Sabtu, 16 Agustus 2014

Kekerasan terhadap Perempuan

                               Kekerasan terhadap Perempuan

Nenin Astiti Ayunda  ;   Pengajar STIE Widya Manggala Semarang
KOMPAS, 14 Agustus 2014
                                                


KEKERASAN terhadap perempuan bukanlah fenomena asing bagi kita. Konstruksi sosial yang timpang dari generasi ke generasi tidak dimungkiri telah mengikat masyarakat dalam nilai-nilai andosentris (berpusat pada laki-laki). Akibatnya, pola pikir yang terbentuk dalam memandang perempuan adalah perempuan yang periferal.

Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, baik di ranah domestik maupun publik, menjadi isu kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan ada 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2013.

Sebelumnya tercatat 216.156 kasus (2012) dan 119.107 kasus (2011). Data tiga tahun terakhir ini bukannya berkurang seiring dengan perubahan zaman, melainkan tindak kriminal justru meningkat. Meski demikian, disinyalir jumlah sebenarnya jauh lebih banyak karena korban tidak melapor. Artinya, kekerasan terhadap perempuan belum terungkap sepenuhnya ke permukaan.

Keengganan melaporkan tindak kekerasan karena adanya konsep aib di masyarakat, terutama apabila terjadi dalam lingkup domestik. Kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik masih dianggap tabu untuk dilaporkan. Padahal, kekerasan domestik atau kekerasan di ranah personal memegang rekor kekerasan terhadap perempuan paling tinggi.

Jenis kekerasan juga memengaruhi akurasi data. Seorang perempuan bisa jadi mengalami kekerasan berlapis, tetapi kekerasan yang biasa dilaporkan dan mudah diidentifikasi (divisum) adalah kekerasan fisik dan seksual.

Sementara kekerasan psikis, seperti hinaan atau teror dan kekerasan ekonomi dalam lingkup domestik, seperti penelantaran nafkah istri, sangat jarang diperkarakan. Padahal, kedua jenis kekerasan ini juga diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Bab III berturut-turut Pasal 8 dan 9. Minimnya pengetahuan akan hal ini juga meminimalisasi jumlah tindak kekerasan sebenarnya.

Efektivitas kebijakan

Parahnya, di beberapa daerah upaya perlindungan perempuan korban kekerasan dinilai mundur. Salah satu mitra strategis Komnas Perempuan, LRC-KJHAM (Legal Resources Center untuk Jender dan Hak Asasi Manusia) Jawa Tengah, mengungkapkan rendahnya perlindungan hak asasi perempuan korban kekerasan. Data Komnas Perempuan tahun 2010 juga menunjukkan bahwa 61 persen peraturan lokal melanggar kebebasan memperoleh perlindungan.

Sampai 2013, kekerasan terhadap perempuan masih mengalami peningkatan. Memprihatinkan rasanya, korban kekerasan seolah berada pada lingkaran setan tanpa ujung. Sudah jelas dampak dari kekerasan tersebut menurunkan produktivitas perempuan korban, masih ditambah upaya perlindungan yang tidak optimal.

Sebenarnya pemerintah bukannya lepas tangan. Indonesia bersama 188 negara PBB lainnya pada tahun 2000 telah menandatangani Millenium Development Goal (MDG) yang salah satu sasarannya adalah kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Lebih lanjut, usaha pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pengarusutamaan jender dalam pembangunan merupakan bentuk kepedulian untuk mengangkat eksistensi perempuan.

Tujuan pengarusutamaan jender menurunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki Indonesia agar bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Hanya, kebijakan ini belum bisa dikatakan efektif karena ternyata di lapangan perempuan masih saja mengalami pelanggaran hak asasi dan kekerasan. Pengarusutamaan jender belum bisa dikatakan optimal dalam memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM), indeks pembangunan jender, dan indeks pemberdayaan jender.

Kegagalan milenium

Kemudahan informasi dengan menekankan pada velocity (speed) digital, kemajuan industri dan perekonomian, bahkan interaksi dengan budaya luar yang sudah mengapresiasi kesetaraan jender adalah karakteristik milenium ketiga. Wajah milenium kita memberikan harapan dan kesempatan kepada kaum perempuan untuk terlepas dari belenggu patriarkis menuju kesetaraan jender. Kebijakan jender seharusnya bisa bersinergi dengan segala kemajuan sehingga perempuan berpeluang menjadi subyek pembangunan.

Namun, dengan segala keberagaman perubahan dan kecanggihan teknologi dewasa ini, gempita milenium masih dihadapkan pada fenomena kekerasan terhadap perempuan yang notabene permasalahan klasik. Elaborasi sebelumnya menunjukkan bahwa milenium tidak mampu mengatasi kekerasan terhadap perempuan, minimal mengurangi jumlahnya secara signifikan.

Seperti diberitakan Kompas, 8 Mei 2014, betapa panjangnya jalan yang harus ditempuh untuk menghentikan kekerasan. Jika kemajuan zaman bisa berkorelasi positif dengan kemajuan banyak aspek kehidupan, mengapa tidak dengan kasus kekerasan terhadap perempuan?

Kebijakan pemerintah melalui pengarusutamaan jender belum maksimal dalam pelaksanaannya. Fenomena ini adalah bukti nyata kegagalan milenium dalam mengoptimalkan perempuan sebagai manusia utuh, bukan ”liyan”. Apa boleh buat. Kita harus segera berbenah diri. Pihak terkait harus lebih intens bekerja dalam memberdayakan perempuan.

Implementasi kebijakan pengarusutamaan jender dan anggaran responsif jender perlu ditinjau ulang dan diperbarui untuk lebih memberdayakan perempuan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya penekanan kepada perempuan akan kemandirian, terutama secara finansial. Perempuan yang mandiri secara finansial mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mentransendensi pembatas imanensinya.

Diskriminasi dan subyektivikasi terhadap perempuan seharusnya mampu ditekan bukannya malah membengkak dalam bentuk kekerasan yang ramai dibicarakan. Pemikiran Kartini untuk memajukan perempuan melalui pendidikan di zamannya yang sarat keterbatasan mampu ia realisasikan meski keterlibatannya hanya sesaat.

Marry Wollstonecraft juga memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan. Sangat masuk akal bila kedua perempuan hebat ini menentang diskriminasi dalam pendidikan yang didominasi laki-laki. Melalui pendidikanlah perempuan bisa semakin berkualitas dan lebih bermanfaat untuk dirinya sendiri, keluarga, dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar