Marwah
Kemerdekaan
Dony Syofyan ;
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
|
REPUBLIKA,
18 Agustus 2014
Peringatan Hari Kemerdekaan 2014 ini sangat istimewa karena berlangsung
pascapemilihan presiden dan wakil presiden pada Juli kemarin. Hal tersebut
perlu menjadi momentum yang betul-betul spesial dan pas untuk mengembalikan
spirit dan marwah hari kemerdekaan sebagai kemerdekaan yang sejati bagi
rakyat Indonesia.
Memang menyedihkan mencermati banyak kalangan yang tidak lagi
menjadikan momen HUT RI ini sebagai sesuatu yang penting. Peringatan Hari
Kemerdekaan RI ke-69 tahun ini memang dikitari oleh hirup-pikuk krisis
multidimensi yang masih merayap di kalangan elite dan rakyat. Dalam ranah
pendidikan yang seharusnya menjadi batu loncatan terciptanya kemandirian anak
bangsa, fenomena nyontek, joki dalam ujian nasional, atau plagiat
mencerminkan penyakit kronis bangsa ini.
Dalam kegiatan intelektual, angka rapor lebih disukai daripada
prestasi objektif. Pada bidang olahraga, prestasi Indonesia betul-betul
anjlok dalam pelbagai event olahraga. Rontoknya prestasi olahraga ini di
samping karena minimnya atensi pemerintah yang sibuk dengan tarik-menarik
kekuasaan serta kecilnya bantuan dana, juga terkait erat dengan menguatnya
kebanggaan palsu ketika para elite olahraga lebih condong membeli pemain
unggulan dunia.
"Kegalauan" bangsa ini sejujurnya merupakan
konsekuensi elite bangsa yang lebih berpihak ke luar alih-alih membangun
kemandirian bangsa secara berdarah-darah. Gagapnya pemerintah menyikapi
kenaikan harga tahu-tempe akibat ketergantungan pada kedelai impor
menunjukkan bahwa perbudakan telah lahir kembali setelah deklarasi
kemerdekaan digaungkan 69 tahun silam.
Seiring dengan Ramadhan ini, bentangan panorama tarikh Islam
menjadi kaca jernih bagi pemimpin di negeri ini untuk mengembalikan marwah
kemerdekaan yang sejati bagi rakyat lewat kepeloporan. Sejarah kehidupan Nabi
Muhammad SAW menunjukkan bahwa adalah logis memfokuskan dakwah awalnya dengan
membangun militer karena kelemahan pada kaumnya.
Di kalangan rakyat, sisa semangat kebangsaan sekarang tinggal di
desa-desa. Ingin berharap bangsa ini mampu membeli beras atau gula dengan
harga yang membuat untung para petani? No way. Kita bisa belajar kepada
banyak negara yang mampu berdiri kokoh menancapkan kemandirian lokal di
hadapan tata dunia baru yang tak jarang setali tiga uang dengan premanisme
global. Almarhum KH Rahmat Abdullah (2008) pernah menuturkan kisah rakyat
yang berbangga membeli beras dengan 5.000 yen padahal ada yang berharga 1.000
yen hanya ada di Jepang. Mereka beli beras 1.000 yen itu hanya sebagai
keharusan kompensasi atas inovasi otomotif mereka ke Amerika, lalu mereka
menjadikan itu sebagai makanan hewan.
Tengoklah Meksiko yang menolak impor gandum untuk bahan baku
roti mereka. "Jangan turuti orang utara," kata mereka. Cina
menjadikan bagian utaranya ditanami gandum dan di selatan banyak jagung.
Mereka membuat mi sesuai dengan bahan baku lokal. Ada kemandirian di sana.
Boleh jadi ini membuat merah telinga pemberi izin impor dan pembebas pajak
impor gandum Amerika yang jumlahnya sangat spektakuler di sebuah negara di
Asia Tenggara. Jacques Chirac, Presiden Prancis di masa kepemimpinannya,
gusar dan mengeluarkan larangan membuat counter-counter McD di sekitar Menara
Eiffel dengan alasan yang mengharukan: ini adalah situs bersejarah yang tak
boleh diinvasi oleh budaya Amerika.
Pengembangan kemandirian bangsa bukan berarti memelihara sikap
xenofobia. Mencintai bangsa sendiri dengan menunjukkan kebencian terhadap
orang, politik, atau budaya asing adalah kontraproduktif dengan tuntutan
rejuvenasi nasionalisme. Dalam masyarakat global yang terus berubah, negara
yang bertumpu pada eksklusivisme secara berlebihan akan terisolasi, semisal
Kuba dan Korea Utara.
Bangsa yang besar di masa depan adalah bangsa yang mampu membuat
1 juta teman dan nol musuh. Para penggasas xenofobia pada batas tertentu
mencerminkan watak kolonial yang ditandai dengan pertahanan diri absurd dan
egosentrisitas semu. Singapura, misalnya, punya kisah sukses besar secara
ekonomi ketika mereka berupaya menarik talenta-talenta terbaik dunia ke dalam
perekonomian dan masyarakat Negeri Singa itu.
Kasus Singapura ini mengajarkan kita bahwa sebuah bangsa tidak
bakal menikmati kemandirian ketika warganya tidak sejahtera. Kemiskinan
adalah antitesis kemakmuran. Bukankah gerakan separatis yang timbul tenggelam
di negeri ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi yang tidak adil.
Hari Kemerdekaan tidak akan bermakna apa-apa bagi generasi
sekarang tatkala nasionalisme tereduksi sekadar menjadi ritual tahunan pada
17 Agustus, atau hanya menjadi bagian dari masa lalu (a thing of the past) lantaran kegagalan untuk berdiri di atas dua
kaki sendiri serta kegagapan beradaptasi dengan dunia global yang niscaya
berubah. Sudah saatnya rejuvenasi nasionalisme lewat penguatan kemandirian
bangsa mengilhami esensi dari perayaan Hari Kemerdekaan ini. Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar