Merdeka
69
Muhidin M Dahlan ; Esais Kerani di @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 09 Agustus 2014
Pada 2014, kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap Agustus
ganjil berusia 69 tahun. Angka 69 kerap diartikan sebagai sebuah formasi
bercinta/kawin yang menjadi musabab terjadinya kelahiran.
Urusan kawin ini bukan masalah sepele. Bagi Mohammad Hatta,
urusan kawin memiliki hubungan dengan urusan kemerdekaan. Hatta bahkan
dihadapkan pada opsi yang ribet: kawin dulu atau merdeka dulu.
Dalam pilihan ribet itulah lahir sumpah Hatta yang terkenal: tak
akan kawin sebelum Indonesia merdeka. Lihat, Hatta menggandeng dalam satu
tarikan sumpah antara kawin/seks dengan merdeka/politik. Dan Hatta menepati
sumpahnya: ia kawin setelah Indonesia merdeka pada usianya yang tak lagi
muda.
Jika urusan kawin/kelahiran mempertautkan ingatan kita kepada
Hatta, hal yang sama pula yang mendekatkan kenangan kita kepada Fatmawati.
Dan Sang Saka itu kita tahu adalah simbol kelahiran-bukan saja kelahiran
sebuah negara bernama Indonesia, tapi juga cara dan waktu pembuatannya.
Pusaka Republik itu dibikin Fatmawati tatkala dia sedang hamil tua. Untuk
itu, boleh dibilang, Sang Saka justru anak pertama yang dilahirkan Fatma
sebagai sang ibu negara yang saat itu usianya baru sekira 22 tahun.
Dari dua nama itulah, Hatta dan Fatma, kita mendapatkan
pengertian bahwa kemerdekaan dan seluruh aspek yang menyertainya adalah
sebuah proses kelahiran setelah melewati pelbagai tumbukan gagasan, tindakan,
dan bahkan serangkaian kenekatan dan kegilaan para pemanggulnya. Ini termasuk
pula lahirnya tonggak revolusi pada fase awal dan reformasi pada fase
selanjutnya puluhan tahun kemudian.
Jika kata "merdeka" yang lazim kita kenal terlahir
dari rahim revolusi, "merdesa"
dititi oleh repelita dan
didentumkan oleh reformasi. Istilah merdeka memang sudah lazim kita ketahui,
namun merdesa masih awam. Meskipun demikian, istilah merdesa ini sudah pernah
diperkenalkan oleh Sutan Sjahrir di masa pedal revolusi sedang ditekan
kuat-kuat. Bukti yang lain adalah lema merdesa ini sudah tertanam lama dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang sepadan dengan "jalan kesejahteraan".
Sebagai momen sejarah yang melewati proses kelahiran,
keduanya-merdeka-revolusi dan merdesa-repelita dan reformasi-melewati
pendarahan yang hebat. Tapi justru dengan luka dan darah itu jalan kehidupan
terbuka. Revolusi melahirkan ke-merdeka-an di mana kita menyongsong masa
depan dari gelapnya kehidupan pada era pendudukan yang maha panjang. Merdeka
adalah juga berarti "bebas
dari" yang kemudian memulai sebuah pencarian yang panjang dan
meletihkan tentang apa arti kebinekaan berbangsa dan corak demokrasi dalam
bernegara.
Jika repelita meniti, reformasi membuka jalan merdesa saat kita
menyongsong masa depan dengan jalan kesejahteraan. Dalam lingkup ini, merdesa
adalah "bebas untuk" memberi makna kepada tindakan dan pilihan
keberpihakan sistem dari sejumlah poin yang telah diberikan oleh kronik masa
silam.
Maka demikianlah, merdeka 69 adalah proses
perkawinan/keintiman/sintesis dalam pencarian watak kebangsaaan dan praktek
kenegaraan kita terkini. Dalam konsep merdesa tak ada kesejahteraan ekonomi
tanpa demokrasi politik. Tak ada keadilan tanpa usaha yang gigih merawat
kebebasan dan keterbukaan informasi. Titian repelita hanya bertumpu pada satu
aspek "ekonomi sebagai
panglima", sementara reformasi berusaha menghadirkan dua entitas
merdesa dalam satu tarikan praktek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar