Melek
Keuangan dan Kesejahteraan
Khalifany Ash Shidiqi ; Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
|
KOMPAS,
01 Desember 2014
MENINGKATKAN kualitas hidup manusia, memperkuat partisipasi rakyat
pinggiran dalam pembangunan, serta meningkatkan produktivitas rakyat agar
bisa bersaing menuju kemandirian ekonomi adalah beberapa dari sembilan
program kerja utama (Nawa Cita) pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Untuk mewujudkan semua itu, meningkatkan angka melek keuangan (inklusi
finansial) menjadi prasyarat penting.
Setidaknya selama satu dasawarsa terakhir, pertumbuhan sektor keuangan
di Indonesia terus naik. Meski sempat dilanda beberapa krisis keuangan besar;
pertumbuhan aset, laba bersih, dan penyaluran kredit terus berada di jalur
positif. Bahkan, tertinggi di kawasan. Meski begitu, data CEIC menunjukkan
partisipasi masyarakat di sektor keuangan masih minim. Jika dibandingkan
angka produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tingkat simpanan masyarakat
(deposit) di lembaga keuangan hanya sekitar 39 persen. Sementara rasio
penyaluran kredit (loan) tak jauh beda di 36 persen. Itu kalah jauh
dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang mencapai 100 persen, bahkan
lebih.
Literasi
keuangan
Sampai Juli 2014, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
jumlah rekening tabungan di Indonesia sekitar 152,8 juta rekening. Sangat
jauh dibandingkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta. Menariknya,
meski baru berkembang pesat selama 10 tahun, jumlah sim card yang beredar di
Indonesia saat ini tak kurang dari 260 juta kartu. Lebih banyak dari jumlah
penduduk Indonesia.
Meski memiliki lebih dari 200 juta penduduk dan ratusan bank—baik bank
umum maupun Bank Perkreditan Rakyat—perbankan masih seperti menara gading.
Bagi sebagian masyarakat kita, perbankan masih suatu entitas mewah yang
membuat mereka merasa inferior. Kesan inilah yang harus dihapus. Bayangkan
saja, demi memiliki satu saja rekening tabungan, mereka harus meluangkan
banyak waktu untuk datang dan mengisi sejumlah data pribadi dan menyerahkan
bukti identitasnya.
Hal ini sangat berbeda dengan kepemilikan nomor telepon genggam (HP).
Tinggal beli di toko, isi data standar di mana pun, selesai. Nomor HP itu
juga unik karena satu nomor hanya dimiliki satu orang. Apabila dapat
menyinergikan kepemilikan nomor HP ini dengan rekening perbankan, hal ini
tentu akan memiliki banyak manfaat. Memiliki rekening tabungan di perbankan
menjadi pintu gerbang yang akan membuka keterputusan informasi pada produk
dan layanan perbankan lainnya.
Selain berdampak bagi kesejahteraan masyarakat, tingginya tingkat melek
keuangan suatu negara juga berdampak pada kestabilan ekonomi negara itu.
Pasalnya, jika pembiayaan suatu negara berasal dari dalam negeri, bantalan
ekonomi akan semakin kuat. Suatu lembaga riset keuangan pernah membuat
simulasi, jika masyarakat kecil seperti nelayan dan petani di seluruh pelosok
Tanah Air menabung setidaknya Rp 10.000 per hari, perbankan setidaknya akan
mendapat tambahan dana sekitar
Rp 90 triliun per tahun.
Angka yang sangat besar bukan? Semenjak 2010, BI sudah mengeluarkan
program ”Tabunganku” yang nominal pembukaan rekeningnya lebih mudah dan bebas
biaya administrasi. Sejak pengawasan lembaga keuangan beralih ke Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), mereka telah meningkatkan program tersebut. Langkah
terbaru dengan jemput bola dalam mengenalkan fungsi dan peran lembaga
keuangan dengan mobil Sistem Informasi Lembaga Keuangan (Simolek).
Dengan menggandeng sejumlah kementerian, lembaga negara dan organisasi
kemasyarakatan, OJK membuat trainer of trainee (TOT). Diharapkan, opinion
leader seperti guru di sekolah akan mengenalkan pentingnya pengetahuan
mengelola keuangan kepada pelajar, ibu rumah tangga, petani, nelayan, dan
pengusaha UMKM. Edukasi dan sosialisasi masyarakat mengenai fungsi dan produk
lembaga keuangan merupakan pilar dasar dalam proses panjang literasi
keuangan.
Tahun ini, Sistem Nasional Literasi Keuangan Indonesia yang mulai
diluncurkan 2013 menitikberatkan pada ibu-ibu rumah tangga dan pengusaha
UMKM. Setelah edukasi, OJK juga menyiapkan infrastruktur dan mengembangkan
produk lembaga keuangan yang sesuai kebutuhan mereka. OJK juga mengembangkan
gerakan asuransi mikro dengan premi super murah, sekitar Rp 50.000 setiap tahun.
Selama ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan proteksi terhadap
kesehatannya sangat rendah. Sebagian besar masyarakat merasa enggan membayar
untuk sesuatu yang bersifat pencegahan dan belum pasti. Survei Literasi
Keuangan OJK 2013 menyebutkan, di Indonesia pemahaman masyarakat tentang
pentingnya asuransi baru sekitar 18 persen. Sementara tingkat pemanfaatan
produknya sekitar 12 persen. Namun, dengan premi kecil, tetapi dapat mencakup
kebutuhan dasar masyarakat, hampir dapat dipastikan mereka tak akan berpikir
dua kali untuk ikut. Lembaga keuangan seperti perbankan atau anak usaha
perbankan bisa mengemas asuransi mikro ini dengan tabungan seperti layaknya
bancasurrance.
Perlindungan
konsumen
Jika tingkat kesadaran masyarakat sudah lebih baik lagi, lembaga
keuangan juga bisa mengenalkan reksa dana mikro kepada mereka. Memang benar,
hingga saat ini investasi melalui reksa dana adalah hal termudah dan termurah
yang menawarkan imbal hasil menarik. Kepemilikan reksa dana juga bisa dimulai
dari Rp 100.000 saja. Beberapa bank juga telah menggabungkan program ini
dengan simpanan, proteksi, dan investasi. Sesuai peribahasa: sekali mengayuh
dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Apalagi, sebelum akhir 2014, OJK juga berencana mempermudah aturan bagi
lembaga keuangan nonbank dan minimarket untuk menjadi agen penjual reksa dana
(aperd). Di pasar modal, sejumlah
langkah dilakukan OJK untuk memudahkan investor masuk ke pasar keuangan.
Selain pengembangan infrastruktur dan produk, juga dilakukan langkah
perlindungan konsumen.
Dengan angka melek keuangan yang rendah, masyarakat kita sering jadi
korban investasi bodong. Mereka kerap kali tergiur besarnya imbal hasil yang
ditawarkan sehingga bukan untung yang didapat, melainkan buntung. Hingga
Oktober lalu, OJK setidaknya menangani pengaduan yang estimasi nilainya
mencapai Rp 44,4 miliar. Dalam upaya melindungi masyarakat, OJK mengeluarkan
aturan penerbitan POJK No 1/POJK.07/2013 soal Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan. Salah satu turunan aturan ini, Surat Edaran OJK terkait
penawaran produk lembaga keuangan lewat telemarketing.
Melalui aturan ini, OJK mengharuskan lembaga keuangan yang sering
menawarkan produknya lewat telemarketing agar memperoleh izin dulu dari
nasabah. Jika nasabah setuju datanya diakses, selama proses penawaran
tersebut, mereka juga harus merekamnya. Jadi, jika nasabah merasa tak pernah
sepakat untuk ditawari produk melalui telepon, segera laporkan hal itu kepada
OJK! Meski telah melakukan berbagai langkah, pekerjaan rumah OJK masih jauh
dari selesai. Mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga dalam hal
literasi keuangan, salah satunya.
Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk masuk ke dalam
sistem keuangan perlu waktu sangat panjang dan bahkan bisa tidak selesai
dalam kurun waktu satu masa pemerintahan. Butuh langkah masif dan
kesinambungan kebijakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar