Minggu, 17 Agustus 2014

Rekonsiliasi Pelanggaran HAM

                                 Rekonsiliasi Pelanggaran HAM

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 16 Agustus 2014
                                                


Salah satu isu yang selalu muncul dalam setiap kontes politik di negara kita adalah isu pelanggaran HAM di masa lalu. Dalam pekan ini, misalnya, LSM KontraS melontarkan kritiknya kepada Jokowi karena di dalam Rumah Transisi yang dibentuknya muncul nama AM Hendropriyono sebagai salah seorang penasihat.

KontraS dan istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik bahwa pemberian peran kepada Hendropriyono akan memudarkan visi-misi capres/cawapres Jokowi-JK tentang janjinya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Sebab Hendropriyono dianggap sebagai salah seorang yang juga terlibat pelanggaran HAM di masa lalu terkait kasus Talangsari yang menelan korban lebih dari 240 orang.

Ketika mantan Pangab Wiranto memunculkan dirinya sebagai capres/cawapres (2004, 2009, 2014) isu pelanggaran HAM juga muncul. Banyak aktivis HAM yang menyerangnya sebagai tokoh yang tidak layak menjadi capres atau cawapres karena Wiranto diduga pernah melakukan pelanggaran HAM berat di zaman Orde Baru Berita bahwa Wiranto dilarang masuk ke Amerika Serikat karena pelanggaran HAM dibesar-besarkan.

Pelanggaran-pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Wiranto, antara lain, adalah peristiwa Dili, operasi militer di Aceh, dan peristiwa Mei 1998. Hal yang sama terjadi pada Prabowo Subianto. Tentangan para aktivis terhadap munculnya Prabowo sebagai capres adalah karena isu pelanggaran HAM menjelang lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. Tak ada isu korupsi atau isu serius lain yang dikaitkan dengan Prabowo selain soal tuduhan pelanggaran HAM.

Bahkan dalam putaran pertama debat capres/cawapres awal Juni lalu Prabowo seperti disindir cawapres Jusuf Kalla (JK) ketika JK menanyakan “bagaimana sikap Prabowo” terhadap pelanggaran HAM di masa lalu. Meskipun pertanyaan JK sebenarnya biasa saja, opini publik langsung menyorot pada pelanggaran HAM oleh Prabowo.

Rasanya, sebagai bangsa, kita tersandera oleh isu pelanggaran HAM yang selalu dimunculkan dalam setiap kontes politik nasional atau dalam kompetisi peraihan jabatan-jabatan publik yang penting. Mantan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh menyebut isu pelanggaran HAM sudah jadi ritual politik lima tahunan tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya demi kebaikan langkah bangsa ke depan.

Rasanya wajar, bahkan mendesak, untuk mengakhiri kelelahan dan debat kusir yang tak kunjung usai mengenai isu pelanggaran HAM ini melalui rekonsiliasi nasional. Kita perlu melakukan langkah-langkah serius, antara lain melalui pembuatan undang-undang rekonsiliasi lagi. Asumsinya, pelanggaran HAM yang terjadi pada saat-saat itu sebagian besar adalah tanggung jawab negara.

Situasi politik yang dikendalikan oleh negaralah yang pada saat-saat itu mendorong terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat. Bahkan bisa ada klaim, kalau mereka tak melakukan itu pada saat itu bisa dianggap melalaikan tugas negara, bahkan mengkhianati negara. Jadi pencarian jawaban tentang sikap kita terhadap pelanggaran HAM di masa lalu haruslah menelisiknya secara komprehensif, tak cukup menyorot Hendro, Wiranto, Prabowo secara personal pada penggalan waktu tertentu.

Isu itu harus dilihat sebagai pengalaman pahit dalam spektrum sejarah kepolitikan kita yang sudah terjadi dari waktu ke waktu. Pada zaman Orde Lama, terutama pada penggal pertama tahun 1960-an, misalnya, terjadi pelanggaran HAM yang serius. Sambil membonceng institusi-institusi negara Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap banyak kiai dan aktivis Islam seperti dalam banyak kasus di Jawa Timur.

Ada juga pembantaian keji terhadap perwira-perwira tinggi TNI. Pelakunya tentu bukan Bung Karno, tetapi hal itu terjadi saat beliau jadi presiden. Pada awal Orde Baru (penggal kedua 1960-an), di bawah kepresidenan Soeharto, terjadi pembantaian keji terhadap ratusan ribu orang yang dianggap sebagai anggota PKI yang disusul dengan diskriminasi dan isolasi secara kejam dalam waktu yang panjang terhadap mereka dan keturunannya.

Pada 1984 terjadi peristiwa Tanjung Priok, pada 1989 terjadi peristiwa Talangsari, pada 1991 terjadi peristiwa Santa Cruz (Dili), dan pada 1997-1999 terjadi pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM), peristiwa Mei 1998, dan peristiwa Dili. Di era Habibie ada peristiwa Ambon, di era Gus Dur ada peristiwa Sampit. Semuanya tergolong peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi karena paksaan situasi politik.

Jadi, tidaklah fair kalau pelanggaran HAM hanya dikaitkan dengan orang-orang tertentu sebab ia terjadi dalam semua rezim pemerintahan yang pernah ada. Itulah sebabnya, akan lebih bermanfaat dan produktif kalau bangsa ini segera mengagendakan rekonsiliasi nasional atas pelanggaran HAM masa lalu.

Melalui rekonsiliasi kita bisa saling membuka kisah secara jujur, mengurai bahwa situasi politik pada saat itu memang mendorong terjadinya hal itu, kemudian saling memaafkan secara tulus dan akhirnya bersatu lagi secara rukun untuk membangun bangsa agar maju dan jaya.

Kita harus mengakhiri masalah ini secara terhormat melalui rekonsiliasi nasional. Indonesia mempunyai semua modal yang diperlukan untuk menjadi maju dan jaya. Salah satu syarat penting untuk meraih itu adalah kebersatuan dalam keberbedaan kita dengan berpegang teguh pada ideologi dan konstitusi yang telah kita sepakati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar