Menegakkan
Suara Rakyat
melalui
Mahkamah Konstitusi
Sulardi ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
|
SINAR
HARAPAN, 05 Agustus 2014
Pada Rekapitulasi tertanggal 22 Juli 2014, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) telah menetapkan perolehan suara Pasangan Prabowo Hatta sebesar
62.576.444 (46,85 persen) dan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) memperoleh 70. 997. 833 ( 53.15 %) suara. Dari itu, KPU pun
menetapkan Jokowi- JK sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Namun, hal itu bukan berarti pilpres telah berakhir. Masih ada
satu babak lagi sebab pada Jumat (25/7) kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan
ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi, hasil akhir pilpres masih menunggu
keputusan MK.
Harus dipahami, vox populi
vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Awalnya, kalimat ini
digunakan untuk mempresentasikan putusan hakim yang berdasar kepada yang
dikatakan para juri dalam persidangan.
Jika hakim adalah wakil Tuhan yang memeriksa, menyidangkan, dan
memutus perkara, para jurilah suara Tuhan yang harus dipertimbangkan dan
diperhatikan para hakim dalam memutus perkara. Tentu saja kalimat ini awalnya
hanya diperuntukan di negara negara yang sistem peradilannya menggunakan para
juri untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak.
Seiring dinamika dan diterimanya demokrasi sebagai cara
pengambilan keputusan, kini suara rakyat adalah suara Tuhan telah mengalami
perluasan makna. Di suatu negara demokrasi, rakyatlah sebagai penentu
sesungguhnya. Suara rakyatlah yang semestinya dijadikan landasan dasar dalam
setiap pengambilan keputusan.
Di berbagai belahan dunia sudah terbukti, yang dimaui rakyat
dapat memenangi yang dimaui penguasa yang bertentangan dengan kemampuan
rakyat. Tidak terhitung jumlahnya penguasa zalim yang digulingkan rakyat.
Kemenangan rakyat di berbagai negara melalui gerakan masyarakat yang dinamai
revolusi telah diidentikkan dan dimaknai bahwa itulah suara Tuhan yang
sesungguhnya.
Pilpres 9 Juli 2014 yang berjalan tertib aman adalah bagian
demokratisasi yang sangat maju. Ini mengingat presiden ditentukan secara
langsung oleh rakyat di Indonesia baru diawali pada 2004. Sebelumnya,
presiden hanya ditentukan melalui perwakilan di Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Bahkan pemilihan secara perwakilan oleh MPR, sesungguhnya baru
dilaksanakan saat penentuan Presiden Aburrahman Wahid, 1999. Proses
sebelumnya, MPR tidak pernah memilih, namun mengangkat presiden dan wakil
presiden (sepanjang Orde Baru). Mekanisme ini terakhir dilaksankan pada 1998.
Sepanjang presiden dan wakil presiden diangkat dan dipilih MPR,
tidak ada mekanisme gugat-menggugat proses dan hasilnya melalui lembaga
peradilan.
Gugat menggugat proses dan hasil pilpres baru dilakukan setelah
ada perubahan formulasi kedaulatan rakyat, dari kedaulatan di tangan rakyat
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan rakyat di tangan
rakyat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan didukung
lembaga peradilan baru; MK. Di negara ini, MK difungsikan juga sebagai
pengawal konstitusi dan demokrasi.
Melalui persidangan oleh majelis hakim di MK, inilah gugatan
akan adanya kecurangan, kesalahan, kekeliruan, maupun manipulasi hasil pemungutan
suara dalam pilpres. Pihak yang mengajukan gugatan berkewajiban menunjukkan
bukti-bukti kecurangan, kesalahan, kekeliruan, maupun manipulasi yang
dilakukan sitematis, terstruktur, dan masif. Dengan catatan, terjadinya
kesalahan, kecurangan, manipulasi itu dapat memengaruhi perolehan suara.
Dengan demikian, Pilpres 9 Juli 2014 masih menunggu satu babak
lagi sebab MK bisa menolak gugatan yang diajukan pasangan Prabowo Hatta,
namun bisa mengabulkan gugatan dengan memutuskan untuk menghitung ulang
dan/atau pencoblosan ulang. Hitung ulang dan/atau coblos ulang dapat
memengaruhi hasil perolehan suara yang telah diumumkan KPU.
Oleh sebab itu, pasangan Prabowo-Hatta, KPU, Bawaslu, maupun
pasangan Jokowi-JK harus dapat memberikan bukti-bukti yang meyakinkan majelis
hakim MK. Putusan menolak atau menerima dari MK sangat ditentukan bukti-bukti
yang diajukan dalam persidangan. Apa pun hasilnya, putusan MK menjadi bagian
akhir dari pilpres.
Walaupun “menunda” hasil akhir pilpres, namun proses gugatan ke
MK mesti dipahami sebagai sikap sportif dan konstitusional, daripada tidak
mau menerima kekalahan dengan mengamuk dan merusak fasilitas umum, serta
tindakan anarkistis yang acap kali terjadi dalam pemilihan kepala daerah di
berbagai daerah di Tanah Air. Langkah ini termasuk upaya menegakkan suara
rakyat yang juga suara Tuhan, melalui wakil-wakil Tuhan di MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar