Rekonsiliasi
Pelanggaran HAM
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 16 Agustus 2014
Salah
satu isu yang selalu muncul dalam setiap kontes politik di negara kita adalah
isu pelanggaran HAM di masa lalu. Dalam pekan ini, misalnya, LSM KontraS
melontarkan kritiknya kepada Jokowi karena di dalam Rumah Transisi yang
dibentuknya muncul nama AM Hendropriyono sebagai salah seorang penasihat.
KontraS
dan istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik bahwa pemberian peran kepada
Hendropriyono akan memudarkan visi-misi capres/cawapres Jokowi-JK tentang
janjinya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Sebab
Hendropriyono dianggap sebagai salah seorang yang juga terlibat pelanggaran
HAM di masa lalu terkait kasus Talangsari yang menelan korban lebih dari 240
orang.
Ketika
mantan Pangab Wiranto memunculkan dirinya sebagai capres/cawapres (2004,
2009, 2014) isu pelanggaran HAM juga muncul. Banyak aktivis HAM yang
menyerangnya sebagai tokoh yang tidak layak menjadi capres atau cawapres
karena Wiranto diduga pernah melakukan pelanggaran HAM berat di zaman Orde
Baru Berita bahwa Wiranto dilarang masuk ke Amerika Serikat karena
pelanggaran HAM dibesar-besarkan.
Pelanggaran-pelanggaran
HAM yang dikaitkan dengan Wiranto, antara lain, adalah peristiwa Dili,
operasi militer di Aceh, dan peristiwa Mei 1998. Hal yang sama terjadi pada
Prabowo Subianto. Tentangan para aktivis terhadap munculnya Prabowo sebagai
capres adalah karena isu pelanggaran HAM menjelang lengsernya Presiden
Soeharto pada 1998. Tak ada isu korupsi atau isu serius lain yang dikaitkan
dengan Prabowo selain soal tuduhan pelanggaran HAM.
Bahkan
dalam putaran pertama debat capres/cawapres awal Juni lalu Prabowo seperti
disindir cawapres Jusuf Kalla (JK) ketika JK menanyakan “bagaimana sikap Prabowo” terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.
Meskipun pertanyaan JK sebenarnya biasa saja, opini publik langsung menyorot
pada pelanggaran HAM oleh Prabowo.
Rasanya, sebagai bangsa, kita
tersandera oleh isu pelanggaran HAM yang selalu dimunculkan dalam setiap
kontes politik nasional atau dalam kompetisi peraihan jabatan-jabatan publik
yang penting. Mantan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh menyebut isu pelanggaran
HAM sudah jadi ritual politik lima tahunan tanpa upaya yang sungguh-sungguh
untuk menyelesaikannya demi kebaikan langkah bangsa ke depan.
Rasanya
wajar, bahkan mendesak, untuk mengakhiri kelelahan dan debat kusir yang tak
kunjung usai mengenai isu pelanggaran HAM ini melalui rekonsiliasi nasional.
Kita perlu melakukan langkah-langkah serius, antara lain melalui pembuatan
undang-undang rekonsiliasi lagi. Asumsinya, pelanggaran HAM yang terjadi pada
saat-saat itu sebagian besar adalah tanggung jawab negara.
Situasi
politik yang dikendalikan oleh negaralah yang pada saat-saat itu mendorong
terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat. Bahkan bisa ada klaim, kalau mereka
tak melakukan itu pada saat itu bisa dianggap melalaikan tugas negara, bahkan
mengkhianati negara. Jadi pencarian jawaban tentang sikap kita terhadap
pelanggaran HAM di masa lalu haruslah menelisiknya secara komprehensif, tak
cukup menyorot Hendro, Wiranto, Prabowo secara personal pada penggalan waktu
tertentu.
Isu
itu harus dilihat sebagai pengalaman pahit dalam spektrum sejarah kepolitikan
kita yang sudah terjadi dari waktu ke waktu. Pada zaman Orde Lama, terutama
pada penggal pertama tahun 1960-an, misalnya, terjadi pelanggaran HAM yang
serius. Sambil membonceng institusi-institusi negara Partai Komunis Indonesia
(PKI) melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap banyak kiai dan
aktivis Islam seperti dalam banyak kasus di Jawa Timur.
Ada
juga pembantaian keji terhadap perwira-perwira tinggi TNI. Pelakunya tentu
bukan Bung Karno, tetapi hal itu terjadi saat beliau jadi presiden. Pada awal
Orde Baru (penggal kedua 1960-an), di bawah kepresidenan Soeharto, terjadi
pembantaian keji terhadap ratusan ribu orang yang dianggap sebagai anggota
PKI yang disusul dengan diskriminasi dan isolasi secara kejam dalam waktu
yang panjang terhadap mereka dan keturunannya.
Pada
1984 terjadi peristiwa Tanjung Priok, pada 1989 terjadi peristiwa Talangsari,
pada 1991 terjadi peristiwa Santa Cruz (Dili), dan pada 1997-1999 terjadi
pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM), peristiwa Mei 1998, dan peristiwa
Dili. Di era Habibie ada peristiwa Ambon, di era Gus Dur ada peristiwa
Sampit. Semuanya tergolong peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi
karena paksaan situasi politik.
Jadi,
tidaklah fair kalau pelanggaran HAM hanya dikaitkan dengan orang-orang
tertentu sebab ia terjadi dalam semua rezim pemerintahan yang pernah ada.
Itulah sebabnya, akan lebih bermanfaat dan produktif kalau bangsa ini segera
mengagendakan rekonsiliasi nasional atas pelanggaran HAM masa lalu.
Melalui
rekonsiliasi kita bisa saling membuka kisah secara jujur, mengurai bahwa
situasi politik pada saat itu memang mendorong terjadinya hal itu, kemudian
saling memaafkan secara tulus dan akhirnya bersatu lagi secara rukun untuk
membangun bangsa agar maju dan jaya.
Kita
harus mengakhiri masalah ini secara terhormat melalui rekonsiliasi nasional.
Indonesia mempunyai semua modal yang diperlukan untuk menjadi maju dan jaya.
Salah satu syarat penting untuk meraih itu adalah kebersatuan dalam
keberbedaan kita dengan berpegang teguh pada ideologi dan konstitusi yang
telah kita sepakati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar