian dan keterampilan mengatasi konsekuensinya,
khususnya memproteksi warganya yang paling lemah. Di sini negara tak boleh
lalai, apalagi absen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar