Rabu, 20 Agustus 2014

Marwah Kemerdekaan

                                             Marwah Kemerdekaan

Dony Syofyan  ;   Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
REPUBLIKA, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Peringatan Hari Kemerdekaan 2014 ini sangat istimewa karena berlangsung pascapemilihan presiden dan wakil presiden pada Juli kemarin. Hal tersebut perlu menjadi momentum yang betul-betul spesial dan pas untuk mengembalikan spirit dan marwah hari kemerdekaan sebagai kemerdekaan yang sejati bagi rakyat Indonesia.

Memang menyedihkan mencermati banyak kalangan yang tidak lagi menjadikan momen HUT RI ini sebagai sesuatu yang penting. Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-69 tahun ini memang dikitari oleh hirup-pikuk krisis multidimensi yang masih merayap di kalangan elite dan rakyat. Dalam ranah pendidikan yang seharusnya menjadi batu loncatan terciptanya kemandirian anak bangsa, fenomena nyontek, joki dalam ujian nasional, atau plagiat mencerminkan penyakit kronis bangsa ini.

Dalam kegiatan intelektual, angka rapor lebih disukai daripada prestasi objektif. Pada bidang olahraga, prestasi Indonesia betul-betul anjlok dalam pelbagai event olahraga. Rontoknya prestasi olahraga ini di samping karena minimnya atensi pemerintah yang sibuk dengan tarik-menarik kekuasaan serta kecilnya bantuan dana, juga terkait erat dengan menguatnya kebanggaan palsu ketika para elite olahraga lebih condong membeli pemain unggulan dunia.

"Kegalauan" bangsa ini sejujurnya merupakan konsekuensi elite bangsa yang lebih berpihak ke luar alih-alih membangun kemandirian bangsa secara berdarah-darah. Gagapnya pemerintah menyikapi kenaikan harga tahu-tempe akibat ketergantungan pada kedelai impor menunjukkan bahwa perbudakan telah lahir kembali setelah deklarasi kemerdekaan digaungkan 69 tahun silam.

Seiring dengan Ramadhan ini, bentangan panorama tarikh Islam menjadi kaca jernih bagi pemimpin di negeri ini untuk mengembalikan marwah kemerdekaan yang sejati bagi rakyat lewat kepeloporan. Sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa adalah logis memfokuskan dakwah awalnya dengan membangun militer karena kelemahan pada kaumnya.

Di kalangan rakyat, sisa semangat kebangsaan sekarang tinggal di desa-desa. Ingin berharap bangsa ini mampu membeli beras atau gula dengan harga yang membuat untung para petani? No way. Kita bisa belajar kepada banyak negara yang mampu berdiri kokoh menancapkan kemandirian lokal di hadapan tata dunia baru yang tak jarang setali tiga uang dengan premanisme global. Almarhum KH Rahmat Abdullah (2008) pernah menuturkan kisah rakyat yang berbangga membeli beras dengan 5.000 yen padahal ada yang berharga 1.000 yen hanya ada di Jepang. Mereka beli beras 1.000 yen itu hanya sebagai keharusan kompensasi atas inovasi otomotif mereka ke Amerika, lalu mereka menjadikan itu sebagai makanan hewan.

Tengoklah Meksiko yang menolak impor gandum untuk bahan baku roti mereka. "Jangan turuti orang utara," kata mereka. Cina menjadikan bagian utaranya ditanami gandum dan di selatan banyak jagung. Mereka membuat mi sesuai dengan bahan baku lokal. Ada kemandirian di sana. Boleh jadi ini membuat merah telinga pemberi izin impor dan pembebas pajak impor gandum Amerika yang jumlahnya sangat spektakuler di sebuah negara di Asia Tenggara. Jacques Chirac, Presiden Prancis di masa kepemimpinannya, gusar dan mengeluarkan larangan membuat counter-counter McD di sekitar Menara Eiffel dengan alasan yang mengharukan: ini adalah situs bersejarah yang tak boleh diinvasi oleh budaya Amerika.

Pengembangan kemandirian bangsa bukan berarti memelihara sikap xenofobia. Mencintai bangsa sendiri dengan menunjukkan kebencian terhadap orang, politik, atau budaya asing adalah kontraproduktif dengan tuntutan rejuvenasi nasionalisme. Dalam masyarakat global yang terus berubah, negara yang bertumpu pada eksklusivisme secara berlebihan akan terisolasi, semisal Kuba dan Korea Utara.

Bangsa yang besar di masa depan adalah bangsa yang mampu membuat 1 juta teman dan nol musuh. Para penggasas xenofobia pada batas tertentu mencerminkan watak kolonial yang ditandai dengan pertahanan diri absurd dan egosentrisitas semu. Singapura, misalnya, punya kisah sukses besar secara ekonomi ketika mereka berupaya menarik talenta-talenta terbaik dunia ke dalam perekonomian dan masyarakat Negeri Singa itu.

Kasus Singapura ini mengajarkan kita bahwa sebuah bangsa tidak bakal menikmati kemandirian ketika warganya tidak sejahtera. Kemiskinan adalah antitesis kemakmuran. Bukankah gerakan separatis yang timbul tenggelam di negeri ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi yang tidak adil.

Hari Kemerdekaan tidak akan bermakna apa-apa bagi generasi sekarang tatkala nasionalisme tereduksi sekadar menjadi ritual tahunan pada 17 Agustus, atau hanya menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past) lantaran kegagalan untuk berdiri di atas dua kaki sendiri serta kegagapan beradaptasi dengan dunia global yang niscaya berubah. Sudah saatnya rejuvenasi nasionalisme lewat penguatan kemandirian bangsa mengilhami esensi dari perayaan Hari Kemerdekaan ini. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar