Rabu, 06 Agustus 2014

Menegakkan Suara Rakyat melalui Mahkamah Konstitusi

Menegakkan Suara Rakyat

melalui Mahkamah Konstitusi

Sulardi  ;   Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
SINAR HARAPAN, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Pada Rekapitulasi tertanggal 22 Juli 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan perolehan suara Pasangan Prabowo Hatta sebesar 62.576.444 (46,85 persen) dan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) memperoleh 70. 997. 833 ( 53.15 %) suara. Dari itu, KPU pun menetapkan Jokowi- JK sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Namun, hal itu bukan berarti pilpres telah berakhir. Masih ada satu babak lagi sebab pada Jumat (25/7) kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi, hasil akhir pilpres masih menunggu keputusan MK.

Harus dipahami, vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Awalnya, kalimat ini digunakan untuk mempresentasikan putusan hakim yang berdasar kepada yang dikatakan para juri dalam persidangan.

Jika hakim adalah wakil Tuhan yang memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara, para jurilah suara Tuhan yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan para hakim dalam memutus perkara. Tentu saja kalimat ini awalnya hanya diperuntukan di negara negara yang sistem peradilannya menggunakan para juri untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak.

Seiring dinamika dan diterimanya demokrasi sebagai cara pengambilan keputusan, kini suara rakyat adalah suara Tuhan telah mengalami perluasan makna. Di suatu negara demokrasi, rakyatlah sebagai penentu sesungguhnya. Suara rakyatlah yang semestinya dijadikan landasan dasar dalam setiap pengambilan keputusan.

Di berbagai belahan dunia sudah terbukti, yang dimaui rakyat dapat memenangi yang dimaui penguasa yang bertentangan dengan kemampuan rakyat. Tidak terhitung jumlahnya penguasa zalim yang digulingkan rakyat. Kemenangan rakyat di berbagai negara melalui gerakan masyarakat yang dinamai revolusi telah diidentikkan dan dimaknai bahwa itulah suara Tuhan yang sesungguhnya.

Pilpres 9 Juli 2014 yang berjalan tertib aman adalah bagian demokratisasi yang sangat maju. Ini mengingat presiden ditentukan secara langsung oleh rakyat di Indonesia baru diawali pada 2004. Sebelumnya, presiden hanya ditentukan melalui perwakilan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Bahkan pemilihan secara perwakilan oleh MPR, sesungguhnya baru dilaksanakan saat penentuan Presiden Aburrahman Wahid, 1999. Proses sebelumnya, MPR tidak pernah memilih, namun mengangkat presiden dan wakil presiden (sepanjang Orde Baru). Mekanisme ini terakhir dilaksankan pada 1998.

Sepanjang presiden dan wakil presiden diangkat dan dipilih MPR, tidak ada mekanisme gugat-menggugat proses dan hasilnya melalui lembaga peradilan.

Gugat menggugat proses dan hasil pilpres baru dilakukan setelah ada perubahan formulasi kedaulatan rakyat, dari kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan rakyat di tangan rakyat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan didukung lembaga peradilan baru; MK. Di negara ini, MK difungsikan juga sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi.

Melalui persidangan oleh majelis hakim di MK, inilah gugatan akan adanya kecurangan, kesalahan, kekeliruan, maupun manipulasi hasil pemungutan suara dalam pilpres. Pihak yang mengajukan gugatan berkewajiban menunjukkan bukti-bukti kecurangan, kesalahan, kekeliruan, maupun manipulasi yang dilakukan sitematis, terstruktur, dan masif. Dengan catatan, terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi itu dapat memengaruhi perolehan suara.

Dengan demikian, Pilpres 9 Juli 2014 masih menunggu satu babak lagi sebab MK bisa menolak gugatan yang diajukan pasangan Prabowo Hatta, namun bisa mengabulkan gugatan dengan memutuskan untuk menghitung ulang dan/atau pencoblosan ulang. Hitung ulang dan/atau coblos ulang dapat memengaruhi hasil perolehan suara yang telah diumumkan KPU.

Oleh sebab itu, pasangan Prabowo-Hatta, KPU, Bawaslu, maupun pasangan Jokowi-JK harus dapat memberikan bukti-bukti yang meyakinkan majelis hakim MK. Putusan menolak atau menerima dari MK sangat ditentukan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Apa pun hasilnya, putusan MK menjadi bagian akhir dari pilpres.

Walaupun “menunda” hasil akhir pilpres, namun proses gugatan ke MK mesti dipahami sebagai sikap sportif dan konstitusional, daripada tidak mau menerima kekalahan dengan mengamuk dan merusak fasilitas umum, serta tindakan anarkistis yang acap kali terjadi dalam pemilihan kepala daerah di berbagai daerah di Tanah Air. Langkah ini termasuk upaya menegakkan suara rakyat yang juga suara Tuhan, melalui wakil-wakil Tuhan di MK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar