Pilih
Karier atau Keluarga?
Arri Handayani ; Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling FIP Universitas PGRI Semarang, Mahasiswa
S-3 Ilmu Psikologi UGM
|
SUARA
MERDEKA, 16 Agustus 2014
Para
perempuan bekerja, adakalanya ingin benar-benar 100 persen menjadi ibu rumah
tangga. Tujuannya, supaya bisa lebih berkonsentrasi merawat, mengasuh, dan
mendidik anak. Harapan bisa menyiapkan anak menjadi orang yang lebih hebat
pun terbuka lebar.
Meskipun demikian, keinginan perempuan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga acap berhadapan dengan keinginan masyarakat. Secara umum, masyarakat ingin menempatkan perempuan yang berkarier di luar rumah pada posisi lebih berkelas. (Suciati, SM, 23/4/14). Dalam kondisi demikian kaum perempuan mengalami keraguan. Mana yang harus dipilih? Melanjutkan berkarier, atau berhenti dan mengurus anak di rumah.
Kenyataannya,
dalam kehidupan yang serbainstan, sudah banyak perempuan berkarier di
sektor publik. Beberapa di antaranya mampu menduduki posisi penting dalam
jabatan manajerial. Bahkan posisi tertinggi eksekutif di negeri ini pun
pernah dijabat seorang perempuan.
Dalam hal jenis pekerjaan pun mulai terjadi pergeseran. Pekerjaan yang dulu dominan dilakukan laki-laki, sekarang pada beberapa bidang juga dilakukan para perempuan. Dari pekerjaan yang mempunyai ”prestise” sampai pekerjaan kasar, seperti buruh panggul, ataupun tukang becak. Apakah perempuan sudah berubah? Jawabnya tidak. Walaupun perempuan menunjukkan satu sisi kelebihannya, satu sisi lain menunjukkan ”hati” perempuan tetap di rumah, yaitu mengurus keluarga. Maka bisa kita melihat bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan perempuan pun tidak jauh berbeda dari perannya dalam keluarga, seperti mengasuh, merawat, dan mendidik. Bagaimanapun ketika perempuan bekerja akan ada sisi positif dan negatif yang melingkupi. Dari sisi positif, ia memperoleh keterampilan tertentu, dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri, juga meningkatkan harga diri. Perempuan bekerja tidak semata-mata guna memenuhi kebutuhan ekonomi tapi juga untuk aktualisasi diri. Karier dan Keluarga Ia bahkan bisa menjadi model positif bagi perkembangan anak, yang akan menirunya, dan membanggakannya. ”Kerugian” yang mungkin terjadi, ia memiliki peran kompleks menghadapi persoalan dalam pekerjaan dan keluarga. Misalnya tuntutan waktu dan tenaga yang lebih banyak, konflik antara peran pekerjaan dan keluarga, dan ada kemungkinan perhatian terhadap anak kurang terpenuhi. Melihat sisi positif dan negatif tersebut, tiap perempuan mempunyai pilihan dan ada konsekuensinya. Namun bila ada win-win solution, dengan berkarier tanpa meninggalkan keluarga, mengapa tidak? Jadi, perempuan bisa tetap bekerja tanpa meninggalkan kodrat sebagai istri/ibu. Hasil penelitian Handayani, dkk (2014) menunjukkan ketika ibu bekerja tapi masih mau meluangkan waktu merawat dan mengasuh anak, seperti bermain bersama, menemani anak membuat PR maka tumbuh kembang anak akan lebih baik. Meskipun demikian, pada ibu yang tak bekerja sekalipun, yang seharusnya punya banyak waktu untuk anak, tapi kurang memperhatikannya maka tumbuh kembang anak tidak optimal. Permasalahan bukan semata-mata ibu bekerja atau tidak melainkan bagaimana ia mau atau tidak meluangkan waktu untuk memperhatikan demi kesejahteraan anak. Bagi ibu bekerja, dari sisi kuantitas waktu mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan. Namun jika dari sisi kualitas terpenuhi, hal itu pun sangat bermakna bagi tumbuh kembang anak. Intinya ketika seorang ibu komit pada pekerjaan sekaligus keluarga maka keseimbangan antara kerja dan keluarga demi keberhasilan keduanya lebih mudah dicapai. Masyarakat juga menuntut keberhasilan perempuan karier adalah ketika ia mampu berperan sebagai ibu dan istri di rumah, di samping bertanggung jawab terhadap pekerjaannya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar