Minggu, 17 Agustus 2014

Pilih Karier atau Keluarga?

                                      Pilih Karier atau Keluarga?

Arri Handayani  ;  Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling FIP Universitas PG­RI Semarang, Mahasiswa S-3 Ilmu  Psikologi UGM
SUARA MERDEKA, 16 Agustus 2014
                                                


Para perempuan bekerja, adakalanya ingin benar-benar 100 persen menjadi ibu rumah tangga. Tujuannya, supaya bisa lebih berkonsentrasi merawat, mengasuh, dan mendidik anak. Harapan bisa menyiapkan anak menjadi orang yang lebih hebat pun terbuka lebar.

Meskipun demikian, ke­inginan perempuan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga acap berhadapan dengan keinginan masyarakat. Secara umum, masyarakat ingin menempatkan perempuan yang berkarier di luar rumah pada posisi lebih berkelas. (Suciati, SM, 23/4/14).

Dalam kondisi demikian kaum perempuan mengalami keraguan. Mana yang harus di­pilih? Melanjutkan berkarier, atau berhenti dan mengurus anak di rumah.
Kenyataannya, dalam ke­hidup­an yang serbainstan, sudah banyak perempuan ber­karier di sektor publik. Beberapa di antara­nya mampu menduduki posisi penting dalam jabatan manajerial. Bahkan posisi tertinggi eksekutif di negeri ini pun pernah dijabat  seorang perempuan.

Dalam hal jenis pekerjaan pun mulai terjadi pergeseran. Pekerjaan yang dulu dominan dilakukan laki-laki, sekarang pada beberapa  bidang juga dilakukan para perempuan. Dari pekerjaan yang mempunyai ”prestise” sampai pe­kerjaan kasar, seperti buruh panggul, ataupun tukang becak.

Apakah perempuan sudah berubah? Jawabnya tidak. Walau­pun perempuan menun­juk­kan satu sisi kelebihannya, satu sisi lain menunjukkan ”hati” perempuan tetap di rumah, yaitu mengurus kelu­arga.

Maka bisa kita melihat bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan perempuan pun tidak jauh berbeda dari perannya dalam keluarga, seperti mengasuh, merawat, dan mendidik.  Bagaimanapun ke­tika pe­­rem­puan be­kerja akan ada sisi po­sitif dan negatif yang melingkupi.  Dari sisi positif, ia memperoleh keterampilan tertentu, dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri, juga meningkatkan harga diri.

Perempuan bekerja tidak se­mata-mata guna memenuhi ke­butuhan ekonomi tapi juga untuk aktualisasi diri.

Karier dan Keluarga

Ia bahkan bisa menjadi model positif bagi perkembangan anak, yang akan menirunya, dan membanggakannya.  ”Ke­rugian” yang mungkin terjadi, ia memiliki peran kompleks menghadapi persoalan dalam pekerjaan dan keluarga. Misalnya tuntutan waktu dan tenaga yang lebih banyak, konflik antara peran pekerjaan dan ke­luarga, dan ada kemungkinan perhatian terhadap anak kurang ter­pe­nuhi.

Melihat sisi positif dan negatif ter­­sebut, tiap perempuan mem­punyai pilihan dan ada  konsekuensinya. Namun bila ada win-win solution, dengan berkarier tanpa meninggalkan keluarga, mengapa tidak?  Jadi, perempuan bisa tetap bekerja tanpa me­ninggalkan kodrat se­bagai istri/ibu.

Hasil penelitian Handa­yani, dkk (2014) menunjukkan ke­tika ibu bekerja tapi masih mau meluangkan waktu me­rawat dan mengasuh anak, se­perti bermain bersama, menemani anak membuat PR maka tumbuh kembang anak akan lebih baik.

Meskipun demikian, pada ibu yang tak bekerja sekalipun, yang seharusnya punya banyak waktu untuk anak, tapi kurang memperhatikannya maka  tumbuh kem­bang anak tidak op­timal. Permasalahan bukan semata-mata ibu bekerja atau tidak me­lainkan bagaimana ia mau atau tidak me­luangkan waktu untuk mem­per­hatikan demi ke­se­jah­teraan anak.

Bagi  ibu bekerja, dari sisi kuantitas waktu mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan. Namun jika dari sisi kualitas terpenuhi, hal itu pun sangat ber­makna bagi tumbuh kembang anak. Intinya ketika seorang ibu komit pada pekerjaan sekaligus keluarga maka keseimbangan antara kerja dan keluarga demi keberhasilan keduanya lebih mudah dicapai.

Ma­sya­rakat juga menuntut ke­ber­hasilan perempuan karier adalah ketika ia mampu berperan sebagai ibu dan istri di rumah, di samping bertanggung jawab terhadap pe­ker­jaan­nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar