Negeri
Maritim Bersupremasi Dirgantara
Conniie RB dan UH Harahap ; Connie Rahakundini Bakrie, Direktur Indonesia
Maritime Studies; U H Harahap, Dosen Universitas Pertahanan, Staf Ahli Panglima
TNI
|
KORAN
SINDO, 02 Desember 2014
Berbeda pada abad kejayaan maritim lampau, tumbuh kembangnya teknologi
dalam mewujudkan kemampuan kekuatan laut yang andal saat ini dan masa
mendatang tidaklah dapat dipisahkan dari penggunaan ruang dan aset udara.
Hal ini telah menandai secara signifikan pentingnya penguasaan ruang
dan kekuatan udara bagi terwujudnya supremasi kekuatan maritim. Penguasaan
atas ruang udara terkait juga pada kewenangan untuk menetapkan air defence
identification zone (ADIZ). Dasar penerapan ADIZ adalah terjaminnya hak suatu
negara untuk menciptakan prakondisi bagi setiap pergerakan udara. ADIZ
mencantumkan wilayah udara atas daratan dan lautan di mana identifikasi,
lokasi, dan kontrol akan pergerakan pesawat diperlukan bagi kepentingan
pertahanan keamanan.
Beberapa negara malah menetapkan extended ADIZ zone yang melampaui
wilayah udara negara lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk memantau
dan menindak pesawat asing berawak atau tidak, yang ditengarai memiliki
potensi berbahaya. Pada dasarnya, zona ADIZ mencakup wilayah tak terbantahkan
atas kedaulatan suatu negara dan tidak tumpang tindih.
Karena umumnya ditetapkan secara unilateral, terjadi beragam model
penerapan pada aplikasinya. Jepang adalah satu- satunya negara yang menerapkan
ekspansi atas ADIZ-nya (1972 dan 2010). Korea Selatan telah memperluas zona
identifikasi wilayah udara nasionalnya hingga mencapai 666.480 km2 menyikapi
eskalasi terkait China ADIZ di 2013.
Selain menetapkan ADIZ Laut China Timur, secara tegas China mewajibkan
semua pesawat sipil dan nonsipil untuk mengidentifikasi diri ketika mendekati
zona ADIZ-nya. China bahkan menetapkan penerapan “langkahlangkah darurat
defensif” oleh AU PLA untuk pesawat yang tidak mau memberikan identifikasinya
(Bitzinger, 2013).
Langkah nyata China akan penerapan ADIZ dan aturan mainnya sebenarnya
merupakan reaksi atas aksi kebijakan AS ke Indo Pasific dengan US Pivot yang
merupakan elemen kunci evolusi kekuatan militer dengan membawa perubahan
signifikan pada aliansi AS di kawasan dengan beberapa kemampuan baru terkait
dengan teknologi dan sistem penginderaan terkini.
Presiden
Jokowi dan ADIZ
Konsep Nawacita pasangan Jokowi-JK yang membawa angin segar pada
kebijakan politik luar negeri dan pertahanan keamanan telah mendorong
kembalinya negeri ini untuk berorientasi ke laut dan memanfaatkan posisi
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi Indonesia sebagai negara Poros
Maritim Dunia.
Kebijakan ini sebenarnya merupakan momentum penting untuk menetapkan
ADIZ Indonesia segera secara unilateral. Mengapa? Pertama, ADIZ dapat menjadi
faktor karakteristik dan psikologis karena seorang pemimpin hebat dan
berkepribadian kuat akan mampu berorientasi pada kebijakan luar negeri
strategis untuk menunjukkan kemampuannya berperan di luar masalah domestik.
Kedua, ADIZ dapat menjadi cara meningkatkan nasionalisme Ketiga, ADIZ
dapat dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan peran Indonesia dalam
memperluasproyeksikekuatan menghadapi konstelasi kawasan dengan sekaligus
mengantisipasi strategi rebalancing AS sekaligus mengantisipasi kekuatan
China yang dianggap membawa dampak imbalancing pada kawasan.
Dalam rangka terwujudnya ASEAN
Political Security Community 2015, Presiden Jokowi dengan gaya
kepemimpinannya yang lugas dan tegas sebenarnya dapat mendorong ADIZ
Indonesia untuk bersatu dalam sebuah kebijakan One Sky Policy of ASEAN ADIZ. Mengapa? ASEAN hari ini
sesungguhnya memiliki kesulitan untuk “bersatu” secara komunitas karena
tercerai-berai akibat sengketa batas maritim.
One Sky
Policy of ASEAN ADIZ ini akan merupakan bagian dari strategi negara
ASEAN untuk dapat menimbulkan kembali perasaan bersatu sebagai komunitas
politik keamanan dengan menerapkan anti-access
and area-denial jauh dari garis pantai ke-10 negara ASEAN. Hal itu dipastikan
akan menghambat terseretnya negara-negara ASEAN dalam konflik atas ruang
udara kawasan.
Selain itu, bobot kredibilitas komunitas ASEAN untuk menjaga stabilitas
kawasan sekaligus dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan
Indonesia atas ruang udara nasionalnya yang terabaikan. Langkah inisiasi
unilateral ASEAN ADIZ ini akan menunjukkan peran Indonesia dalam memimpin
negara kawasan untuk melindungi kepentingan atas pengelolaan, pemanfaatan,
pengamanan atas wilayah maritim, danruangudarakolektifnya.
Indonesia
Indo-Pacific Gates
Dengan posisi Indonesia sebagai negara Poros Maritim dan Dirgantara
Dunia yang diharapkan mampu kembali mendorong lahirnya kembali identitas dan
perasaan bersatu kawasan sebagai satu komunitas, Indonesia dapat menerapkan
kebijakan politik luar negeri bebas aktif secara strategis dan tepat sasaran.
Untuk itu dua hal harus diperhatikan. Pertama, keamanan wilayah maritim
yang juga harus dianalisis dari sudut pandang keamananwilayahudara. Kedua,
berdasarkan letak geografisnya, Indonesia harus mampu meletakkan kepentingan
internasional dan regional dalam analis kebijakan pertahanan keamanannya ke
depan.
Untuk itu, dua gate pertahanan udara harus dibuka Indonesia dalam
perannya sebagai stabilisator kawasan, yaitu dengan menjadikan Morotai
sebagai gate pertahanan udara untuk keamanan wilayah Pasifik dan menjadikan
Sabang sebagai gate pertahanan udara untuk keamanan wilayah Samudra Hindia.
Dalam perannya membuka peluang sebagai “aktor pemain” di wilayah
Samudera Hindia, diperlukan pembangunan kekuatan udara TNI AU bersama negara
ASEAN dan China seputar Armada Barat yang akan mencakup kekuatan 7 pangkalan
udara dengan 1 wing udara yang mencakup 2 skuadron intai, 8 skuadron tempur,
2 skuadron heli serbu, 2 skuadron support, 2 skuadron angkut dan 1 skuadron strategic special force, serta 7
satuan pertahanan udara dan 10 satuan radar.
Untuk itu bagi kekuatan AL, Sabang harus menjadi pangkalan depan dengan
Pangkalan Aju di Belawan untuk menyokong Pangkalan Utama Jakarta. Sementara
dalam membuka peluangnya berpartisipasi di kawasan Samudra Pasifik,
pembangunan kekuatan udara TNI AU bersama negara ASEAN seputar Armada Timur
dan AS akan mencakup gelar kekuatan 6 pangkalan udara dengan 2 kekuatan wing
udara terdiri atas 4 skuadron intai, 32 skuadron tempur, 4 skuadron heli
serbu, 4 skuadron support , 5 skuadron angkut, 2 skuadron strategic special
forces , 2 wing Paskhas, 8 satuan pertahanan udara, dan 10 satuan radar.
Untuk itu Morotai harus menjadi pangkalan depan AL, sementara Ambon
menjadi Pangkalan Aju untuk menyokong Pangkalan Utama di Surabaya. Posisi
strategis Morotai dapat di-revisit mengingat relevansi lintas operasi udara
dan laut Hawaii-Okinawa-Guam-Darwin.
Dengan demikian Morotai dapat dikembangkan menjadi lanud operasional
dengan tujuh runway sisa PD II yang hanya memerlukan rehabilitasi untuk dapat
melaksanakan operasi udara. Sementara Lanal Morotai dapat dikembangkan untuk
mencakup armada lebih besar untuk melaksanakan tugas terpadu pertahanan
keamanan wilayah Samudra-Pasifik.
Pepatah latin mengatakan Novus
Rex Nova Lex. Semoga bangsa ini bisa mendukung pemimpin baru—dengan
kebijakan baru—yang berorientasi poros
maritim bersupremasi dirgantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar