Pembatalan
UU Perkoperasian
Suroto ;
Anggota Penguji Materi UU
Perkoperasian dari Koalisi Ornop untuk
Demokratisasi
Ekonomi; Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis;
Alumnus
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
15 Agustus 2014
Andaikan para pemimpin
dunia paham ekonomi koperasi, gerakan koperasi, dan perusahaan koperasi,
dunia tidak akan seburuk ini. (Paus
Fransiscus, 2014) Teman saya seorang pengamat politik tiba-tiba menjadi
sangat tertarik membicarakan koperasi. Dia mengaku kaget mendengar Mahkamah
Konstitusi membatalkan sepenuhnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengenai
Perkoperasian tanggal 28 Mei 2014. Mengapa UU itu dibatalkan? Apa UU itu
bermasalah secara konstitusional dan fundamental?
Saya menjawab persis
seperti jawaban saya atas pertanyaan Dawam Rahardjo ketika berdiskusi dengan
beberapa teman Koalisi Ornop untuk Demokratisasi Ekonomi.
Ada dua pertanyaan
Dawam, pertama, apakah UU No 17/2012 itu melanggar jati diri koperasi? Apakah
UU yang melanggar jati diri koperasi tersebut melanggar UUD 1945? Saya
menjawab tegas: ya!
Pertama, UU
perkoperasian tersebut sudah melanggar jati diri koperasi karena pengertian
koperasi menjadi kabur.
Koperasi adalah
sebagai perkumpulan orang (people based
association), sedangkan pengertian koperasi menurut UU No 17/2012 adalah
asosiasi berbasis modal (capital based
association) yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan
swasta kapitalistik.
Dalam berbagai pasal,
saya juga tunjukkan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi telah
direduksi dengan berbagai pasal yang mengerdilkan posisi koperasi secara
substantif.
Jadi jelas, UU
tersebut memang melanggar jati diri koperasi, menyimpang dari dasar alasan
adanya (raison d’etre) koperasi dan
cacat secara epistemologis.
Kedua, UU yang
melanggar jati diri koperasi jelas melanggar UUD 1945 karena secara tegas
disebut oleh terutama Bung Hatta (1952) bahwa yang dia maksud dengan sistem
ekonomi kekeluargaan adalah koperasi!
Pasca-putusan
Kita bersyukur hakim
konstitusi telah membatalkan UU tersebut. Kita jadi tahu, pembuatan UU yang
memakan waktu lebih kurang 12 tahun dan menghabiskan ratusan miliar itu
ternyata memang syarat kepentingan kolutif.
Kita jadi tahu
kualitas para pembentuk UU tersebut. Kita juga jadi tahu bagaimana
orang-orang di Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) tidak bisa menjaga amanat
anggaran dasar organisasi untuk menjaga jati diri koperasi.
Meski demikian, kita
perlu cermat dan hati-hati karena hakim konstitusi memutuskan bahwa untuk
mengisi kekosongan hukum, untuk sementara waktu diberlakukanlah UU No 25/1992
tentang Perkoperasian yang substansi dan pemikirannya sama dengan UU yang
dibatalkan.
Kita mesti bersama
mengawal penyusunan UU baru melalui proses uji legislasi baru sebab kita
tidak memiliki mekanisme perwakilan representatif dari gerakan koperasi
secara khusus. Kita pada akhirnya harus kembali berharap kepada orang yang
sama di pemerintahan.
Perlu menjadi catatan,
upaya pembaruan UU Perkoperasian memang dimotori oleh lembaga yang pernah
saya pimpin, Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia, pada 2000
yang kemudian ditunjuk oleh pemerintah untuk menyusun draf dan kajian
akademiknya.
Dasarnya adalah karena
UU No 25/1992 dianggap telah menyimpang dari UUD 1945 dan filosofi dasar
koperasi. Namun, dalam perjalanannya banyak sekali yang memotong di jalan,
terutama ketika masuk dalam agenda legislasi di parlemen.
Harapan baru
Harapan saya, ketika
nanti terbentuk satu UU yang baru, setidaknya memenuhi tiga syarat penting.
Pertama, UU tersebut
mau memberikan pengakuan/rekognisi terhadap praktik terbaik (best practices)
dari apa yang telah dilakukan koperasi dan dasar aturan apa yang membuat
mereka berkembang dan memberikan manfaat bagi anggotanya. Satu contoh adalah
koperasi perempuan yang berbasis di Jawa Timur yang telah menjadi penguji
materi dan gerakan koperasi kredit (credit union).
Kedua, UU yang baru
tersebut juga harus mampu memberikan perlindungan dan menghargai jati diri
koperasi sebagai organisasi otonom dan mandiri dengan tidak banyak intervensi
terhadap kepentingan anggota. Perlindungan ini juga mesti disertai dengan
sifat UU yang sanksinya harus jelas sehingga UU yang baru nanti tidak hanya
jadi macan kertas dan tidak imperatif (memerintah).
Ketiga, UU yang baru
harus mampu memberikan distingsi dan perlakuan yang berbeda dengan tidak
memaksakan agar semua dikompabilitaskan dengan aturan permainan korporasi
yang liberal kapitalistik.
Koperasi diberikan
distingsi karena di dalam koperasi itu terdapat dimensi luas, baik secara
ideologis maupun mikro-organisasi.
Koperasi perlu
diberikan distingsi karena di dalamnya inheren sebagai urusan publik
(res-publik) dan bukan urusan privat (res-privat) yang mengejar keuntungan semata.
Sebagaimana jadi
pertimbangan majelis hakim konstitusi, koperasi dianggap sebagai bangun
demokrasi ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, dan ini tidak bisa diabaikan.
Maka, demokrasi
ekonomi itu juga berarti harus bekerja dalam diktum pemerataan akses ekonomi,
keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan. Fungsinya menjadi luas
menyangkut aspek keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial,
dan stabilitas politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar