Arah
Baru Pendidikan Tinggi
A Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Dekan FAI-UIA
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Desember 2014
Artikel AII dengan judul yang sama telah dimuat di REPUBLIKA 12 November 2014
Artikel AII dengan judul yang sama telah dimuat di REPUBLIKA 12 November 2014
PEMERINTAHAN
Presiden Joko Widodo memindah posisi pendidikan tinggi (dikti) dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke Kementerian Riset dan
Teknologi (Kemenristek) sehingga nomenklatur kementerian yang terakhir itu
menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan
Dikti). Perubahan itu sempat menimbulkan pro dan kontra dari kalangan pakar
dan akademisi.
Daoed
Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, merupakan salah seorang
pakar yang menentang keras perubahan itu. Argumennya, yakni pendidikan tidak
boleh dipisahkan dari kebudayaan. Tidak bisa dibayangkan, ada pendidikan
tanpa berbasis kebudayaan. (Kompas,
7/11). Penempatan dikti setelah ristek juga dinilai membingungkan alias
kurang tepat karena dikti ialah induk dari ristek, bukan sebaliknya. (Sulistyowati Irianto, Kompas 6/11). Oleh
karena itu, mengikuti jalan pikiran tersebut, maka nomenklatur kementerian
itu mestinya berbunyi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi
(Kemendikti dan Ristek).
Terlepas
dari pro dan kontra tersebut, harapan dari perubahan kebijakan itu tidak
hanya berkutat pada persoalan kelembagaan belaka, tetapi juga persoalan yang
lebih mendasar dan substantif sehingga dapat membawa kebaikan dan semangat
baru bagi kemajuan perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Faktanya, PT kita saat
ini memang belum menggembirakan. Hanya ada tiga universitas di Indonesia yang
masuk peringkat 500 besar world
university rankings, yaitu UI (peringkat 273), UGM (401-450), dan ITB
(451-500). Untuk peringkat di Asia, UI urutan ke-71, ITB ke-125, dan UGM
ke145. Peringkat itu tentu jauh di bawah National
University of Singapore (NUS) yang bertengger di peringkat pertama,
disusul Korea Advanced Institute of
Science and Technology (KAIST) kedua, dan University of Malaya (UM)
ke-31.
Paradigma baru
Integrasi
dikti ke ristek atau sebaliknya, secara paradigmatis sebenarnya menggambarkan
arah baru penyelenggaraan PT ke depan, terutama dalam rangka mempertegas tugas
pokok PT. Karena itu, sebagai lembaga pendidikan tinggi yang sarat dengan
naluri keilmuan tingkat tinggi, maka kebutuhan untuk memperluas cakupan dan
kedalaman penelitian ialah imperatif. Melalui penelitian itu diharapkan aspek
keilmuan sivitas akademika PT akan terus meningkat sehingga upaya penciptaan
dan penyebaran pengetahuan baru (generating
and spreading new knowledge) kepada masyarakat dapat terus berlangsung.
Manfaat keilmuan baru tersebut pun dapat berimplikasi langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Dengan paradigma baru itu, kita berharap aspek
riset dapat berkembang secara pesat dan kuat, sejalan dengan keinginan
pemerintah.
Jika
diselisik lebih dalam dengan melihat perkembangan universitas di belahan
dunia lain, setidaknya perubahan paradigma itu dibarengi sedikitnya tiga hal.
Pertama, perubahan paradigma dari universitas pengajaran ke universitas
penelitian (from teaching to research
university). Belakangan ini sudah banyak yang mendeklarasikan diri
sebagai universitas penelitian. Bahkan, ada yang lebih berani menyebutnya
sebagai world class research university,
walau kenyataannya baru pada tataran jargon.
Pergeseran
paradigma yang pertama itu menghendaki penguatan pada bidang penelitian,
bukan pengajaran. Penelitian harus menjadi kerja inti dari seluruh sivitas
akademika PT. Penguatan tersebut mesti dilakukan dengan menumbuhkan semangat
meneliti di kalangan dosen dan mahasiswa, meningkatkan kemampuan meneliti,
dan yang tidak kalah pentingnya ialah menyediakan dukungan dana yang memadai.
Persoalan
dana memang problematik karena sangat rumit dan birokratis, juga jumlahnya
sangat terbatas. Bayangkan, secara nasional, anggaran pemerintah (APBN) untuk
riset hanya sebesar 0,08% dari PDB per tahun. Angka itu tentu sangat kecil
jika dibandingkan dengan belanja publik untuk riset di negara-negara Asia,
seperti Tiongkok mencapai 2,0%, Jepang 3,40%, Korea Selatan 4,04%, Singapura
2,20%, Malaysia 1,07%, dan negara-negara OECD, yakni Inggris 2,75%, Jerman
2,90%, Swedia 3,40%, dan AS 2,80%. (Data
World Bank: 2009-2013).
Kedua,
sejalan dengan penguatan riset di atas, maka paradigma pembelajaran juga
harus diubah, dari mencari ilmu kepada penciptaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan (from knowledge seeking to
knowledge creation and development). Selama ini proses pembelajaran masih
menitikberatkan pada fungsi transfer pengetahuan daripada menciptakan
pengetahuan baru.
Paradigma pembelajaran semacam itu memang sudah saatnya
diakhiri karena kemajuan informasi dan teknologi memudahkan mahasiswa untuk
mencari sumber belajar. Akan tetapi, pembelajaran yang berbasis riset masih
jarang dikembangkan apalagi proses belajar yang menekankan kepada kemampuan
berpikir kritis (critical thinking)
secara naratif. Mereka perlu dibekali lebih kuat terkait cara berpikir logis
secara deduktif ataupun induktif agar terbiasa untuk memecahkan masalah yang
ada di sekitar mereka (Helpern:1996).
Ketiga,
pergeseran paradigma terkait visi dosen di PT, dari hanya sebagai fasilitator
pengajaran menjadi teman sejawat dalam penelitian (from facilitator to peer group on learning and research). Pada
masa lalu, guru atau dosen dipandang sebagai pusat pengajaran (teacher centered learning) sehingga
peserta didik dianggap sebagai makhluk tidak berkesadaran atau ibarat ‘botol
kosong’ menurut bahasa Paulo Fraire. Pandangan itu menempatkan dosen-mahasiswa
tidak setara karena dosen dianggap pandai dan mahasiswa bodoh. Dosen
mengajar, sedangkan mahasiswa belajar.
Pelibatan mahasiswa
Sekarang
pusat belajar harus diletakkan pada mahasiswa, di mana dosen-mahasiswa
ditempatkan setara atau sejajar. Karena itu, sederajat dan setara, maka dosen
tidak hanya menjadi fasilitator, tetapi juga harus menjadi pendamping dalam
kegiatan riset-belajar.Pergeseran paradigma yang ketiga itu menghendaki dosen
melibatkan sebanyak mungkin mahasiswa dalam riset-riset yang dilakukan. Baik
riset untuk kepentingan perkuliahan (pembelajaran), riset dasar dalam rangka
pengem bangan ilmu (pure research),
maupun riset terapan dalam rangka kemajuan industri dan ekonomi bangsa (applied research).
Harus diakui
selama ini tidak banyak dosen yang melibatkan maha siswa dalam riset yang
dilakukan tersebut. Pelibatan mahasiswa biasanya hanya terkait aspek teknis
bukan substansi, yakni sebagai tenaga lapangan sukarela untuk penyebaran dan
pengumpulan angket penelitian. Lain tidak!
Kenyataan
itu diperparah lagi oleh kenyataan di mana riset kita terpencar-pencar di
berbagai lembaga tanpa koordinasi dan harmonisasi yang baik. Akibatnya, riset
dan publikasi ilmiah kita secara internasional memang kedodoran alias
tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Ristek
dan dikti harus disinergiskan dan diintegrasikan dengan industri agar lebih
produktif dan kontributif bagi kemajuan bangsa. Integrasi ketiga
(ristek-dikti-industri) akan melahirkan kekuatan baru yang memungkinkan Indonesia
menjadi negara industri maju. Gagasan agar PT menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) dan mampu
mengembangkan apa yang belakangan dinamakan knowledge based economy akan menjadi kenyataan hanya bila
ketiganya bersatu padu, tidak terpencar-pencar, dan berjalan sendiri-sendiri.
Dengan
riset dasar yang kuat dan terpadu tersebut, maka PT kita bisa mulai melakukan
inovasi pengembangan ilmu dengan karakter khusus (scientific indigenous base). Itu akan menjadi salah satu
keunggulan. Beberapa negara, seperti Korsel, Singapura, Malaysia, dan Taiwan
diketahui telah melakukan inovasi tersebut sehingga iptek yang dikembangkan
memberi kontribusi besar bagi kemajuan negara-negara tersebut (Altbach, 1989). Model pengembangan
iptek semacam itu, pernah menjadi perhatian Teasdele dan timnya dari Flinders University Australia beberapa
waktu yang lalu.
Jika
jenis Inovasi itu bisa dilakukan lima tahun ke depan, PT kita pasti akan
mengubah arogansi dan tradisi kerja intelektual di kalangan kita. Menurut
almarhum Nurcholish Madjid, itu hanya menjadi `konsumen' bukan `produsen'. Sejalan
dengan pergeseran kekuatan global dari Barat ke Asia, maka hal yang mula-mula
kita lakukan ialah mengubah paradigma atau arah baru PT. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar