Kamis, 11 Desember 2014

Memperbaiki Ketimpangan Pembangunan

                 Memperbaiki Ketimpangan Pembangunan

Elfindri  ;   Profesor Ekonomi SDM danKoordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi UNAND
KORAN SINDO,  09 Desember 2014

                                                                                                                       


Buah dari proses meningkatnya tahapan pembangunan Indonesia dari negara berpendapatan rendah menjadi menengah adalah semakin meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan.

Fenomena yang sama terjadi ketika negara-negara Amerika Latin dalam proses pembangunannya periode tahun 1980-an. Namun selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010), Meksiko, Brasil, dan Cile, termasuk di mana distribusi pendapatannya tumbuh semakin membaik. Pertumbuhan indeks Gini per tahun masingmasingnya selama periode itu Meksiko (-1,21%), Brasil (-1,07%), dan Cile (-0,66%).

Artinya ketimpangan pembangunan semakin menyempit. Bertentangan dengan India dan China ketika pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, justru ketimpangan distribusi pendapatan mengalami peningkatan yang tajam. Dengan laju pertumbuhan rasio Gini di India (1,43%) dan China (2,02%), bagaimana kita dapat belajar dari fenomena itu?

Argumentasi Cash Transfer

Salah satu argumentasi yang semula dipercaya adalah ketimpangan pendapatan dapat diperkecil kalau negara memainkan peranan. Di antaranya dengan membantu kelompok masyarakat berpenghasilan terendah, dengan anggapan model ini diharapkan akan menumbuhkan daya beli masyarakat.

Kemudian dengan semakin mampunya kelompok masyarakat miskin, daya beli mereka akan meningkat. Dengan sendirinya akan menciptakan derived demand, yang dipercaya dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat. Kelompok yang berpikiran dengan strategi ini percaya bahwa peningkatan daya beli si miskin dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kemudian dengan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penerimaan pajak, dan menjadi sumber penggerak kembali secara autonomous pembangunan ekonomi. Argumen cash transfer itu cukup berlebihan jika saja jumlah yang disediakan oleh pemerintah untuk menalangi daya beli masyarakat miskin terbatas.

Justru argumentasi itu tepat jika ditujukan untuk menahan agar kelompok keluarga miskin semakin tidak jatuh pada jurang kemiskinan akut, sehingga memberikan uang kepada kelompok miskin cukup dapat menghindarkan mereka dari external shock. Minimal tidak lebih buruk dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Jika argumentasi terakhir yang digunakan, jelas bahwa cash transfers cukup menjadi cara untuk bertahan bagi keluarga miskin dari efek eksternal shock, atau dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Semisal pengurangan subsidi BBM ala Indonesia. Di Indonesia, cara ini semenjak presiden SBY dan kemudian dilanjutkan oleh Pak Jokowi-JK masih berlaku.

Namun jelas, cara cash transfers tidak dapat diharapkan untuk dapat memperbaiki distribusi pendapat masyarakat. Distribusi pendapatan masyarakat jelas telah meningkat dari sekitar 0,31 (indeks Gini) sekarang sudah melebihi 0,41. Tidak saja fenomena itu, di dalam propinsi juga menunjukkan tendensi ketimpangan yang semakin melebar.

Angka distribusi penghasilan (yang dinilai dari pengeluaran rumah tangga) tetap masih belum menunjukkan tendensi menurun. Saatnya pemerintah baru kita untuk menggunakan skema cash transfers dalam arti lebih produktif. Tidak melanjutkan social assistance sehingga kebergantungan masyarakat miskin berharap-harap menerima setiap tahun, namun justru dialihkan pada program produktif. Membuat jumlah alokasi curahan waktu tenaga kerja semakin bertambah di pasar kerja, bukan sebaliknya.

Model Cile

Dua faktor utama yang diyakini oleh Adrian Monk (2014, 3 Desember, Economist) dalam tulisannya “Chile: Narrowing income inequality, but at what costsChile: Narrowing income inequality, but at what costs”. Pertama, membangun sumber daya manusia. Artinya dipastikan agar pendidikan yang bermutu dapat diperoleh oleh kelompok keluarga miskin.

Setelah mereka selesai dalam menjalani pendidikan, kemudian dengan sendirinya akan memasuki pasar kerja bersamaan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Apalagi jika proses pendidikan dapat diperoleh dengan jaminan kualitas yang sesuai dengan keperluan pasar kerja.

Apa yang dilakukan di Cile juga sama dengan yang diwujudkan oleh Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia. Peranan pendidikan tinggi dapat mengurangi ketimpangan pendapatan via meningkatnya anakanak keluarga miskin yang berpendidikan, dan kemudian mereka dapat memberikan remittances kepada keluarga mereka.

Faktor kedua adalah sekalipun Cile diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas pertanian dunia, karena menghasilkan daging dan berbagai komoditas konsumsi utama, bonanza itu tentu diperoleh setelah berhasilnya proses pembangunan yang juga menguntungkan keluarga miskin, khususnya yang bergerak pada usaha pertanian.

Jelas kiranya dua pilar utama, akses pendidikan bermutu untuk seluruh penduduk, dan pembangunan pertanian tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan dua aspek itu nampaknya dapat direplikasi untuk konteks Indonesia.

Faktor ketiga yang tidak dalam penjelasan Cile mungkin benar untuk Indonesia adalah dengan membangun infrastruktur merata ke luar Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur. Jika pembangunan diarahkan untuk rumah tangga dan memeratakan pembangunan wilayah, resep ini mungkin akan dapat diperiksa dampaknya sepuluh tahun yang akan datang. Indeks Gini di Indonesia diperkirakan akan turun, sepertinya sejarah yang telah terjadi di berbagai negara Amerika Latin saat ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar