Presiden
Rakyat
Yonky Karman ;
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta
|
KOMPAS,
20 Agustus 2014
Kesederhanaan
sudah lama didambakan rakyat. Bukan kesederhanaan rakyat banyak yang sudah
menjadi pembawaannya sehari-hari, tetapi kesederhanaan mereka yang menduduki
jabatan tinggi serta mempunyai kekuasaan besar.
Jakob Oetama
KALIMAT di atas adalah penggalan
pesan untuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beberapa hari setelah Gus Dur menjadi
Presiden RI keempat (Gus Dur Menjawab
Perubahan Zaman, viii). Pesan itu juga relevan untuk Joko Widodo apabila
kelak ia menjadi presiden.
Tidak seperti enam presiden
sebelumnya yang berasal dari lingkungan elite politik, Joko Widodo (Jokowi) berasal
dari orang kebanyakan. Rasionalitas politik publik menjatuhkan pilihan
kepadanya berdasarkan rekam jejak yang teruji sebagai kepala daerah.
Masyarakat sipil hendak memulai
sebuah tradisi baru dengan mengaitkan kepemimpinan nasional dan kepemimpinan
daerah sebagai sebuah korelasi logis. Tanpa basis kepemimpinan daerah,
presiden merasa tahu yang terbaik untuk rakyat, sementara kebijakannya tak
merepresentasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Genealogi
presiden
Setelah menyelesaikan perguruan
tinggi, dia masuk ke dunia kerja dan membangun usaha dari bawah tanpa
fasilitas dari penguasa. Dia nyaris bukan siapa-siapa. Pada awal menjadi Wali
Kota Solo, dia juga belum begitu kita kenal. Setelah prestasi kepemimpinannya
dihargai publik internasional, barulah sosoknya masuk dalam radar publik
nasional.
Kepemimpinannya yang merakyat
menyeruak di tengah hiruk-pikuk pemilihan langsung kepala daerah. Di tengah
kekecewaan publik dengan realitas buram lebih dari 60 persen kepala daerah
pilihan rakyat terjerat kasus korupsi, orang merasa heran dengan sosok yang
merasa cukup dengan kekayaan pribadinya, bahkan mengonversikan gajinya untuk
kepentingan publik.
Masuknya ke dalam bursa calon
presiden di luar skenario politik. Ketika elektabilitas calon-calon presiden
kurang lebih stabil pada tingkat tertentu, para lembaga survei sengaja
memasukkan namanya ke dalam bursa capres untuk melihat reaksi masyarakat.
Dinamika elektabilitas memperlihatkan nama itu diperhitungkan meski baru
sebatas capres hasil survei.
Setelah resmi diusung gabungan
partai politik, dia pun tidak lantas identik dengan partai. Dia bukan
personalisasi partai. Rakyat memilih dirinya. Apatisme rakyat beralasan
karena manuver partai lebih banyak menimbulkan politik gaduh daripada politik
kesejahteraan rakyat. Meski tertinggal dalam kontestasi capres, dalam waktu
relatif singkat dia berhasil meraup dukungan besar. Meskipun pemilu presiden
akhirnya berlangsung damai, prosesnya berlangsung gaduh dan menguras energi.
Kegaduhan politik di satu sisi
adalah bagian dari dinamika demokrasi. Namun, di sisi lain, melibatkan rakyat
begitu dalam sehingga terbelah dan saling berhadap-hadapan, itu mencerminkan
kurangnya stok pemimpin demokrasi. Banyak pemimpin memaknai demokrasi sebagai
proses hampa etika publik. Demokrasi untuk kekuasaan, bukan untuk rakyat.
Tolok ukur kemajuan demokrasi
bukan hiruk-pikuk partisipasi rakyat, melainkan kemampuan melahirkan pemimpin
demokrasi. Siapa yang menang atau kalah adalah urusan nomor dua selama
kontestasi demokrasi berhasil memperlihatkan kapasitas calon yang
sesungguhnya dan membuahkan sosok terbaik presiden pilihan rakyat.
Rakyat berada di jantung
demokrasi. Pemerintah dipilih oleh rakyat dan memerintah untuk rakyat.
Berbeda dari massa, rakyat merupakan entitas politik yang memiliki kehendak.
Ada kehendak rakyat terjajah untuk
merdeka. Kemerdekaan diproklamasikan oleh rakyat sebelum negara terbentuk.
Demikian alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 ”maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.” Demokrasi pun sebuah keniscayaan politik.
Pemimpin negara baru merepresentasikan kehendak rakyat, bukan pilihan massa
fanatik.
Pemimpin
demokrasi
Demokrasi sejatinya tidak
memperlakukan rakyat sebagai massa, tetapi sebagai tuan yang harus dilayani.
Idealnya, demokrasi menjadi booster yang mendorong, menyokong, dan
menggerakkan kehidupan bernegara. Rakyat memiliki mekanisme kontrol terhadap
jalannya penyelenggaraan negara. Institusi-institusi demokrasi tidak sekadar
pemberi stempel legitimasi kebijakan pemerintah.
Demokrasi membutuhkan suatu
kepemimpinan untuk mencapai cita-citanya. Presiden tidak sekadar populer,
tetapi juga hidup merakyat. Pemerintahannya menjunjung kearifan, hak, dan
keutamaan rakyat kecil. Untuk itu, presiden tidak kenal lelah untuk
mendengarkan suara rakyat serta tanggap dengan kebutuhannya. Blusukan adalah
keniscayaan laku politik, bukan karena pencitraan,melainkan demi menyerap
aspirasi rakyat.
Setelah rakyat memberikan
suaranya, persoalan selanjutnya yang tidak dapat dikawal langsung oleh rakyat
adalah penyusunan kabinet yang benar-benar profesional dan baik untuk bangsa,
sebagaimana janji semasa kampanye. Di sini presiden dapat tersandung dengan
memilih menteri berpolitik dua kaki, seperti terjadi pada era sebelum ini.
Banyak pihak berkepentingan menitipkan
loyalis partai demi mengamankan kepentingan elite. Karena itu, kriteria
pemilihan menteri harus transparan dan sekali lagi tidak mengabaikan suara
rakyat. Sosok dengan rekam jejak yang jelas dan menguasai lingkup tugas tentu
tak dapat ditawar-tawar. Kriteria berikut adalah keberanian menata mesin
birokrasi agar bersih dan efisien. Seandainya sosok demikian diambil dari
lingkungan partai, harus dipastikan komitmen yang bersangkutan untuk tak
menjalankan politik dua kaki.
Presiden terpilih segera berhadapan
dengan problem akut kesenjangan antara kaya dan miskin yang sudah melampaui
batas aman. Kedaulatan bangsa sudah lama hilang oleh para pemburu rente dalam
persekutuan pengusaha dan penguasa. Rakyat terbelit dalam proses pemiskinan.
Akumulasi tumpukan utang negara. Postur APBN dengan besaran subsidi BBM tidak
sehat. Rendahnya pendapatan negara dari pajak. Merajalelanya produk impor
yang mematikan produktivitas bangsa. Pentingnya percepatan investasi padat
karya. Semua itu menuntut the dream team menteri di bidang perekonomian dan
hukum yang dapat membalik arah pembangunan ekonomi sehingga memihak
kepentingan nasional.
Menteri profesional tidak boleh
dibiarkan terlalu banyak berpolitik. Presiden dan wakilnya harus pasang badan
apabila pembantunya yang sudah bekerja baik dipolitisasi. Apabila koalisi
politik berujung bagi-bagi kekuasaan, dukungan rakyat akan menjauh. Akan
tetapi, apabila kinerja kabinet sesuai harapan rakyat, komunikasi politik di
parlemen akan mudah dan rakyat di belakang presiden.
Presiden terhindar dari pesona
kekuasaan. Demokrasi menjadi sederhana dan kian dewasa. Prosesnya transparan.
Takhta pun untuk rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar