Polemik Daftar
Pemilih Khusus Tambahan
Refly Harun ;
Pakar Hukum Tatanegara dan Pemilu
|
DETIKNEWS,
19 Agustus 2014
Rekan saya, Margarito Kamis, dengan berapi-api mengatakan di
depan Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat, 15 Agustus lalu, bahwa daftar
pemilih khusus tambahan (DPKTb) dalam Pilpres 2014 tidak sah dan harus
dikualifikasikan sebagai pelanggaran konstitusi. Alasannya, DPKTb tidak
diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan Pilpres 2014, yaitu
UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU
Pilpres 2008).
Saya merasa terusik untuk menanggapi pernyataan tersebut. Secara
harfiah, istilah DPKTb memang tidak terdapat dalam UU Pilpres 2008, melainkan
dalam peraturan-peraturan KPU yang mengatur tentang Pilpres 2014, antara lain
Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2014. Namun, secara substantif, munculnya DPKTb
adalah konsekuensi dari putusan MK tanggal 6 Juli 2009, dua hari menjelang
Pilpres 2009, yang membolehkan pemilih yang tidak tercantum dalam daftar
pemilih tetap (DPT) untuk menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP,
paspor, atau identitas kependudukan lainnya.
Putusan itulah yang mengilhami munculnya ketentuan tentang
daftar pemilih khusus (DPK) dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD (UU Pemilu 2012) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb)
dalam peraturan-peraturan KPU.
Putusan MK 6 Juli 2009, yang merupakan buah dari permohonan saya
dan Maheswara Prabandono, adalah landasan hukum bagi pemilih yang tidak
terdaftar dalam DPT dan daftar pemilih tambahan (DPTb) agar tetap dapat
menggunakan haknya untuk memilih. Putusan tersebut adalah respons konkret
dari MK terhadap dugaan banyaknya warga negara yang tidak dapat memilih dalam
Pemilu Legislatif 2009. Angkanya diperkirakan mencapai puluhan juta pemilih.
Padahal, hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia, yang
tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis-administratif.
Oleh karena itu, membaca ketentuan tentang daftar pemilih dalam
UU Pilpres 2008 harus dikaitkan dengan putusan MK tersebut. DPK dan DPKTb
adalah instrumen untuk menampung warga negara yang sudah berhak memilih namun
tidak tercantum dalam DPT dan DPTb. Ketentuan ini secara konkret diatur dalam
peraturan-peraturan KPU yang juga menjadi landasan bagi pelaksanaan Pilpres
2014. Jadi, sangat tidak beralasan mengatakan bahwa DPKTb tidak sah.
Saya juga perlu menggarisbawahi pendapat Said Salahudin,
pengamat pemilu yang juga dihadirkan sebagai ahli, yang menyatakan bahwa
putusan MK 6 Juli 2009 tidak berlaku untuk Pilpres 2014 karena putusan
tersebut adalah respons bagi pelaksanaan Pilpres 2009. Saya harus mengatakan
bahwa pendapat ini salah dan sangat tidak berdasar.
Putusan 6 Juli 2009 adalah putusan atas pengujian UU Pilpres
2008. Sepanjang undang-undang tersebut belum diganti atau dicabut, selama itu
pula putusan masih tetap berlaku (eksis). Kecuali undang-undang tersebut
sudah dicabut, maka gugur pula putusan MK secara formal. Kendati begitu,
secara substantif, putusan MK tetap bisa mengilhami dan mewarnai kebijakan
tentang daftar pemilih dalam pemilu berikutnya. Terbukti, dalam UU Pemilu
2012, putusan MK tersebut diakomodasi dengan dikenalkannya instrumen DPK dan
peraturan-peraturan KPU kemudian mengenalkan DPKTb.
Hingga titik ini saya mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan
DPKTb tidak sah dan putusan MK 6 Juli 2009 tidak berlaku adalah pendapat yang
salah. Terlebih DPKTb paling telah menjadi penyelemat lebih 2,9 juta rakyat
Indonesia yang terancam kehilangan hak untuk memilih.
Perkara ada ahli yang kemudian berpendapat bahwa DPK dan DPKTb
tidak diperlukan lagi untuk selanjutnya, itu sah-sah saja. Hal tersebut harus
diterima sebagai hukum yang mungkin hendak diwujudkan di masa datang (ius constituendum). Yang jelas, hukum
yang ada sekarang (ius constitutum)
mengakui adanya DPK dan DPKTb dan secara faktual sudah menjadi pengetahuan
para kontestan yang berkompetisi dalam Pilpres 2014 sehingga sangat aneh bila
dipersoalkan kemudian.
Andai Tidak Sah
Katakanlah pendapat Margarito itu dibenarkan, bahwa DPKTb tidak
sah, kendati dalam Pemilu Legislatif 2014 ternyata tidak dipersoalkan.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan dengan jumlah DPKTb dalam Pilpres
2014 yang mencapai angka lebih dari 2,9 juta pemilih? Apakah lantas
dinyatakan tidak sah?
Bila 2,9 juta suara tersebut dinyatakan tidak sah, bagaimana
cara mengurangkannya terhadap hasil pilpres? Suara siapa yang harus
dikurangi? Apakah suara Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK? Ataukah suara kedua
pasangan tersebut dikurangi secara proporsional, fifty-fifty?
Dari sini saja jelas terjadi kesulitan bila DPKTb dinyatakan
tidak sah. Kita tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi 2,9 juta suara
tersebut diberikan kepada siapa, apakah kepada pasangan Prabowo-Hatta atau
Jokowi-JK, sekalipun dengan membuka kotak suara.
Margarito mungkin akan mengatakan bahwa karena ada 2,9 juta
DPKTb, perlu dilakukan pemungutan suara ulang. Pertanyaannya, lagi-lagi,
pemilih mana yang harus mengulang pencoblosan? Apakah 2,9 juta tersebut?
Kalau ya, sangat tidak masuk akal karena DPKTb dinyatakan tidak
sah. Artinya, mereka yang tercantum dalam DPKTb tentu tidak berhak memilih
lagi. Lantas, apakah pemungutan suara ulang akan diperintahkan kepada pemilih
yang tercantum dalam DPT yang jumlahnya lebih dari 180 juta pemilih? Kalau
ya, sangat tidak adil dan di luar akal sehat. Bagaimana mungkin, yang
bermasalah pemilih dalam DPKTb, yang orangnya dapat diidentifikasi tetapi
tidak diketahui pilihan mereka, tetapi pemilih dalam DPT yang harus mengulang
pencoblosan. Sangat tidak masuk akal dan di luar nalar sehat bila MK
memutuskan hal tersebut.
Menutup tulisan ini, dengan segala hormat kepada ahli-ahli yang
diajukan di sidang MK, yang tidak lain rekan-rekan saya sendiri dalam
berdiskusi dan berdebat, saya menyatakan sangat tidak sependapat dengan apa
yang Anda-Anda katakan. Salam saya di 69 tahun usia Republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar