Di
Atas Kertas
Acep Iwan Saidi ;
Ketua Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS,
20 Agustus 2014
DI atas kertas, tidak ada
undang-undang yang mengatur seorang anggota DPR eks koruptor untuk tidak
diberikan pensiun. Asal si koruptor mengundurkan diri sebelum dibui dan
kemudian mengajukan pensiun, negara tetap mengirim fulus ke sakunya. Di atas
kertas, tak ada UU yang melarang seorang artis yang jadi pejabat untuk
menghentikan kegiatan keartisannya. Ia boleh tetap main sinetron, main iklan,
juga melawak di televisi. Bayangkan jika di atas kertas tak ada larangan
membunuh orang!
Itulah situasi kehidupan
ketatanegaraan dan kebangsaan kita hari ini. Para pejabat berada di dalam
penjara sistem yang tertulis di atas kertas sebagai UU atau peraturan, tetapi
sekaligus karena itu mereka bersikap ambivalen. Di satu sisi, UU dianggap
sebagai momok menakutkan, tetapi pada saat yang sama juga diakali: mengambil
yang menguntungkan dan menghindari yang membahayakan. Di antara para pejabat
yang ambivalen itu adalah para penjahat yang tidak memperhitungkan apa pun,
selain pertimbangan yang menguntungkan diri sendiri.
Penjahat jelas sosoknya meski kita
baru mengetahuinya setelah ditangkap atau dinyatakan hukum sebagai penjahat.
Namun, mereka yang mengakali aturan dengan sikap ambivalen di atas sulit
dilacak jejak kejahatannya. Mereka bersembunyi di dalam wilayah abu-abu. Kita
tak bisa, misalnya, melipatgandakan hukuman kepada koruptor yang tetap tambun
sebab menerima uang pensiun, tak bisa menghakimi wakil gubernur yang terus
berdagang di televisi, juga tak bisa memenjarakan anggota DPR yang terus
melawak. Soalnya memang tidak terdapat UU yang mengaturnya. Hanya
pertimbangan etika yang bisa mencegah tindakannya. Namun, hal ini baru bisa
dilakukan jika mereka punya kesadaran tentang etika.
Di samping itu, kita juga tidak
bisa memberi sanksi kepada seorang birokrat yang menolak jadi penanggung
jawab sebuah proyek karena takut terjebak tindakan korupsi. Bukankah juga
sudah lama beredar rumor: tugas perjalanan dinas di berbagai departemen
banyak dihindari sebab laporan dan pengawasannya yang ketat. Hanya anggota
DPR, barangkali, yang dapat dengan leluasa melakukan perjalanan dinas dan studi
banding ke luar negeri sebab mereka sendiri yang membuat aturannya.
Karena demikian situasinya,
dapatlah dipastikan dua hal. Pertama, banyak program yang sebenarnya bagus,
tetapi tidak terselenggara sebab tidak ada
yang berani bekerja di bawah aturan dan pengawasan ketat. Kedua, jika
program itu terselenggara, hal yang paling menyibukkan adalah penyusunan
laporan keuangan—tentu juga dengan mengakali di bagian mana penggelembungan
bisa dilakukan. Karena hal inilah dapat dipastikan bahwa materi dan substansi
program itu sendiri akan terabaikan. Jelas, di situ, tanggung jawab moral di
hadapan pekerjaan telah hilang.
Matinya
manusia
Ketika UU telah dijadikan alasan
untuk lari dari tanggung jawab di satu sisi dan pada sisi lain
ketidaktertulisan sebuah peraturan di atas kertas telah dimanfaatkan untuk
melakukan tindakan tidak patut, dapat dikatakan bahwa nilai kemanusiaan
manusia pelakunya telah mati. Pada kasus mereka yang ketakutan pada aturan,
peraturan jelas telah menjadikan subyek manusia tidak berdaya. Akal sehat
mati di hadapan ”mesin sistem”.
Ketimbang menjadi subyek yang
dengan nalar sehat mengemudikan sistem, mereka menjadi sistem itu sendiri.
Mereka tidak lagi menjadi manusia, tetapi menjadi mesin. Kematian manusia
sedemikian menjadikan peradaban mengalami jalan buntu (deadlock
kemanusiaan).
Sementara itu, menjadi lebih
tragis pada kasus mereka yang memanfaatkan ketidakadaan peraturan tertulis
untuk melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Di samping telah
memanfaatkan kesempatan dari keburukan UU
(memancing di air keruh), mereka meyakini bahwa kebaikan, etika,
moralitas, atau apa pun namanya, hanyalah soal yang tertulis di atas kertas.
Di luar itu, tidak ada peraturan. Walhasil, mereka menjadi manusia yang
jiwanya terserak di atas kertas, jiwa yang mati—meminjam Nikolai Gogol.
Tragisnya, kertas itu sendiri kini
tengah mengalami krisis eksistensi, didesak dunia digital nyaris di seluruh
bidang kehidupan. Generasi hari ini tampak lebih banyak menggunakan tuts-tuts
dan layar komputer untuk menulis. Bisa dibayangkan bagaimana yang akan
terjadi pada generasi mendatang. Kertas mungkin hanya akan menjadi sejarah,
sebagaimana kita mencatat sejarah zaman batu atau perunggu.
Setiawan Sabana dan 19 perupa
lain, termasuk dari Singapura, Korea, dan Malaysia, merepresentasikan
kegelisahan ini melalui pameran karya rupa kertas di Museum Sribaduga
Bandung, 1-14 November 2013. Melalui karya berjudul ”Bumi Kertas”, Sabana
sendiri mewujudkan kertas sebagai ”yang melayang” di awang-awang dan ”yang
gosong” di bumi. Peradaban kertas sedang masuk ke usia senja kala.
Jika intuisi Sabana dan seniman
lain benar, bisa dibayangkan yang akan terjadi pada manusia yang meletakkan
moralitas hanya pada peraturan di atas kertas. Dunia digital membangun
tradisi kelisanan melampaui tradisi yang dibangun radio dan televisi, oleh
Walter J Ong (2004) disebut sebagai tradisi lisan tingkat kedua.
Tradisi digital komputer membawa
kita pindah dari masyarakat socious ke komunitas jaringan, yang oleh Bard
(2002) disebut sebagai netokrasi. Inilah peradaban yang ditandai oleh login
dan logout, tetapi memiliki efek jelajah yang luar biasa. Ini yang pada
diskusi di Bentara Budaya Jakarta (12 Oktober 2013) saya sebut sebagai
tradisi lisan tingkat ketiga. Dalam tradisi ini, semua bersifat sementara.
Jelas, untuk memasuki peradaban
digital, hal-hal berkaitan dengan etika dan moralitas harus benar-benar
embedded dalam diri manusia. Tidak ada peraturan dan perundang-undangan yang
tertera, tidak ada data yang bisa dipercaya; semua bisa ditulis dan dihapus
dalam sekejap. Patokan segala hukum hanya ada pada diri yang mumpuni,
kemanusiaan dituntut sempurna.
Maka, enyahlah dari sekarang manusia-manusia yang untuk menegakkan etika
dan moralitas hanya mengacu pada aturan di atas kertas. Masa depan hanya
butuh manusia ”yang hidup”, bukan ”rangka yang berjalan”! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar