Selasa, 02 Desember 2014

Arah Baru Pendidikan Tinggi

              Arah Baru Pendidikan Tinggi

A Ilyas Ismail  ;   Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Dekan FAI-UIA Jakarta
MEDIA INDONESIA,  01 Desember 2014

Artikel AII dengan judul yang sama telah dimuat di REPUBLIKA 12 November 2014
                                                                                                                       


PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo memindah posisi pendidikan tinggi (dikti) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) sehingga nomenklatur kementerian yang terakhir itu menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Perubahan itu sempat menimbulkan pro dan kontra dari kalangan pakar dan akademisi.

Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, merupakan salah seorang pakar yang menentang keras perubahan itu. Argumennya, yakni pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Tidak bisa dibayangkan, ada pendidikan tanpa berbasis kebudayaan. (Kompas, 7/11). Penempatan dikti setelah ristek juga dinilai membingungkan alias kurang tepat karena dikti ialah induk dari ristek, bukan sebaliknya. (Sulistyowati Irianto, Kompas 6/11). Oleh karena itu, mengikuti jalan pikiran tersebut, maka nomenklatur kementerian itu mestinya berbunyi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi (Kemendikti dan Ristek).

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, harapan dari perubahan kebijakan itu tidak hanya berkutat pada persoalan kelembagaan belaka, tetapi juga persoalan yang lebih mendasar dan substantif sehingga dapat membawa kebaikan dan semangat baru bagi kemajuan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Faktanya, PT kita saat ini memang belum menggembirakan. Hanya ada tiga universitas di Indonesia yang masuk peringkat 500 besar world university rankings, yaitu UI (peringkat 273), UGM (401-450), dan ITB (451-500). Untuk peringkat di Asia, UI urutan ke-71, ITB ke-125, dan UGM ke145. Peringkat itu tentu jauh di bawah National University of Singapore (NUS) yang bertengger di peringkat pertama, disusul Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) kedua, dan University of Malaya (UM) ke-31.

Paradigma baru

Integrasi dikti ke ristek atau sebaliknya, secara paradigmatis sebenarnya menggambarkan arah baru penyelenggaraan PT ke depan, terutama dalam rangka mempertegas tugas pokok PT. Karena itu, sebagai lembaga pendidikan tinggi yang sarat dengan naluri keilmuan tingkat tinggi, maka kebutuhan untuk memperluas cakupan dan kedalaman penelitian ialah imperatif. Melalui penelitian itu diharapkan aspek keilmuan sivitas akademika PT akan terus meningkat sehingga upaya penciptaan dan penyebaran pengetahuan baru (generating and spreading new knowledge) kepada masyarakat dapat terus berlangsung. Manfaat keilmuan baru tersebut pun dapat berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Dengan paradigma baru itu, kita berharap aspek riset dapat berkembang secara pesat dan kuat, sejalan dengan keinginan pemerintah.

Jika diselisik lebih dalam dengan melihat perkembangan universitas di belahan dunia lain, setidaknya perubahan paradigma itu dibarengi sedikitnya tiga hal. 

Pertama, perubahan paradigma dari universitas pengajaran ke universitas penelitian (from teaching to research university). Belakangan ini sudah banyak yang mendeklarasikan diri sebagai universitas penelitian. Bahkan, ada yang lebih berani menyebutnya sebagai world class research university, walau kenyataannya baru pada tataran jargon.

Pergeseran paradigma yang pertama itu menghendaki penguatan pada bidang penelitian, bukan pengajaran. Penelitian harus menjadi kerja inti dari seluruh sivitas akademika PT. Penguatan tersebut mesti dilakukan dengan menumbuhkan semangat meneliti di kalangan dosen dan mahasiswa, meningkatkan kemampuan meneliti, dan yang tidak kalah pentingnya ialah menyediakan dukungan dana yang memadai.

Persoalan dana memang problematik karena sangat rumit dan birokratis, juga jumlahnya sangat terbatas. Bayangkan, secara nasional, anggaran pemerintah (APBN) untuk riset hanya sebesar 0,08% dari PDB per tahun. Angka itu tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan belanja publik untuk riset di negara-negara Asia, seperti Tiongkok mencapai 2,0%, Jepang 3,40%, Korea Selatan 4,04%, Singapura 2,20%, Malaysia 1,07%, dan negara-negara OECD, yakni Inggris 2,75%, Jerman 2,90%, Swedia 3,40%, dan AS 2,80%. (Data World Bank: 2009-2013).

Kedua, sejalan dengan penguatan riset di atas, maka paradigma pembelajaran juga harus diubah, dari mencari ilmu kepada penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan (from knowledge seeking to knowledge creation and development). Selama ini proses pembelajaran masih menitikberatkan pada fungsi transfer pengetahuan daripada menciptakan pengetahuan baru. 

Paradigma pembelajaran semacam itu memang sudah saatnya diakhiri karena kemajuan informasi dan teknologi memudahkan mahasiswa untuk mencari sumber belajar. Akan tetapi, pembelajaran yang berbasis riset masih jarang dikembangkan apalagi proses belajar yang menekankan kepada kemampuan berpikir kritis (critical thinking) secara naratif. Mereka perlu dibekali lebih kuat terkait cara berpikir logis secara deduktif ataupun induktif agar terbiasa untuk memecahkan masalah yang ada di sekitar mereka (Helpern:1996).

Ketiga, pergeseran paradigma terkait visi dosen di PT, dari hanya sebagai fasilitator pengajaran menjadi teman sejawat dalam penelitian (from facilitator to peer group on learning and research). Pada masa lalu, guru atau dosen dipandang sebagai pusat pengajaran (teacher centered learning) sehingga peserta didik dianggap sebagai makhluk tidak berkesadaran atau ibarat ‘botol kosong’ menurut bahasa Paulo Fraire. Pandangan itu menempatkan dosen-mahasiswa tidak setara karena dosen dianggap pandai dan mahasiswa bodoh. Dosen mengajar, sedangkan mahasiswa belajar.

Pelibatan mahasiswa

Sekarang pusat belajar harus diletakkan pada mahasiswa, di mana dosen-mahasiswa ditempatkan setara atau sejajar. Karena itu, sederajat dan setara, maka dosen tidak hanya menjadi fasilitator, tetapi juga harus menjadi pendamping dalam kegiatan riset-belajar.Pergeseran paradigma yang ketiga itu menghendaki dosen melibatkan sebanyak mungkin mahasiswa dalam riset-riset yang dilakukan. Baik riset untuk kepentingan perkuliahan (pembelajaran), riset dasar dalam rangka pengem bangan ilmu (pure research), maupun riset terapan dalam rangka kemajuan industri dan ekonomi bangsa (applied research).

Harus diakui selama ini tidak banyak dosen yang melibatkan maha siswa dalam riset yang dilakukan tersebut. Pelibatan mahasiswa biasanya hanya terkait aspek teknis bukan substansi, yakni sebagai tenaga lapangan sukarela untuk penyebaran dan pengumpulan angket penelitian. Lain tidak!

Kenyataan itu diperparah lagi oleh kenyataan di mana riset kita terpencar-pencar di berbagai lembaga tanpa koordinasi dan harmonisasi yang baik. Akibatnya, riset dan publikasi ilmiah kita secara internasional memang kedodoran alias tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Ristek dan dikti harus disinergiskan dan diintegrasikan dengan industri agar lebih produktif dan kontributif bagi kemajuan bangsa. Integrasi ketiga (ristek-dikti-industri) akan melahirkan kekuatan baru yang memungkinkan Indonesia menjadi negara industri maju. Gagasan agar PT menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) dan mampu mengembangkan apa yang belakangan dinamakan knowledge based economy akan menjadi kenyataan hanya bila ketiganya bersatu padu, tidak terpencar-pencar, dan berjalan sendiri-sendiri.

Dengan riset dasar yang kuat dan terpadu tersebut, maka PT kita bisa mulai melakukan inovasi pengembangan ilmu dengan karakter khusus (scientific indigenous base). Itu akan menjadi salah satu keunggulan. Beberapa negara, seperti Korsel, Singapura, Malaysia, dan Taiwan diketahui telah melakukan inovasi tersebut sehingga iptek yang dikembangkan memberi kontribusi besar bagi kemajuan negara-negara tersebut (Altbach, 1989). Model pengembangan iptek semacam itu, pernah menjadi perhatian Teasdele dan timnya dari Flinders University Australia beberapa waktu yang lalu.

Jika jenis Inovasi itu bisa dilakukan lima tahun ke depan, PT kita pasti akan mengubah arogansi dan tradisi kerja intelektual di kalangan kita. Menurut almarhum Nurcholish Madjid, itu hanya menjadi `konsumen' bukan `produsen'. Sejalan dengan pergeseran kekuatan global dari Barat ke Asia, maka hal yang mula-mula kita lakukan ialah mengubah paradigma atau arah baru PT. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar