Dampak
Berantai Penghapusan Raskin
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (AEPI), dan Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan
Globalisasi
|
KORAN
SINDO, 09 Desember 2014
Pelbagai terobosan dan gebrakan dilakukan oleh menteri Kabinet Kerja
Presiden Jokowi. Salah satunya Menteri BUMN Rini Soemarno. Baru beberapa hari
dilantik, Rini menggulirkan wacana panas: menghapus program beras untuk
rakyat miskin (Raskin). Menurut Rini, agar tepat sasaran, program tidak lagi
diberikan dalam bentuk barang, tetapi diganti bantuan uang dalam rekening
(e-money). Dengan uang itu, warga penerima bantuan bisa membeli beras sesuai
selera dan kualitas yang dikehendaki.
Perubahan ini selaras visi dan misi Presiden Jokowi agar warga miskin
produktif, bukan konsumtif. Sampai saat ini program Raskin memang belum lepas
dari masalah. KPK bahkan meminta pemerintah untuk mendesain ulang program
Raskin. Dari kajian KPK ada enam temuan tidak tepat: tidak tepat sasaran,
jumlah, mutu, waktu, harga, dan administrasi.
KPK bahkan mencium indikasi ada indikasi jaringan kartel penyaluran
Raskin. Raskin yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke
pengepul. Ironisnya, beras yang berada di tangan pengepul itu akhirnya dijual
lagi ke rumah tangga sasaran. Survei penyaluran Raskin oleh BPS,
Januari-Maret 2013, menemukan Raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga.
Padahal, sasaran Raskin hanya 15,5 juta rumah tangga. Artinya separuh
penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1
atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya semua
menerima Raskin. Kenyataannya hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang
menerima jatah rata-rata bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari seharusnya (15
kg).
Tiga juta rumah tangga penerima Raskin sisanya ada di lapisan 2.
Kenyataannya, di lapisan ini penerima Raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga
atau 66,27% dari jumlah rumah dengan jatah 13,31 kg. Ironisnya, lapisan 3-5
yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan Raskin: 6,85 juta rumah
tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6%
dari lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5).
Pertanyaannya, apakah kemudian Raskin dihapus dan digantikan bantuan
uang? Mengganti beras dengan uang boleh jadi lebih tepat sasaran. Namun,
mengganti beras dengan uang justru berpotensi besar membuat tujuan awal
program Raskin melenceng. Pertama-tama tujuan Raskin adalah transfer energi
untuk meningkatkan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas
SDM.
Selama setahun mereka mendapat 15 kg beras per keluarga dengan menebus
Rp1.600/kg. Dengan bantuan itu, diasumsikan 40-60% total kebutuhan beras
bulanan keluarga miskin dan rawan pangan bisa dipenuhi. Lewat subsidi ini,
kelompok miskin akan bisa mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein.
Rawan pangan tak terjadi. Mereka
tidak mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialihkan ke keranjang
pangan karena ada Raskin. Berbeda apabila tidak ada Raskin. Ketika harga
beras naik, warga miskin yang 60-70% pengeluarannya tersedot untuk pangan
akan merealokasi keranjang belanja rumah tangga: pos kesehatan dan pendidikan
akan dialihkankepangan.
Bukan mustahil kelaparan akan meruyak. Saat ini jumlah penduduk miskin
masih besar: 28,07 juta jiwa (11,37%). Pelbagai upaya telah dilakukan, tetapi
penurunan jumlah penduduk miskin kian lambat sejak tahun 2000-an. Selain itu,
jumlah penduduk yang defisit energi (kurang kalori) mencapai 30 juta jiwa.
Status gizi anak di bawah lima tahun (balita) juga tidak mengalami perbaikan
signifikan dalam 10 tahun terakhir.
Tahun 2013, balita stunting mencapai 37,2%, dan yang kekurangan gizi
19,6% yang 5,7% di antaranya berstatus gizi buruk. Boleh jadi karena ini
Indeks Kelaparan Global Indonesia tak kunjung membaik. Tahun 2013 indeks
Indonesia mencapai 10,1 yang berarti termasuk indeks “kelaparan serius”, sama
seperti tahun 2012. Penggantian beras dengan uang berpeluang memperburuk
indeks kelaparan.
Bukan mustahil uang dibelikan pulsa atau rokok, bukan untuk belanja
beras (pangan). Jadi, berbeda dengan program lain, Raskin punya kaitan kuat
dengan program pengembangan SDM (horizontal
integration) dan program ketahanan pangan (vertical integration). Sebagai program transfer energi,
keberhasilan Raskin akan membantu program lain seperti peningkatan kualitas
nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas SDM. Raskin bisa dipandang
sebagai investasi SDM yang lebih tahan pelbagai risiko.
Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect
income transfer. Beras itu dibeli dari produksi petani kecil yang rentan
oleh fluktuasi harga saat panen raya. Pembelian hasil produksi petani oleh
Bulog lewat harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian
pemerintah atau HPP) merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar
mereka mendapatkan insentif.
Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui
pembelian pemerintah dan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada
kelompok miskin dan rawan pangan. Apabila bantuan beras diganti dengan uang,
tidak ada lagi kewajiban Bulog membeli gabah/beras petani untuk memenuhi pagu
Raskin.
Akibatnya, tak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani. Harga
rentan fluktuasi. Ujungujungnya, inflasi sulit dikendalikan karena beras
penyumbang terbesar inflasi. Selain itu, hilang sudah mekanisme penyerapan
gabah/beras domestik terbesar oleh Bulog. Bukan mustahil cadangan beras
pemerintah akan sepenuhnya dipenuhi dari impor. Padahal, produksi beras
domestik jauh dari memadai.
Sampai saat ini harga beras domestik masih lebih mahal dari beras impor.
Karena itu, tidak terhindarkan apabila ada yang berpikiran nakal:
jangan-jangan rencana penggantian beras dengan uang dalam program Raskin itu
untuk memuluskan impor beras? Bukankah insentif ekonomi impor beras tinggi?
Tanpa penjelasan yang masuk akal, kecurigaan semacam ini akan muncul.
Terakhir, beras adalah satusatunya komoditas yang pengelolaan stok,
cadangan pemerintah, harga, dan eksporimpornya diserahkan kepada Bulog. Beras
merupakan portofolio bisnis terbesar yang dikelola Bulog. Bahkan, pelbagai
infrastruktur BUMN ini (mulai gudang, penggilingan, hingga yang lain) hampir
semua terkait beras.
Ketika beras dalam program Raskin diganti uang, tidak relevan lagi
Bulog terlibat dalam penyaluran. Bisa dipastikan, jika rencana itu
direalisasikan sama saja membonsai Bulog pelan-pelan. Pada saat yang sama,
ketika Bulog tak lagi menerima mandat melakukan kegiatan publik (PSO) dalam
pembelian gabah/ beras domestik, menjaga harga dan ironstock, menyalurkan Raskin dan mengelola cadangan beras
pemerintah tidak ada lagi badan dan instrumen stabilisasi harga gabah/beras.
Gabah/beras sepenuhnya diserahkan ke pasar dan swasta akan mengambil
alih peran negara sebagai stabilisator harga. Inilah sejumlah dampak berantai
yang muncul ketika Raskin dihapus. Inikah yang kita kehendaki? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar