Kekerasan
terhadap Perempuan
Nenin Astiti Ayunda ;
Pengajar STIE Widya
Manggala Semarang
|
KOMPAS,
14 Agustus 2014
KEKERASAN terhadap
perempuan bukanlah fenomena asing bagi kita. Konstruksi sosial yang timpang
dari generasi ke generasi tidak dimungkiri telah mengikat masyarakat dalam
nilai-nilai andosentris (berpusat pada laki-laki). Akibatnya, pola pikir yang
terbentuk dalam memandang perempuan adalah perempuan yang periferal.
Maraknya kasus
kekerasan terhadap perempuan, baik di ranah domestik maupun publik, menjadi
isu kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan
menunjukkan ada 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi
sepanjang 2013.
Sebelumnya tercatat
216.156 kasus (2012) dan 119.107 kasus (2011). Data tiga tahun terakhir ini
bukannya berkurang seiring dengan perubahan zaman, melainkan tindak kriminal
justru meningkat. Meski demikian, disinyalir jumlah sebenarnya jauh lebih
banyak karena korban tidak melapor. Artinya, kekerasan terhadap perempuan
belum terungkap sepenuhnya ke permukaan.
Keengganan melaporkan
tindak kekerasan karena adanya konsep aib di masyarakat, terutama apabila
terjadi dalam lingkup domestik. Kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan
domestik masih dianggap tabu untuk dilaporkan. Padahal, kekerasan domestik
atau kekerasan di ranah personal memegang rekor kekerasan terhadap perempuan
paling tinggi.
Jenis kekerasan juga
memengaruhi akurasi data. Seorang perempuan bisa jadi mengalami kekerasan
berlapis, tetapi kekerasan yang biasa dilaporkan dan mudah diidentifikasi
(divisum) adalah kekerasan fisik dan seksual.
Sementara kekerasan
psikis, seperti hinaan atau teror dan kekerasan ekonomi dalam lingkup
domestik, seperti penelantaran nafkah istri, sangat jarang diperkarakan.
Padahal, kedua jenis kekerasan ini juga diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004
Bab III berturut-turut Pasal 8 dan 9. Minimnya pengetahuan akan hal ini juga
meminimalisasi jumlah tindak kekerasan sebenarnya.
Efektivitas kebijakan
Parahnya, di beberapa
daerah upaya perlindungan perempuan korban kekerasan dinilai mundur. Salah
satu mitra strategis Komnas Perempuan, LRC-KJHAM (Legal Resources Center untuk Jender dan Hak Asasi Manusia) Jawa
Tengah, mengungkapkan rendahnya perlindungan hak asasi perempuan korban
kekerasan. Data Komnas Perempuan tahun 2010 juga menunjukkan bahwa 61 persen
peraturan lokal melanggar kebebasan memperoleh perlindungan.
Sampai 2013, kekerasan
terhadap perempuan masih mengalami peningkatan. Memprihatinkan rasanya,
korban kekerasan seolah berada pada lingkaran setan tanpa ujung. Sudah jelas
dampak dari kekerasan tersebut menurunkan produktivitas perempuan korban,
masih ditambah upaya perlindungan yang tidak optimal.
Sebenarnya pemerintah
bukannya lepas tangan. Indonesia bersama 188 negara PBB lainnya pada tahun
2000 telah menandatangani Millenium Development Goal (MDG) yang salah satu
sasarannya adalah kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Lebih lanjut,
usaha pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pengarusutamaan jender dalam
pembangunan merupakan bentuk kepedulian untuk mengangkat eksistensi
perempuan.
Tujuan pengarusutamaan
jender menurunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki Indonesia agar
bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Hanya, kebijakan ini belum bisa
dikatakan efektif karena ternyata di lapangan perempuan masih saja mengalami
pelanggaran hak asasi dan kekerasan. Pengarusutamaan jender belum bisa
dikatakan optimal dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), indeks pembangunan jender, dan
indeks pemberdayaan jender.
Kegagalan milenium
Kemudahan informasi
dengan menekankan pada velocity (speed) digital, kemajuan industri dan
perekonomian, bahkan interaksi dengan budaya luar yang sudah mengapresiasi
kesetaraan jender adalah karakteristik milenium ketiga. Wajah milenium kita
memberikan harapan dan kesempatan kepada kaum perempuan untuk terlepas dari
belenggu patriarkis menuju kesetaraan jender. Kebijakan jender seharusnya
bisa bersinergi dengan segala kemajuan sehingga perempuan berpeluang menjadi
subyek pembangunan.
Namun, dengan segala
keberagaman perubahan dan kecanggihan teknologi dewasa ini, gempita milenium
masih dihadapkan pada fenomena kekerasan terhadap perempuan yang notabene
permasalahan klasik. Elaborasi sebelumnya menunjukkan bahwa milenium tidak
mampu mengatasi kekerasan terhadap perempuan, minimal mengurangi jumlahnya
secara signifikan.
Seperti diberitakan
Kompas, 8 Mei 2014, betapa panjangnya jalan yang harus ditempuh untuk
menghentikan kekerasan. Jika kemajuan zaman bisa berkorelasi positif dengan
kemajuan banyak aspek kehidupan, mengapa tidak dengan kasus kekerasan
terhadap perempuan?
Kebijakan pemerintah
melalui pengarusutamaan jender belum maksimal dalam pelaksanaannya. Fenomena
ini adalah bukti nyata kegagalan milenium dalam mengoptimalkan perempuan
sebagai manusia utuh, bukan ”liyan”. Apa boleh buat. Kita harus segera
berbenah diri. Pihak terkait harus lebih intens bekerja dalam memberdayakan
perempuan.
Implementasi kebijakan
pengarusutamaan jender dan anggaran responsif jender perlu ditinjau ulang dan
diperbarui untuk lebih memberdayakan perempuan. Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah perlunya penekanan kepada perempuan akan kemandirian,
terutama secara finansial. Perempuan yang mandiri secara finansial mempunyai
lebih banyak kesempatan untuk mentransendensi pembatas imanensinya.
Diskriminasi dan
subyektivikasi terhadap perempuan seharusnya mampu ditekan bukannya malah
membengkak dalam bentuk kekerasan yang ramai dibicarakan. Pemikiran Kartini
untuk memajukan perempuan melalui pendidikan di zamannya yang sarat
keterbatasan mampu ia realisasikan meski keterlibatannya hanya sesaat.
Marry Wollstonecraft
juga memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan. Sangat masuk
akal bila kedua perempuan hebat ini menentang diskriminasi dalam pendidikan
yang didominasi laki-laki. Melalui pendidikanlah perempuan bisa semakin
berkualitas dan lebih bermanfaat untuk dirinya sendiri, keluarga, dan bangsa.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar