Hargai
Kemerdekaan Rakyat
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 16 Agustus 2014
Dalam
menyambut peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69
tahun ini, ada satu realitas sosial yang patut dikritisi yaitu masih banyak
rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
Selama
ini ada adagium yang selalu digaungkan: ”jangan
tanya apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang sudah kamu
berikan pada negara”. Adagium ini perlu dibalik ”apa yang sudah diberikan negara (baca pemerintah) terhadap rakyat”
sebab sudah 69 tahun kita merdeka, tetapi masih banyak rakyat yang miskin dan
menjadi tenaga kerja di negeri orang.
Padahal,
makna hakiki ”kemerdekaan rakyat” bukan sekadar bebas menyampaikan pendapat,
beraktivitas, dan berusaha, melainkan yang terpenting adalah meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
28,28 juta jiwa (11,25%) dari total penduduk Indonesia hidup dalam
kemiskinan.
Apabila
ditambahkan dengan rakyat yang mendekati garis kemiskinan (near poor), jumlahnya menjadi 100 juta
jiwa. Ini menggambarkan masih banyak rakyat yang belum menikmati kehidupan
yang lebih baik, padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Salah
satu penyebab utama kemiskinan rakyat adalah perilaku korupsi pegawai negeri
dan penyelenggara negara yang mengemplang uang negara yang seharusnya
digunakan untuk membuka lapangan kerja dan membangun infrastruktur. Pajak dan
hasil pengelolaan kekayaan negara dicoleng oleh koruptor yang membuat program
pemberdayaan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan menjadi terabaikan.
Merdeka dari Korupsi
Praktik
korupsi yang terus mengganas yang ternyata disikapi secara permisif bukan
tidak mungkin akan semakin menjauhkan rakyat dari kemerdekaan sejati.
Pergantian pemerintahan setelah pemilihan presiden memang tidak menjamin
rakyat akan merasakan hakikat kemerdekaan. Tetapi, harus tetap optimistis dan
menjadikannya sebagai momentum untuk memulai kehidupan baru.
Korupsi
harus dilawan lantaran memiliki daya rusak yang sistemik dan berdampak masif.
Korupsi terbukti menggerogoti semua potensi yang memungkinkan peningkatan
kehidupan rakyat. Kita tidak akan pernah meraih hakikat merdeka sesuai
cita-cita luhur para pahlawan dan pendiri negara jika semua potensi kehidupan
rakyat dilumpuhkan oleh koruptor.
Meskipun
banyak kasus korupsi diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan, tetapi laksana gunung es, ditangkap satu tumbuh
seribu. Ladang korupsi di sektor pajak dan minyak sebagai sumber pendapatan
negara yang luar biasa besar bisa mengantar negeri ini ke jurang kehancuran.
Maka itu, kita mengurut dada jika para koruptor dihukum ringan lantaran tidak
menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di
berbagai institusi negara untuk tidak mewujudkan niatnya.
Peran
presiden-wakil presiden baru yang akan diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK)
harus berani menunjuk tokoh di kabinet yang berintegritas, berani, dan tidak
kenal kompromi dalam mencegah dan memerangi korupsi. Pemerintah, masyarakat,
elite politik, dan tokoh masyarakat hendaknya mendidik masyarakat bahwa
merdeka dari perilaku korupsi merupakan keniscayaan.
Semua
warga bangsa harus berani memerangi korupsi, berani tidak memberi sogok saat
mengurus keperluan dengan aparat birokrasi dan penegak hukum. Sekiranya ada
aparat yang meminta uang pelicin, warga masyarakat tidak boleh takut
melaporkannya kepada aparat hukum. Memberi sogok dan menerima suap harus
dijadikan musuh bersama sebagai bukti ingin meraih hakikat kemerdekaan
sejati.
Paham Kebangsaan
Nasionalisme
sebagai manifestasi paham kebangsaan untuk senasib dan sepenanggungan dalam
kehidupan bangsa harus terus digelorakan. Dari berbagai dimensi, nasionalisme
belakangan ini mulai goyah akibat berbagai konflik dalam proses demokrasi.
Saling menjatuhkan, caci-maki, dan saling mengklaim kebenaran yang cenderung
memaksakan kehendak seharusnya sudah ditanggalkan.
Demokrasi
lebih cenderung dijadikan instrumen yang menggiring rakyat dalam polarisasi
secara antagonistik. Sekelompok elite politik yang mengklaim diri selalu
benar pada hakikatnya dapat membuat nasionalisme tergerus oleh kepentingan
politis. Jika fenomena ini terus menggejala, secara otomatis paham
”konstruksi kebangsaan” dapat mendegradasi keutuhan bangsa. Jangan pernah
terjadi perbedaan pilihan dalam pilpres meruntuhkan nasionalisme.
Fenomena
yang dapat mengancam paham nasionalisme (kebangsaan) harus segera
diantisipasi agar masyarakat yang mulai terpolarisasi tidak terjebak pada
romantisme historis dengan mencari wadah untuk mengembangkan diri dengan
caranya sendiri. Paham kebangsaan perlu diorientasi dan diperkuat sebab
nasionalisme adalah emosi, bukan institusi yang dalam realitasnya bukan
produk utuh yang tahan waktu.
Setidaknya
nasionalisme masa depan lebih diarahkan pada upaya menumbuhkan semangat
sepenanggungan sebagai satu bangsa dengan meminimalisasi ketimpangan
sosial-ekonomi, ketidakadilan hukum, dan politik (demokratisasi). Diperlukan
dinamisasi dengan membuka penyelenggaraan pemerintahan yang mengakomodasi
keberagaman bangsa (etnis, agama, dan kultur).
Semua
persoalan diselesaikan secara demokratis, bahkan melalui mekanisme hukum
seperti saat ini di Gedung MK, siapa pun pemenangnya harus diterima. Putusan
politik seyogianya menjadi acuan untuk menguatkan paham nasionalisme untuk
selalu bersatu setelah perbedaan pilihan memiliki legalitas hukum di MK.
Hakikat nasionalisme seyogianya meminimalkan kesenjangan sosial-ekonomi,
polarisasi masyarakat, serta keterbukaan pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan.
Jika
secara simultan berbagai persoalan bisa diatasi, terutama menerima putusan
hakim konstitusi, optimisme baru rakyat bisa tercapai. Menghargai kemerdekaan
rakyat sekaligus menguatkan nasionalisme bukan sekadar menuntut hak,
melainkan juga menghargai dan melaksanakan kewajiban sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar