Sabtu, 16 Agustus 2014

Pembatalan UU Perkoperasian

                                 Pembatalan UU Perkoperasian

Suroto  ;   Anggota Penguji Materi UU Perkoperasian dari Koalisi Ornop untuk
Demokratisasi Ekonomi; Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis;
Alumnus Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah
KOMPAS, 15 Agustus 2014



Andaikan para pemimpin dunia paham ekonomi koperasi, gerakan koperasi, dan perusahaan koperasi, dunia tidak akan seburuk ini. (Paus Fransiscus, 2014) Teman saya seorang pengamat politik tiba-tiba menjadi sangat tertarik membicarakan koperasi. Dia mengaku kaget mendengar Mahkamah Konstitusi membatalkan sepenuhnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengenai Perkoperasian tanggal 28 Mei 2014. Mengapa UU itu dibatalkan? Apa UU itu bermasalah secara konstitusional dan fundamental?

Saya menjawab persis seperti jawaban saya atas pertanyaan Dawam Rahardjo ketika berdiskusi dengan beberapa teman Koalisi Ornop untuk Demokratisasi Ekonomi.

Ada dua pertanyaan Dawam, pertama, apakah UU No 17/2012 itu melanggar jati diri koperasi? Apakah UU yang melanggar jati diri koperasi tersebut melanggar UUD 1945? Saya menjawab tegas: ya!

Pertama, UU perkoperasian tersebut sudah melanggar jati diri koperasi karena pengertian koperasi menjadi kabur.

Koperasi adalah sebagai perkumpulan orang (people based association), sedangkan pengertian koperasi menurut UU No 17/2012 adalah asosiasi berbasis modal (capital based association) yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik.

Dalam berbagai pasal, saya juga tunjukkan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi telah direduksi dengan berbagai pasal yang mengerdilkan posisi koperasi secara substantif.

Jadi jelas, UU tersebut memang melanggar jati diri koperasi, menyimpang dari dasar alasan adanya (raison d’etre) koperasi dan cacat secara epistemologis.
Kedua, UU yang melanggar jati diri koperasi jelas melanggar UUD 1945 karena secara tegas disebut oleh terutama Bung Hatta (1952) bahwa yang dia maksud dengan sistem ekonomi kekeluargaan adalah koperasi!

Pasca-putusan

Kita bersyukur hakim konstitusi telah membatalkan UU tersebut. Kita jadi tahu, pembuatan UU yang memakan waktu lebih kurang 12 tahun dan menghabiskan ratusan miliar itu ternyata memang syarat kepentingan kolutif.

Kita jadi tahu kualitas para pembentuk UU tersebut. Kita juga jadi tahu bagaimana orang-orang di Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) tidak bisa menjaga amanat anggaran dasar organisasi untuk menjaga jati diri koperasi.

Meski demikian, kita perlu cermat dan hati-hati karena hakim konstitusi memutuskan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum, untuk sementara waktu diberlakukanlah UU No 25/1992 tentang Perkoperasian yang substansi dan pemikirannya sama dengan UU yang dibatalkan.

Kita mesti bersama mengawal penyusunan UU baru melalui proses uji legislasi baru sebab kita tidak memiliki mekanisme perwakilan representatif dari gerakan koperasi secara khusus. Kita pada akhirnya harus kembali berharap kepada orang yang sama di pemerintahan.

Perlu menjadi catatan, upaya pembaruan UU Perkoperasian memang dimotori oleh lembaga yang pernah saya pimpin, Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia, pada 2000 yang kemudian ditunjuk oleh pemerintah untuk menyusun draf dan kajian akademiknya.

Dasarnya adalah karena UU No 25/1992 dianggap telah menyimpang dari UUD 1945 dan filosofi dasar koperasi. Namun, dalam perjalanannya banyak sekali yang memotong di jalan, terutama ketika masuk dalam agenda legislasi di parlemen.

Harapan baru

Harapan saya, ketika nanti terbentuk satu UU yang baru, setidaknya memenuhi tiga syarat penting.

Pertama, UU tersebut mau memberikan pengakuan/rekognisi terhadap praktik terbaik (best practices) dari apa yang telah dilakukan koperasi dan dasar aturan apa yang membuat mereka berkembang dan memberikan manfaat bagi anggotanya. Satu contoh adalah koperasi perempuan yang berbasis di Jawa Timur yang telah menjadi penguji materi dan gerakan koperasi kredit (credit union).

Kedua, UU yang baru tersebut juga harus mampu memberikan perlindungan dan menghargai jati diri koperasi sebagai organisasi otonom dan mandiri dengan tidak banyak intervensi terhadap kepentingan anggota. Perlindungan ini juga mesti disertai dengan sifat UU yang sanksinya harus jelas sehingga UU yang baru nanti tidak hanya jadi macan kertas dan tidak imperatif (memerintah).

Ketiga, UU yang baru harus mampu memberikan distingsi dan perlakuan yang berbeda dengan tidak memaksakan agar semua dikompabilitaskan dengan aturan permainan korporasi yang liberal kapitalistik.

Koperasi diberikan distingsi karena di dalam koperasi itu terdapat dimensi luas, baik secara ideologis maupun mikro-organisasi.

Koperasi perlu diberikan distingsi karena di dalamnya inheren sebagai urusan publik (res-publik) dan bukan urusan privat (res-privat) yang mengejar keuntungan semata.

Sebagaimana jadi pertimbangan majelis hakim konstitusi, koperasi dianggap sebagai bangun demokrasi ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, dan ini tidak bisa diabaikan.

Maka, demokrasi ekonomi itu juga berarti harus bekerja dalam diktum pemerataan akses ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan. Fungsinya menjadi luas menyangkut aspek keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar