Memperbaiki
Ketimpangan Pembangunan
Elfindri ; Profesor Ekonomi SDM danKoordinator Program S-3 Ilmu
Ekonomi UNAND
|
KORAN
SINDO, 09 Desember 2014
Buah dari proses meningkatnya tahapan pembangunan Indonesia dari negara
berpendapatan rendah menjadi menengah adalah semakin meningkatnya ketimpangan
distribusi pendapatan.
Fenomena yang sama terjadi ketika negara-negara Amerika Latin dalam
proses pembangunannya periode tahun 1980-an. Namun selama sepuluh tahun
terakhir (2000-2010), Meksiko, Brasil, dan Cile, termasuk di mana distribusi
pendapatannya tumbuh semakin membaik. Pertumbuhan indeks Gini per tahun
masingmasingnya selama periode itu Meksiko (-1,21%), Brasil (-1,07%), dan
Cile (-0,66%).
Artinya ketimpangan pembangunan semakin menyempit. Bertentangan dengan
India dan China ketika pertumbuhan ekonomi meningkat tajam, justru
ketimpangan distribusi pendapatan mengalami peningkatan yang tajam. Dengan laju
pertumbuhan rasio Gini di India (1,43%) dan China (2,02%), bagaimana kita
dapat belajar dari fenomena itu?
Argumentasi
Cash Transfer
Salah satu argumentasi yang semula dipercaya adalah ketimpangan
pendapatan dapat diperkecil kalau negara memainkan peranan. Di antaranya
dengan membantu kelompok masyarakat berpenghasilan terendah, dengan anggapan
model ini diharapkan akan menumbuhkan daya beli masyarakat.
Kemudian dengan semakin mampunya kelompok masyarakat miskin, daya beli
mereka akan meningkat. Dengan sendirinya akan menciptakan derived demand,
yang dipercaya dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat. Kelompok yang berpikiran
dengan strategi ini percaya bahwa peningkatan daya beli si miskin dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kemudian dengan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan penerimaan pajak,
dan menjadi sumber penggerak kembali secara autonomous pembangunan ekonomi.
Argumen cash transfer itu cukup berlebihan jika saja jumlah yang disediakan
oleh pemerintah untuk menalangi daya beli masyarakat miskin terbatas.
Justru argumentasi itu tepat jika ditujukan untuk menahan agar kelompok
keluarga miskin semakin tidak jatuh pada jurang kemiskinan akut, sehingga
memberikan uang kepada kelompok miskin cukup dapat menghindarkan mereka dari external shock. Minimal tidak lebih
buruk dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Jika argumentasi terakhir yang digunakan, jelas bahwa cash transfers
cukup menjadi cara untuk bertahan bagi keluarga miskin dari efek eksternal
shock, atau dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Semisal
pengurangan subsidi BBM ala Indonesia. Di Indonesia, cara ini semenjak
presiden SBY dan kemudian dilanjutkan oleh Pak Jokowi-JK masih berlaku.
Namun jelas, cara cash transfers tidak dapat diharapkan untuk dapat
memperbaiki distribusi pendapat masyarakat. Distribusi pendapatan masyarakat
jelas telah meningkat dari sekitar 0,31 (indeks Gini) sekarang sudah melebihi
0,41. Tidak saja fenomena itu, di dalam propinsi juga menunjukkan tendensi
ketimpangan yang semakin melebar.
Angka distribusi penghasilan (yang dinilai dari pengeluaran rumah
tangga) tetap masih belum menunjukkan tendensi menurun. Saatnya pemerintah
baru kita untuk menggunakan skema cash transfers dalam arti lebih produktif.
Tidak melanjutkan social assistance sehingga kebergantungan masyarakat miskin
berharap-harap menerima setiap tahun, namun justru dialihkan pada program
produktif. Membuat jumlah alokasi curahan waktu tenaga kerja semakin
bertambah di pasar kerja, bukan sebaliknya.
Model
Cile
Dua faktor utama yang diyakini oleh Adrian Monk (2014, 3 Desember, Economist) dalam tulisannya “Chile: Narrowing income inequality, but
at what costsChile: Narrowing income inequality, but at what costs”.
Pertama, membangun sumber daya manusia. Artinya dipastikan agar pendidikan
yang bermutu dapat diperoleh oleh kelompok keluarga miskin.
Setelah mereka selesai dalam menjalani pendidikan, kemudian dengan
sendirinya akan memasuki pasar kerja bersamaan dengan anak-anak yang berasal
dari keluarga kaya. Apalagi jika proses pendidikan dapat diperoleh dengan
jaminan kualitas yang sesuai dengan keperluan pasar kerja.
Apa yang dilakukan di Cile juga sama dengan yang diwujudkan oleh Korea
Selatan, Singapura, dan Malaysia. Peranan pendidikan tinggi dapat mengurangi
ketimpangan pendapatan via meningkatnya anakanak keluarga miskin yang
berpendidikan, dan kemudian mereka dapat memberikan remittances kepada keluarga mereka.
Faktor kedua adalah sekalipun Cile diuntungkan dengan kenaikan harga
komoditas pertanian dunia, karena menghasilkan daging dan berbagai komoditas
konsumsi utama, bonanza itu tentu diperoleh setelah berhasilnya proses
pembangunan yang juga menguntungkan keluarga miskin, khususnya yang bergerak
pada usaha pertanian.
Jelas kiranya dua pilar utama, akses pendidikan bermutu untuk seluruh
penduduk, dan pembangunan pertanian tidak bisa diserahkan kepada mekanisme
pasar. Keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan dua aspek itu nampaknya
dapat direplikasi untuk konteks Indonesia.
Faktor ketiga yang tidak dalam penjelasan Cile mungkin benar untuk
Indonesia adalah dengan membangun infrastruktur merata ke luar Jawa,
Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur. Jika pembangunan diarahkan
untuk rumah tangga dan memeratakan pembangunan wilayah, resep ini mungkin akan
dapat diperiksa dampaknya sepuluh tahun yang akan datang. Indeks Gini di
Indonesia diperkirakan akan turun, sepertinya sejarah yang telah terjadi di
berbagai negara Amerika Latin saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar